Praya, Lombok Tengah (ANTARA) - Pemerintah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, telah menyediakan sarana bagi warga yang ingin bekerja ke luar negeri secara resmi, namun masih ada pekerja migran Indonesia (PMI) yang menggunakan jalur ilegal untuk bekerja ke Malaysia.
PMI memilih jalur ilegal, karena proses keberangkatan menuju Malaysia lebih cepat dibandingkan dengan jalur resmi, yang harus mengurus dokumen dan butuh waktu berbulan-bulan.
Sedangkan untuk jalur ilegal cukup dengan menyediakan uang atau biaya untuk membeli tiket dan bisa masuk ke Malaysia melalui jalur laut dari Batam menuju perairan Johor Malaysia, meskipun itu lebih berbahaya dan nyawa taruhannya.
Selain itu juga, mereka tergiur gaji yang diterima PMI ilegal cukup besar dibandingkan dengan PMI yang menggunakan jalur resmi, karena sebagian gaji dipotong untuk membayar pajak setiap bulan untuk perpanjangan dokumen.
https://mataram.antaranews.com/infografik-daerah/180661/lika-liku-pemburu-ringgit-di-negeri-sepelemparan-batu
Sehingga para PMI yang telah berangkat menggunakan jalur resmi, terkadang memilih menjadi PMI ilegal dengan cara kabur untuk mencari kerja yang lain dari penempatan kerja sebelumnya.
Salah satu mantan PMI yang pernah menggunakan jalur ilegal, inisial AB (40), warga Kota Praya mengatakan ia berangkat dari Lombok menggunakan pesawat menuju Batam. Selanjutnya, disana telah ada tekong (agen perorangan Malaysia) yang menunggu sesuai dengan petunjuk dari temannya yang ada di Malaysia.
Kemudian ia dan PMI lainnya menggunakan kapal laut pada malam hari menuju perairan Malaysia.
"Diangkut menggunakan kapal laut melalui jalur tikus pada malam hari sekitar pukul 03.00 Wita," katanya.
Lebih parahnya, ia bersama para PMI lainnya itu diturunkan cukup jauh dari bibir pantai, sehingga harus berenang menuju pinggir pantai melewati rawa sambal membawa pakaian di atas kepala supaya tidak basah. Selanjutnya berjalan kaki dengan melewati perkebunan menuju tempat yang telah disediakan di perkampungan
"Ketika sampai di wilayah Malaysia telah ada yang menunggu sebagai penunjuk arah ke tempat penampungan," katanya.
Dirinya menggunakan jalur ilegal itu, karena proses lebih cepat dan gaji lebih besar, dalam sebulan bisa mendapatkan gaji Rp7 juta, sedangkan gaji PMI jalur resmi itu Rp3,5 juta.
"Tapi itu dia, taruhan nyawa, kalau bisa berenang bisa sampai, tapi kalau tidak akan tenggelam. Saya tidak berani lagi menggunakan jalur ilegal, lebih baik gaji sedikit dari pada risiko besar harus dihadapi," katanya.
Pengirim PMI ilegal ini memiliki jaringan khusus, kebanyakan yang menggunakan jalur yang telah lama bekerja dan sebagian yang diajak oleh teman atau keluarganya yang sudah bekerja di Malaysia. Selain itu juga, para PMI yang ilegal itu tetap bisa bekerja, hanya saja ketika ada razia, mereka harus lari dan bersembunyi di tengah kebun sawit.
“Rasa was-was selalu ada, ketika ada razia dari Pemerintah Malaysia,” katanya.
Butuh biaya besar
Sementara itu, penyalur PMI melalui jalur resmi, M Samsul, mengatakan hal yang sama. PMI ilegal itu masuk mengganggu jalur tikus dan dibawa menggunakan kapal dari Batam menuju perairan Malaysia. Setelah itu mereka diminta turun dan berenang menuju ke pesisir pantai dan mereka telah ditunggu oleh oknum tekong yang ada di Malaysia.
"PMI itu ada yang berangkat menggunakan paspor pelancong serta menggunakan jalur resmi, namun setelah sampai di negara tujuan mereka kabur," katanya.
PMI yang menggunakan jalur ilegal itu biasanya yang tidak bisa masuk ke Malaysia, karena sebelumnya mereka bermasalah di dokumen pembuatan paspor, sehingga mau tidak mau harus menggunakan jalur ilegal dan prosesnya lebih cepat.
Selain itu ada juga karena ajakan dari kerabat mereka yang telah bekerja lama di Malaysia dan adanya faktor lain seperti gaji lebih besar dan sebagainya.
"Saat ini rata-rata mereka sendiri yang datang minta untuk diberangkatkan secara ilegal, asalkan bisa masuk Malaysia meskipun berbahaya seperti kasus PMI yang meninggal di perairan Johor Malaysia,” katanya.
Kalau dari segi biaya memang tidak tidak jauh berbeda dengan jalur resmi. Tetapi mereka memilih jalur ilegal karena proses cepat dan gaji cukup besar.
"Selama ini saya hanya berangkatkan PMI dengan jalur resmi, risiko jalur ilegal cukup besar," katanya.
Begitu juga dengan PMI yang menggunakan jalur pelancong, setelah bisa masuk, baru mereka dijemput oleh kerabatnya yang telah bekerja di Malaysia.
"Yang berangkat resmi saja, banyak yang kabur dan memilih menjadi PMI ilegal, karena tergoda gaji dan faktor lainnya. Apalagi di saat pandemi COVID ini, katanya Malaysia kekurangan tenaga kerja dan gaji yang ditawarkan cukup besar," katanya.
Sebelum diberangkatkan, PMI yang menggunakan jalur resmi tetap diberikan pengarahan supaya bekerja dengan baik, sehingga ketika ada persoalan penanganan lebih mudah dan mereka juga diberikan asuransi keselamatan.
"Kalau ilegal tentu tidak dapat jaminan keselamatan, seperti kasus yang menimpa warga Desa Barebali yang meninggal dunia akibat kecelakaan laut," katanya.
Ketika PMI yang menggunakan jalur Ilegal telah bisa bekerja di Malaysia, risiko lainnya yang dihadapi adalah biaya kepulangan cukup mahal, mereka harus mengeluarkan uang Rp10 juta sampai 15 juta. Ketika tidak ada biaya, mereka terpaksa ditangkap dan ditahan selanjutnya baru bisa dipulangkan setelah di deportasi.
"Saya kalau pulang diminta uang Rp10 juta," kata PMI ilegal inisial S yang masih bekerja di Malaysia.
PMI ilegal tenggelam
Tiga PMI asal Kabupaten Lombok Tengah, meninggal dunia setelah tenggelam akibat kecelakaan laut di perairan Johor Malaysia saat akan masuk menggunakan jalur ilegal.
PMI itu tenggelam setelah disuruh turun dan berenang menuju pinggir pantai dari kapal yang membawa mereka dengan jarak 500 meter, sehingga mereka terbawa arus ombak dan tewas serta yang lainnya dikabarkan selamat.
Staf Pengelola Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Cahyaning Widi mengatakan berdasarkan dari keterangan dari WNI yang selamat, korban dibawa menggunakan kapal menuju perairan Malaysia dan setelah mencapai sekitar 500 meter dari garis pantai, para penumpang dipaksa terjun ke laut untuk berenang menuju tepi pantai.
"Kondisi tersebut menyebabkan barang bawaan penumpang seperti dompet, paspor, handphone, dan sebagainya hilang," katanya.
Di satu sisi bagi PMI yang bisa berenang tentu mereka bisa melewati jalur berbahaya tersebut, sedangkan bagi PMI yang tidak kuat berenang harus pasrah terseret ombak sampai nyawa mereka melayang.
"Mereka meninggal di laut," katanya.
Otoritas setempat akan memeriksa kedua WNI selamat dan melanjutkan proses pengadilannya sebelum dideportasi ke Indonesia.
"Warga yang ditemukan selamat masih menjalani pemeriksaan," katanya.
Sebelumnya, dalam musibah kapal karam tersebut terdapat sebanyak 50 orang WNI yang akan menjadi PMI ke Malaysia, tapi kemudian di tengah laut kapalnya mengalami kecelakaan dan karam. Dalam peristiwa itu sebanyak 11 orang ditemukan meninggal dunia, 14 orang selamat dan 25 orang lagi belum diketahui keberadaannya.
Lima PMI asal Kabupaten Lombok Timur dikabarkan hilang tenggelam. Selain itu juga, sebelumnya tiga PMI asal Kabupaten Lombok Tengah juga mengalami kecelakaan laut akibatnya cuaca ekstrem dan ditemukan terdampar di perairan timur Semenanjung sekitar Mersing, dan Tanjung Bedil, Johor, Malaysia.
Jenazah PMI ilegal tersebut telah dipulangkan pemerintah Indonesia dan telah di serahkan kepada pihak keluarganya untuk dimakamkan di Desa Barebali dan Desa Montong Terep.*