Kupang (ANTARA) - Isak tangis keluarga mulai pecah ketika para petugas membawa peti jenazah keluar dari cargo udara Bandara El Tari Kupang, pada Rabu, 11 Desember 2019.
Keluarga menangis histeris sambil memeluk peti jenazah yang berisikan jasad Agustinus Reko Deta, pekerja migran asal Desa Laboya Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur itu.
Mendiang adalah pekerja migran nonprosedural yang bekerja di Capricom Central Shipbuilding Sdn. Bhd, beralamat di Lot 548, Rantau Panjang, 96000 Sibu, Sarawak, Malaysia.
Almarhum yang lahir di Leta Kahebu 4 April 1985 Sumba Barat Daya itu, meninggal dunia pada 6 Desember 2019, tetapi tidak diketahui penyebab kematian karena keluarga menolak jenazah untuk diotopsi.
Berdasarkan surat keterangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia Kuching nomor: KCH/0132/K/SKK/1219 menerangkan, jenazah korban dipulangkan ke Indonesia pada 9 Desember melalui jalan darat dari Sibu ke perbatasan Tebedu-Entikong.
Pada hari yang sama jenazah melanjutkan perjalanan darat dari Entikong ke Pontianak sebelum diberangkatkan ke NTT melalui Jakarta menggunakan pesawat terbang.
Jenazah Agustinus Reko Deta, merupakan korban ke 116 pekerja migran asal provinsi berbasis kepulauan itu, yang dipulangkan ke NTT sejak Januari hingga 18 Desember 2019.
287 jenazah
Selama tiga tahun terakhir, mulai Januari 2017 hingga 18 Desember 2019, pemerintah dan rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menerima 287 peti jenazah pekerja migran asal daerah itu.
Jumlah tersebut terdiri dari 62 peti jenazah pada tahun 2017, sebanyak 105 peti jenazah pada tahun 2018 dan 115 peti jenazah selama Januari hingga 18 Desember 2019, kata Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Siwa.
Jumlah peti jenazah terbanyak diterima selama Januari hingga 18 Desember 2019 yakni sebanyak 116 peti jenazah.
Ia mengatakan, pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia di luar negeri ini, umumnya adalah mereka yang berangkat ke berbagai negara tujuan untuk mencari kerja, tanpa melalui prosedur resmi.
Karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan jumlah korban adalah mendorong tenaga kerja untuk bekerja di luar negeri melalui prosedur resmi.
Hanya dengan melalui jalur resmi, setiap pekerja migran yang dikirim mendapat perlindungan selama berada di negara tujuan, katanya menjelaskan.
Sekretaris II Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JarNas Anti TPPO), Gabriel Goa secara terpisah mengatakan, jumlah pekerja migran asal NTT yang meninggal dunia sampai dengan 18 Desember 2019 sesungguhnya sebanyak 118 orang.
"Kalau jumlah jenazah yang difasilitasi oleh BP3TKI memang 116 orang, tetapi ada jenazah yang difasilitasi oleh Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma) Indonesia, sehingga jumlahnya mencapai 118 orang," katanya.
Gabriel Goa yang juga Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma) Indonesia itu mengatakan, keprihatinannya karena pekerja migran yang meninggal dunia setiap tahun terus mengalami peningkatan, tetapi pemerintah tampaknya tidak memiliki solusi.
Menurut dia, pemerintah seharusnya mencari solusi kemanusiaan yang tepat, untuk mengakhiri jatuhnya korban jiwa dari mereka yang memilih jalan pintas untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Keprihatinan yang sama disampaikan organisasi kemanusiaan Tenaganita, yang menyesalkan sedikitnya minat untuk memeriksa penyebab kematian, dan mencari cara untuk meminimalkan kematian mereka sebanyak mungkin.
Direktur PADMA Indonesia Gabriel Goa (dua dari kiri) saat menjemput jenazah PMI di Bandara El Tari Kupang. (ANTARA/Bernadus Tokan)
Tenaganita merupakan sebuah organisasi kemanusiaan pendamping Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berkedudukan di Malaysia.
Meninggal dikubur
Di tengah berdatangannya peti jenazah pekerja migran NTT, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat justru membuat pernyataan yang kontroversial.
"Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apalagi," kata Viktor.
Gubernur mengaku prihatin atas banyaknya pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal dunia di Malaysia.
Dia menyayangkan warga NTT yang memilih menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri karena menjadi pekerja ilegal tidak mendatangkan keuntungan bagi para pekerja itu sendiri.
Viktor mengaku, pihaknya selama ini kesulitan mendeteksi keberadaan pekerja migran ilegal asal NTT, baik yang bekerja di Negeri Jiran maupun di luar negeri.
"Mereka kan ilegal. Kita tidak tahu mereka tinggal di mana. Kalau tidak terdata, bagaimana kita mau tahu keberadaan mereka," ujarnya.
Menurut dia, kebanyakanpekerja ilegal yang dikirimkan ke luar negeri kerap menjadi korban human trafficking.
Kasus meninggalnya pekerja migral ilegal tampaknya tidak akan berhenti dari tahun ke tahun.
Dia mengaku, guna menekan kasus human trafficking terjadi pada pekerja asal NTT, pihaknya akan berkoordinasi dengan BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan.
"Sekarang ini kita tidak tahu sehingga kita tunggu saja kalau dia hidup makmur dan sejahtera kita ucapkan syukur alhamdulillah. Kalau meninggal ya kubur. Mau apa lagi, karena tidak ada upaya lain," ujar Viktor.
Pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laikodat terkait human trafficking ini banyak menuai kecaman, karena dinilai tidak manusiawi.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang bahkan mengecam pernyataan Gubernur Viktor Laiskodat terkait pekerja migran asal NTT, yang kerap kali menjadi korban human trafficking.
Tidak berempati
Presidium Gerakan Kemasyarakatan (GerMas) PMKRI Kupang, Alexius Easton Ance mengatakan, ada beberapa poin penting yang dimaknai dari pernyataan Gubernur Laiskodat tentang persoalan pmi di NTT ini.
Pertama, dari sisi kemanusiaan pernyataan itu terimplisit makna bahwa Gubernur Laiskodat sama sekali tidak mempunyai rasa empati terhadap sesama manusia. Apalagi dalam konteks ini, maksud yang dikatakannya itu adalah rakyatnya sendiri.
"Bagaimana mungkin, di tengah duka yang dialami oleh keluarga korban human trafficking di NTT yang sudah mencapai jumlah yang sama dengan angka kematian pekerja migran NTT tahun 2018 sebanyak 105 orang, lantas mengeluarkan pernyataan yang begitu menyayat hati," katanya.
Menurut PMKRI, pernyataan itu adalah representasi dari apa yang dikatakan oleh Thomas Hobes, "Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya”. Pernyataan ini sangat tidak manusiawi,” tegasnya.
Kedua, pernyataan itu terimplisit pula gubernur mau menyatakan kepada rakyat NTT tentang ketidakmampuannya memaksimalkan kerja seluruh stakeholder, untuk mengatasi berbagai macam problematika yang telah lama menggurita di provinsi ini, khususnya dalam hal ini masalah pmi asal NTT.
Ia mengatakan, Gubernur NTT mestinya melihat persoalan ini sebagai persoalan yang serius, dan menjadi fokus perhatian yang utama.
Terlepas dari para pekerja migran yang meninggal itu berstatus legal dan ilegal, satu hal yang pasti bahwa keberangkatan mereka keluar negeri itu karena tidak terpenuhinya kebutuhan hidup mereka di dalam negeri, khususnya di NTT.
Hal ini bisa terlihat dari meningkatnya angka kematian pekerja migran asal NTT, dan dalam waktu yang bersamaan indeks pembangunan di NTT pun sangat rendah.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menunjukkan angka kemiskinan di NTT sebesar 21,09 persen meningkat 0,06 persen dibanding tahun 2018.
Sementara angka pengangguran dari tahun 2018 sebesar 76,300 meningkat 78.500 pada 2019, dan angka persoalan stunting masih sangat tinggi yaitu 42,6 persen.
"Fakta ini tidak bisa terbantahkan dan untuk itu kami tegaskan pemerintah provinsi mesti melihat dan mencari solusi penanganan human traficking ini dari akar persoalannya yaitu mengentaskan kesenjangan sosial," katanya.
Tidak mampu
Sementara itu, pemerhati masalah human trafficking pendeta Emmy Sahertian menilai, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat sudah putus asa, dan sudah tidak mampu menangani banyaknya pekerja migran asal NTT yang dipulangkan dalam wujud jenazah.
"Pernyataan Pak Gubernur Viktor Laiskodar beberapa waktu lalu soal pekerja migran NTT yang dipulangkan dalam wujud jenazah membuktikan ketidakmampuannya menangani masalah ini," katanya.
Bahkan Emmy meminta agar orang nomor satu di provinsi berbasis kepulauan itu segera mundur dari jabatannya sebagai gubernur jika sudah tak mampu menangani masalah pekerja migran di provinsi termiskin ketiga secara nasional itu.
Keluarga menangis histeris sambil memeluk peti jenazah yang berisikan jasad Agustinus Reko Deta, pekerja migran asal Desa Laboya Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur itu.
Mendiang adalah pekerja migran nonprosedural yang bekerja di Capricom Central Shipbuilding Sdn. Bhd, beralamat di Lot 548, Rantau Panjang, 96000 Sibu, Sarawak, Malaysia.
Almarhum yang lahir di Leta Kahebu 4 April 1985 Sumba Barat Daya itu, meninggal dunia pada 6 Desember 2019, tetapi tidak diketahui penyebab kematian karena keluarga menolak jenazah untuk diotopsi.
Berdasarkan surat keterangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia Kuching nomor: KCH/0132/K/SKK/1219 menerangkan, jenazah korban dipulangkan ke Indonesia pada 9 Desember melalui jalan darat dari Sibu ke perbatasan Tebedu-Entikong.
Pada hari yang sama jenazah melanjutkan perjalanan darat dari Entikong ke Pontianak sebelum diberangkatkan ke NTT melalui Jakarta menggunakan pesawat terbang.
Jenazah Agustinus Reko Deta, merupakan korban ke 116 pekerja migran asal provinsi berbasis kepulauan itu, yang dipulangkan ke NTT sejak Januari hingga 18 Desember 2019.
287 jenazah
Selama tiga tahun terakhir, mulai Januari 2017 hingga 18 Desember 2019, pemerintah dan rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menerima 287 peti jenazah pekerja migran asal daerah itu.
Jumlah tersebut terdiri dari 62 peti jenazah pada tahun 2017, sebanyak 105 peti jenazah pada tahun 2018 dan 115 peti jenazah selama Januari hingga 18 Desember 2019, kata Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Siwa.
Jumlah peti jenazah terbanyak diterima selama Januari hingga 18 Desember 2019 yakni sebanyak 116 peti jenazah.
Ia mengatakan, pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia di luar negeri ini, umumnya adalah mereka yang berangkat ke berbagai negara tujuan untuk mencari kerja, tanpa melalui prosedur resmi.
Karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan jumlah korban adalah mendorong tenaga kerja untuk bekerja di luar negeri melalui prosedur resmi.
Hanya dengan melalui jalur resmi, setiap pekerja migran yang dikirim mendapat perlindungan selama berada di negara tujuan, katanya menjelaskan.
Sekretaris II Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JarNas Anti TPPO), Gabriel Goa secara terpisah mengatakan, jumlah pekerja migran asal NTT yang meninggal dunia sampai dengan 18 Desember 2019 sesungguhnya sebanyak 118 orang.
"Kalau jumlah jenazah yang difasilitasi oleh BP3TKI memang 116 orang, tetapi ada jenazah yang difasilitasi oleh Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma) Indonesia, sehingga jumlahnya mencapai 118 orang," katanya.
Gabriel Goa yang juga Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (Padma) Indonesia itu mengatakan, keprihatinannya karena pekerja migran yang meninggal dunia setiap tahun terus mengalami peningkatan, tetapi pemerintah tampaknya tidak memiliki solusi.
Menurut dia, pemerintah seharusnya mencari solusi kemanusiaan yang tepat, untuk mengakhiri jatuhnya korban jiwa dari mereka yang memilih jalan pintas untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Keprihatinan yang sama disampaikan organisasi kemanusiaan Tenaganita, yang menyesalkan sedikitnya minat untuk memeriksa penyebab kematian, dan mencari cara untuk meminimalkan kematian mereka sebanyak mungkin.
Tenaganita merupakan sebuah organisasi kemanusiaan pendamping Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berkedudukan di Malaysia.
Meninggal dikubur
Di tengah berdatangannya peti jenazah pekerja migran NTT, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat justru membuat pernyataan yang kontroversial.
"Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apalagi," kata Viktor.
Gubernur mengaku prihatin atas banyaknya pekerja migran ilegal asal NTT yang meninggal dunia di Malaysia.
Dia menyayangkan warga NTT yang memilih menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri karena menjadi pekerja ilegal tidak mendatangkan keuntungan bagi para pekerja itu sendiri.
Viktor mengaku, pihaknya selama ini kesulitan mendeteksi keberadaan pekerja migran ilegal asal NTT, baik yang bekerja di Negeri Jiran maupun di luar negeri.
"Mereka kan ilegal. Kita tidak tahu mereka tinggal di mana. Kalau tidak terdata, bagaimana kita mau tahu keberadaan mereka," ujarnya.
Menurut dia, kebanyakanpekerja ilegal yang dikirimkan ke luar negeri kerap menjadi korban human trafficking.
Kasus meninggalnya pekerja migral ilegal tampaknya tidak akan berhenti dari tahun ke tahun.
Dia mengaku, guna menekan kasus human trafficking terjadi pada pekerja asal NTT, pihaknya akan berkoordinasi dengan BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan.
"Sekarang ini kita tidak tahu sehingga kita tunggu saja kalau dia hidup makmur dan sejahtera kita ucapkan syukur alhamdulillah. Kalau meninggal ya kubur. Mau apa lagi, karena tidak ada upaya lain," ujar Viktor.
Pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laikodat terkait human trafficking ini banyak menuai kecaman, karena dinilai tidak manusiawi.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang bahkan mengecam pernyataan Gubernur Viktor Laiskodat terkait pekerja migran asal NTT, yang kerap kali menjadi korban human trafficking.
Tidak berempati
Presidium Gerakan Kemasyarakatan (GerMas) PMKRI Kupang, Alexius Easton Ance mengatakan, ada beberapa poin penting yang dimaknai dari pernyataan Gubernur Laiskodat tentang persoalan pmi di NTT ini.
Pertama, dari sisi kemanusiaan pernyataan itu terimplisit makna bahwa Gubernur Laiskodat sama sekali tidak mempunyai rasa empati terhadap sesama manusia. Apalagi dalam konteks ini, maksud yang dikatakannya itu adalah rakyatnya sendiri.
"Bagaimana mungkin, di tengah duka yang dialami oleh keluarga korban human trafficking di NTT yang sudah mencapai jumlah yang sama dengan angka kematian pekerja migran NTT tahun 2018 sebanyak 105 orang, lantas mengeluarkan pernyataan yang begitu menyayat hati," katanya.
Menurut PMKRI, pernyataan itu adalah representasi dari apa yang dikatakan oleh Thomas Hobes, "Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya”. Pernyataan ini sangat tidak manusiawi,” tegasnya.
Kedua, pernyataan itu terimplisit pula gubernur mau menyatakan kepada rakyat NTT tentang ketidakmampuannya memaksimalkan kerja seluruh stakeholder, untuk mengatasi berbagai macam problematika yang telah lama menggurita di provinsi ini, khususnya dalam hal ini masalah pmi asal NTT.
Ia mengatakan, Gubernur NTT mestinya melihat persoalan ini sebagai persoalan yang serius, dan menjadi fokus perhatian yang utama.
Terlepas dari para pekerja migran yang meninggal itu berstatus legal dan ilegal, satu hal yang pasti bahwa keberangkatan mereka keluar negeri itu karena tidak terpenuhinya kebutuhan hidup mereka di dalam negeri, khususnya di NTT.
Hal ini bisa terlihat dari meningkatnya angka kematian pekerja migran asal NTT, dan dalam waktu yang bersamaan indeks pembangunan di NTT pun sangat rendah.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menunjukkan angka kemiskinan di NTT sebesar 21,09 persen meningkat 0,06 persen dibanding tahun 2018.
Sementara angka pengangguran dari tahun 2018 sebesar 76,300 meningkat 78.500 pada 2019, dan angka persoalan stunting masih sangat tinggi yaitu 42,6 persen.
"Fakta ini tidak bisa terbantahkan dan untuk itu kami tegaskan pemerintah provinsi mesti melihat dan mencari solusi penanganan human traficking ini dari akar persoalannya yaitu mengentaskan kesenjangan sosial," katanya.
Tidak mampu
Sementara itu, pemerhati masalah human trafficking pendeta Emmy Sahertian menilai, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat sudah putus asa, dan sudah tidak mampu menangani banyaknya pekerja migran asal NTT yang dipulangkan dalam wujud jenazah.
"Pernyataan Pak Gubernur Viktor Laiskodar beberapa waktu lalu soal pekerja migran NTT yang dipulangkan dalam wujud jenazah membuktikan ketidakmampuannya menangani masalah ini," katanya.
Bahkan Emmy meminta agar orang nomor satu di provinsi berbasis kepulauan itu segera mundur dari jabatannya sebagai gubernur jika sudah tak mampu menangani masalah pekerja migran di provinsi termiskin ketiga secara nasional itu.