Mataram (ANTARA) - Pada periode 2018-2021, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mengalami gejolak internal yang dahsyat. Kepemimpinan di tubuh organisasi ini pecah.
Bukan hanya dua, tetapi tiga pimpinan, yakni kubu Noer Fajrieansyah, kubu Abdul Aziz, dan kubu Haris Pertama. Apakah ini pertanda senja kala KNPI?
Sebagai organisasi pemersatu dari berbagai organisasi kepemudaan (OKP), KNPI semestinya mengakhiri konflik internalnya. KNPI adalah "wadah tunggal". Ia menjadi titik pertemuan dari berbagai nuansa ideologis yang melatari organisasi kepemudaan.
KNPI menjadi tempat menyatukan ideologi, perspektif, dan visi OKP demi berkontribusi bagi bangsa Indonesia.
Bagi organisasi yang berdiri pada 1973 ini, konflik merupakan gejolak yang memang tidak bisa dinafikan. Sebab, melalui konflik, suatu organisasi akan tambah matang dan selalu siap tatkala diterpa badai persoalan. Tetapi, di sisi lain, konflik akan menjadi titik penentu, apakah organisasi akan semakin solid atau justru sebaliknya.
Di tubuh KNPI sendiri, konflik kepemimpinan memang menjadi tradisi. Pada masa kepengurusan 2005-2008, konflik internal terjadi antara Ketua DPP Hasanuddin Yusuf dan Sekjennya Munawar Fuad. Keduanya berebut pengaruh sehingga ada dua matahari dalam satu organisasi. Konsekuensi akibat ketegangan dua poros tersebut berujung pada penonaktifan Hasanuddin Yusuf dan diganti Hans Havloni Silalahi sebagai pelaksana tugas berdasar hasil Musyawarah Pimpinan Paripurna di Pekanbaru Riau pada Juli 2008.
Gejolak konflik internal terus berlangsung pada periode berikutnya. Pada Kongres XIII, menetapkan Taufan Eko Nugroho sebagai Ketua Umum KNPI periode 2011-2014. Namun, setahun kemudian, pada Maret 2012 digelar kongres tandingan dengan mengangkat Akbar Zulfakar sebagai Ketua DPP terpilih KNPI. Masalah serupa juga terjadi pada Kongres KNPI XIV 2015 di Papua.
Hasil kongres mengukuhkan Muhammad Rifai Darus sebagai Ketua DPP KNPI periode 2015-2018. Tetapi, sejarah kembali berulang. Pada Juni 2015, bergulir Kongres Luar Biasa di Jakarta dengan menetapkan Fahd A Rafiq secara aklamasi sebagai Ketua DPP KNPI.
Kini, kisruh konflik kepemimpinan kembali mendera KNPI. Seolah tak menemukan ujung pangkalnya. Tentu, konflik tersebut tidak boleh dibiarkan hingga masa-masa yang akan datang. Ada banyak agenda strategis yang perlu KNPI terlibat menyukseskannya.
Salah satunya adalah momentum bonus demografi dan Indonesia Emas 2045 yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para pemuda Indonesia.
Menyelesaikan Konflik
Konflik internal yang terus berulang mendera KNPI harus diselesaikan. Jika tidak, KNPI hanya akan menjadi organisasi yang berjalan limbung, tanpa tujuan jelas. Pada satu sisi, konflik memang dibutuhkan dalam organisasi. Setidaknya, untuk menciptakan perubahan fundamental menuju arah yang lebih baik. Konflik juga dapat mendewasakan organisasi dan menguatkan rasa persatuan antar anggota.
Namun, di sisi lain, konflik yang dibiarkan akan berefek destruktif. Ada banyak organisasi yang tidak bisa bertahan lama karena tidak mampu mengelola konflik. Masalah dualisme kepemimpinan yang terus menimpa KNP selama bertahun-tahun, jika tetap dibiarkan akan berdampak negatif terhadap eksistensi KNPI sendiri.
Bahkan, suatu saat, jika terus seperti sekarang, KNPI hanya akan tinggal nama. Sementara, organisasinya hancur dan lenyap.
Sebagai organisasi kepemudaan yang berada langsung di bawah Kementerian Pemuda dan Olahraga, sebenarnya negara bisa saja hadir mendinginkan konflik internal KNPI. Namun, hal tersebut justru tidak akan mendewasakan KNPI.
Sehingga, yang perlu dikakukan Kemenpora ialah menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat konflik dan seluruh elemen organisasi kepemudaan (OKP) sebagai pemilik "saham" sah KNPI.
Mereka yang terlibat konflik juga harus punya iktikad baik untuk duduk bersama menyelesaikannya. Salah satu cara efektif ialah segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB).
Mereka yang berkonflik harus saling berkompromi, mencari titik temu, melindapkan ego sektoral dan menentukan nilai yang perlu dijalankan bersama. Sehingga, ke depan, konflik serupa tidak terulang kembali.
Secara historis, sebagaimana disebut Hafriadi Hamid (2018) dalam Manajemen Merah Putih: Kumpulan Esai yang Mulanya Berserakan berujar "Sebagai organisasi tua, KNPI menganggap diri sebagai bagian penerus Generasi Sumpah Pemuda". Argumentasi Hafriadi tersebut bukan lahir dari ruang hampa.
Ia mendasarkannya pada jejak historis KNPI. Ali Moetorpo dan Midian Sirait yang membidani lahirnya KNPI memang hendak menjadikan organisasi ini sebagai pemersatu berbagai organisasi, sebagaimana Sumpah Pemuda yang berhasil menyatukan organisasi kepemudaan seluruh Tanah Air.
Dengan berdasar pada argumentasi di atas, seluruh stakeholder KNPI semestinya menjiwai semangat Sumpah Pemuda. Perbedaan kepentingan adalah sesuatu yang lumrah. Namun, jangan sampai perpecahan terjadi di KNPI. Di sinilah, stakeholder KNPI akan diuji. Apakah mereka akan bersatu dengan melenyapkan ego sektoralnya masing-masing atau justru sebaliknya.
Mimpi untuk terlibat aktif menyongsong Indonesia Emas 2045 dan berperan serta memanfaatkan bonus demografi akan berhenti sebatas mimpi, jika KNPI tidak segera menyelesaikan konflik internalnya. Mereka akan ketinggalan dalam agenda-agenda strategis.
Rejuvenasi Visi KNPI
Setelah konflik internal selesai, ke depan, KNPI harus melakukan rebranding organisasi. Tujuannya, biar lebih sesuai dengan kalangan millenial, lebih kekinian, dan update. Langkah tersebut penting agar KNPI sebagai "wadah tunggal" masih diminati dan masih dianggap penting oleh organisasi kepemudaan.
Apalagi KNPI disebut sebagai generasi penerus Sumpah Pemuda. Dengan demikian, KNPI harus punya komitmen untuk bersungguh-sungguh memperjuangkan gagasan demi masa depan bangsa yang lebih baik. Sehingga, bonus demografi bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh KNPI, agar tidak surplus kuantitas namun defisit kualitas.
Di samping itu, dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, KNPI harus segera melakukan rejuvenasi visi. Di era disrupsi seperti saat ini, yang terpenting dilakukan oleh organisasi ialah inovasi dan kolaborasi. Ke depan, KNPI harus lebih adaptif dengan perkembangan zaman.
Hal ini bertujuan agar visi organisasi mengalami penyegaran sehingga memberi kontribusi signifikan terharap pembangunan di negeri ini.
KNPI juga perlu membangkitkan semangat 'kaum muda' dan harus mengambil jarak dengan semangat 'kaum tua', yang oleh Yudi Latif (2018) disebut kebanyakan mewariskan tradisi korupsi, keterbelakangan, dan tidak menunjukkan kehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan.
Sedangkan, 'semangat muda' penuh dengan gelora inovasi, kobaran komitmen, progresif, dan keluasan jiwa, yang secara bersungguh-sungguh memperjuangkan visi demi membangun bangsa.
Sebagai organisasi yang telah melewati berbagai tantangan dalam setiap fase historis bangsa ini, KNPI semestinya bisa menghadapi era disrupsi yang penuh dengan ketidakpastian.
Setidaknya, menjadi pendamping bagi para pemuda-pemudi Indonesia untuk menyalurkan kreasi, inovasi dan idealismenya di berbagai sektor. Namun, semua itu baru akan terwujud, jika konflik internal yang membelenggu KNPI berhasil diakhiri. Jika tidak, KNPI sendiri yang akan berakhir.
*Direktur Eksekutif IndoPublika