Mataram (ANTARA) - Oleh Anhar Putra Iswanto (Pegiat Literasi dan Budaya)
Selain memiliki minat baca yang rendah, bangsa Indoenesia juga menjadi negara paling maju dalam hal akses internet. Hasil survey Most Litered Nation in The World yang dilakukan oleh Connecticut State University pada 2016 lalu, Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara yang diteliti terkait minta baca masyarakat. Indonesia persis berada satu digit di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwania (61).
Sementara itu, Indonesia masuk lima besar negara paling kecanduan internet. Situs HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk Global Digital Report yang dirilis pada Januari 2019 menempatkan Indoensia negara ke-5 di dunia paling kecanduan internet. Rata-rata penduduk Indonesia mengakses internet selama 8 jam 36 menit setiap hari.
Rendahnya minat baca masyarakat, disertai disrupsi digital—dimana masyarakat dapat mengakses internet secara bebas dan mudah. Realitas dan kebenaran tidak dilihat secara fakta objektifitas. Tetapi orang akan melihat kebenaran dengan halusinasi di depan layar gadget.
Membangun Nalar Krtis
Disrupsi digital, haoks, hate speech di media sosial, dan penyebaran konten SARA, terutama saat Pemilu 2019 lalu telah memberikan kekhawatiran bagi kehidupan berbangsa. Pemerintah memutuskan untuk menutup sementara akses media sosial seperti Whatsup, Facebook dan Youtube untuk menghindari penyebaran informasi bohong saat demo di Bawaslu tangal 21 dan 22 Mei lalu.
Ekspresi politik masyarakat lebih tampak seperti pertempuran medan perang daripada kontestasi ideologi yang konstruktif. Isinya tak lebih dari sekedar cacian, hinaan, keberutalan dan kekerasan verbal di media sosial. Polarisasi masyarakat juga terbagi pada kubu ‘aku’ dan ‘dia’, sedang yang lain—atau lian adalah orang yang berbeda dan harus segera dicaci maki, dihinakan, kalo perlu dilucuti harkat personalitas kepribadiannya.
Politik menjadi kehilangan daya geraknya sebagai perwujudan keadilan dan kemaslahatan bersama. Sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar 1945. Politik kehilangan nalar kritisnya. Para politisi lebh suka menampilkan lakon yang dangkal daripada menjadi teladan bagi konsituen dan pengikutnya.
Justru tokoh-tokoh politik lebih suka menyulut api dan membakar semangat kebencian yang tinggi daripada memberikan kesejukan dan kejernihan kepada pengikutnya. Secara nyata, masyarakat dapat melihat segala bentuk kedangkalan politik ini di media sosial, lalu mengikutinya dan menyebarkannya secara gembira.
Sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran berita hoaks dan konten SARA yang tersebar tidak hanya lewat berita, tapi juga photo dan video, tak ada jalan lain kecuali meningkatkan literasi masyarakat.
Literasi Digital
Penguatan literasi tidak hanya sekedar membuat masyarakat menjadi gemar dan pandai membaca. Yang lebih penting mengasah nalar kritis masyarakat. Sehingga masyarakat dapat melakukan pertimbangan filterisasi terhadap semua informasi.
Tanpa nalar kritis, orang menjadi berfikir dengan sumbu pendek dan dangkal. Gampang marah, mudah terprovokasi dan sulit punya empati pada orang yang berbeda. Ia akan lebih cenderung merasa paling benar, sedangkan yang lain adalah orang salah yang harus dilawan.
Gejala ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, justru juga terjadi pada kelompok elit, akademisi, politisi yang mengalami post truth. Kebenaran tak lagi dipandang sebagai obyektivitas, tapi kebenaran sekedar dilihat dari sudut partisan dan kepentingan sesaat. Lantas mereka terjebak pada kekerdilan nalar dan kekeringan etika.
Sejak tahun 2017 Kemenkominfo telah menginisiasi untuk melakukan gerakan bertajuk Gerakan Nasional Literasi Digital. Sebuah gerakan yang mengacu pada konsep UNESCO yang bersifat kultural edukatif. Gerakan ini sebagai upaya untuk menyebarkan pengetahuan dan etika digital secara masif dan luas secara populer yang menarik.
Gerakan ini berkembang pesat. Puncaknya gerakan ini diapresiasi sebagai “Indonesia Brand of Endorsement of the Year 2018”. Juga mendapatkan penghargaan Champion dalam WSIS Prize 2018 oleh International Telecommunication Union (ITU) PBB.
Lantas mengapa penyebaran hoaks justru berkembang pesat pada Pemilu 2019? Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafidno) mencatat selama Januari 2019 terdapat 109 berita hoaks, 58 diantaranya terkait soal politik. Sedangkan tahun 2018 terdapat 997 berita hoaks, 488 diantaranya bertema politik.
Platform media sosial yang lebih sering digunakan untuk penyebaran hoaks pada tahun 2019 dalah Facebook (49,54 persen), Twitter (12,84 persen), dan Whatsup (11,92 persen), (Kompas, 2 Juli 2019).
Masalahnya yang lebih serius, dalam sistem politik yang sarat dengan kapitalisasi, penyebaran hoaks dan informasi berkonten SARA justru menjadi bahan bakarnya. Kita menyakasikan informasi menyebar tanpa melalui pemeriksaan yang akurat.
Sehingga mudah menyulut kebencian, kemarahan dan orang menjadi mudah untuk terprovokasi melakukan tindakan melanggar hukum.
Pada konteks ini, kebijakan Pemerintah untuk membatasi akses media sosial dengan memblokir sementara media sosial bukan menjadi solusi yang permanen. Yang lebih penting dilakukan adalah memberikan pencerahan lebih strategis kepada publik—sebagaimana amanah UUD 1945 bahwa negara bekewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bangsa yang mengalami kekerdilan dalam pendidikan, tidak dapat merubah sikap manusia menjadi sikap kritis dan toleran. Individualisme menjadi ciri utama dan tidak suka gotong royong. Masyarakat hidup dengan penuh kecurigaan satu sama lain dan saling tidak percaya.
Maka seterusnya polarisasi politik akan memunculkan kebencian dan menganggap orang yang berbeda pilihan politik sebagai musuh. Bukankah frase “cebong” dan “kampret” adalah bentuk dari betapa dangkal peradaban kita. Yang tidak dapat saling menghargai antara satu dan yang lain?
Dua Agenda Masa Depan
Presiden Joko Widodo yang terpilih kembali sebagai presiden periode 2019-2024 memiliki kesempatan besar memperbaiki persoalan kritis bangsa ini. Bukan sekedar penyebaran hoaks tetapi yang lebih parah hoaks telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat hidup bersama namun mengalami distrust, saling tidak percaya—yang pada akhirnya akan menjadi bom waktu perang saudara seperti pada negara-negara Timur Tengah. Kita berharap ini tidak sampai terjadi.
Yang perlu dilakukan Pemerintah pada masa depan adalah pertama, penguatan literasi digital masyarakat. Kita hidup pada zaman industri disrupsi digital. Segala arus informasi bisa diterima masyarakat tanpa ada filterisasi. Karena itu, pertahanan Bangsa juga harus dilihat dari arus digitalisasi informasi. Bahwa perang militer bisa saja berakhir, tetapi perang siber sejatinya telah dimulai. Negara bertanggungjawab untuk melindungi tumpah air bangsa dari ancaman keterbelahan karena arus hoaks dan informasi menyesatkan.
Kedua, pembangunan kebudayaan. Perlu ada terobosan yang lebih sistematis untuk meningkatkan literasi masyarakat—bukan dalam arti sempit—tetapi meningkatkan kecerdasan publik guna memiliki nalar kriris, sistem berfikir yang logis dan tidak bersumbu pendek yang mudah disulut informasi bohong. Sehingga yang dibangun sebenarnya adalah kebudayaan yang bersumbu pada kemanusiaan. Pembangunan kebudayaan yang tidak bersumbu pada pembangunan manusia tidak akan menghasilkan apa-apa.
Gagalnya tansformasi kebudayaan sebagai nilai hidup dan pendidikan yang menjadikan orang ber-kebudayaan inilah menjadi bahan bakar dari masyarakat berfikir sumbu pendek, dangkal dan mudah terprovokasi!
Selain memiliki minat baca yang rendah, bangsa Indoenesia juga menjadi negara paling maju dalam hal akses internet. Hasil survey Most Litered Nation in The World yang dilakukan oleh Connecticut State University pada 2016 lalu, Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara yang diteliti terkait minta baca masyarakat. Indonesia persis berada satu digit di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwania (61).
Sementara itu, Indonesia masuk lima besar negara paling kecanduan internet. Situs HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk Global Digital Report yang dirilis pada Januari 2019 menempatkan Indoensia negara ke-5 di dunia paling kecanduan internet. Rata-rata penduduk Indonesia mengakses internet selama 8 jam 36 menit setiap hari.
Rendahnya minat baca masyarakat, disertai disrupsi digital—dimana masyarakat dapat mengakses internet secara bebas dan mudah. Realitas dan kebenaran tidak dilihat secara fakta objektifitas. Tetapi orang akan melihat kebenaran dengan halusinasi di depan layar gadget.
Membangun Nalar Krtis
Disrupsi digital, haoks, hate speech di media sosial, dan penyebaran konten SARA, terutama saat Pemilu 2019 lalu telah memberikan kekhawatiran bagi kehidupan berbangsa. Pemerintah memutuskan untuk menutup sementara akses media sosial seperti Whatsup, Facebook dan Youtube untuk menghindari penyebaran informasi bohong saat demo di Bawaslu tangal 21 dan 22 Mei lalu.
Ekspresi politik masyarakat lebih tampak seperti pertempuran medan perang daripada kontestasi ideologi yang konstruktif. Isinya tak lebih dari sekedar cacian, hinaan, keberutalan dan kekerasan verbal di media sosial. Polarisasi masyarakat juga terbagi pada kubu ‘aku’ dan ‘dia’, sedang yang lain—atau lian adalah orang yang berbeda dan harus segera dicaci maki, dihinakan, kalo perlu dilucuti harkat personalitas kepribadiannya.
Politik menjadi kehilangan daya geraknya sebagai perwujudan keadilan dan kemaslahatan bersama. Sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar 1945. Politik kehilangan nalar kritisnya. Para politisi lebh suka menampilkan lakon yang dangkal daripada menjadi teladan bagi konsituen dan pengikutnya.
Justru tokoh-tokoh politik lebih suka menyulut api dan membakar semangat kebencian yang tinggi daripada memberikan kesejukan dan kejernihan kepada pengikutnya. Secara nyata, masyarakat dapat melihat segala bentuk kedangkalan politik ini di media sosial, lalu mengikutinya dan menyebarkannya secara gembira.
Sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran berita hoaks dan konten SARA yang tersebar tidak hanya lewat berita, tapi juga photo dan video, tak ada jalan lain kecuali meningkatkan literasi masyarakat.
Literasi Digital
Penguatan literasi tidak hanya sekedar membuat masyarakat menjadi gemar dan pandai membaca. Yang lebih penting mengasah nalar kritis masyarakat. Sehingga masyarakat dapat melakukan pertimbangan filterisasi terhadap semua informasi.
Tanpa nalar kritis, orang menjadi berfikir dengan sumbu pendek dan dangkal. Gampang marah, mudah terprovokasi dan sulit punya empati pada orang yang berbeda. Ia akan lebih cenderung merasa paling benar, sedangkan yang lain adalah orang salah yang harus dilawan.
Gejala ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, justru juga terjadi pada kelompok elit, akademisi, politisi yang mengalami post truth. Kebenaran tak lagi dipandang sebagai obyektivitas, tapi kebenaran sekedar dilihat dari sudut partisan dan kepentingan sesaat. Lantas mereka terjebak pada kekerdilan nalar dan kekeringan etika.
Sejak tahun 2017 Kemenkominfo telah menginisiasi untuk melakukan gerakan bertajuk Gerakan Nasional Literasi Digital. Sebuah gerakan yang mengacu pada konsep UNESCO yang bersifat kultural edukatif. Gerakan ini sebagai upaya untuk menyebarkan pengetahuan dan etika digital secara masif dan luas secara populer yang menarik.
Gerakan ini berkembang pesat. Puncaknya gerakan ini diapresiasi sebagai “Indonesia Brand of Endorsement of the Year 2018”. Juga mendapatkan penghargaan Champion dalam WSIS Prize 2018 oleh International Telecommunication Union (ITU) PBB.
Lantas mengapa penyebaran hoaks justru berkembang pesat pada Pemilu 2019? Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafidno) mencatat selama Januari 2019 terdapat 109 berita hoaks, 58 diantaranya terkait soal politik. Sedangkan tahun 2018 terdapat 997 berita hoaks, 488 diantaranya bertema politik.
Platform media sosial yang lebih sering digunakan untuk penyebaran hoaks pada tahun 2019 dalah Facebook (49,54 persen), Twitter (12,84 persen), dan Whatsup (11,92 persen), (Kompas, 2 Juli 2019).
Masalahnya yang lebih serius, dalam sistem politik yang sarat dengan kapitalisasi, penyebaran hoaks dan informasi berkonten SARA justru menjadi bahan bakarnya. Kita menyakasikan informasi menyebar tanpa melalui pemeriksaan yang akurat.
Sehingga mudah menyulut kebencian, kemarahan dan orang menjadi mudah untuk terprovokasi melakukan tindakan melanggar hukum.
Pada konteks ini, kebijakan Pemerintah untuk membatasi akses media sosial dengan memblokir sementara media sosial bukan menjadi solusi yang permanen. Yang lebih penting dilakukan adalah memberikan pencerahan lebih strategis kepada publik—sebagaimana amanah UUD 1945 bahwa negara bekewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bangsa yang mengalami kekerdilan dalam pendidikan, tidak dapat merubah sikap manusia menjadi sikap kritis dan toleran. Individualisme menjadi ciri utama dan tidak suka gotong royong. Masyarakat hidup dengan penuh kecurigaan satu sama lain dan saling tidak percaya.
Maka seterusnya polarisasi politik akan memunculkan kebencian dan menganggap orang yang berbeda pilihan politik sebagai musuh. Bukankah frase “cebong” dan “kampret” adalah bentuk dari betapa dangkal peradaban kita. Yang tidak dapat saling menghargai antara satu dan yang lain?
Dua Agenda Masa Depan
Presiden Joko Widodo yang terpilih kembali sebagai presiden periode 2019-2024 memiliki kesempatan besar memperbaiki persoalan kritis bangsa ini. Bukan sekedar penyebaran hoaks tetapi yang lebih parah hoaks telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat hidup bersama namun mengalami distrust, saling tidak percaya—yang pada akhirnya akan menjadi bom waktu perang saudara seperti pada negara-negara Timur Tengah. Kita berharap ini tidak sampai terjadi.
Yang perlu dilakukan Pemerintah pada masa depan adalah pertama, penguatan literasi digital masyarakat. Kita hidup pada zaman industri disrupsi digital. Segala arus informasi bisa diterima masyarakat tanpa ada filterisasi. Karena itu, pertahanan Bangsa juga harus dilihat dari arus digitalisasi informasi. Bahwa perang militer bisa saja berakhir, tetapi perang siber sejatinya telah dimulai. Negara bertanggungjawab untuk melindungi tumpah air bangsa dari ancaman keterbelahan karena arus hoaks dan informasi menyesatkan.
Kedua, pembangunan kebudayaan. Perlu ada terobosan yang lebih sistematis untuk meningkatkan literasi masyarakat—bukan dalam arti sempit—tetapi meningkatkan kecerdasan publik guna memiliki nalar kriris, sistem berfikir yang logis dan tidak bersumbu pendek yang mudah disulut informasi bohong. Sehingga yang dibangun sebenarnya adalah kebudayaan yang bersumbu pada kemanusiaan. Pembangunan kebudayaan yang tidak bersumbu pada pembangunan manusia tidak akan menghasilkan apa-apa.
Gagalnya tansformasi kebudayaan sebagai nilai hidup dan pendidikan yang menjadikan orang ber-kebudayaan inilah menjadi bahan bakar dari masyarakat berfikir sumbu pendek, dangkal dan mudah terprovokasi!