KEJARI MATARAM TAHAN PENGGUNA BUKU NIKAH PALSU

id

     Mataram, 7/3 (Antara) - Aparat Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menahan Hj Tina Supiati (44), wanita beranak dua yang disangka menggunakan buka nikah palsu saat menggugat cerai suaminya.

     "Ditahan, setelah pelimpahan berkas perkara, barang bukti dan tersangka dari kepolisian," kata Lalu Rudi Gunawan selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menerima pelimpahan berkas perkara itu dari penyidik Polda NTB, di Mataram, Kamis.

     Rudi mengatakan, berkas perkara yang dilimpahkan penyidik Polda NTB itu berupa kasus penggunaan buku nikah palsu atau buku nikah yang dibuat secara sepihak meskipun diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Ampenan.

     Barang bukti yang dilimpahkan beserta berkas perkara dan tersangka berupa akte kelahiran dua orang anaknya dan buku nikah yang diterbitkan KUA namun proses pembuatannya tidak sesuai prosedur dan berisi data palsu.

     Penyidik polisi dan kejaksaan menyebut buku nikah itu asli tapi palsu (aspal), sehingga layak ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

     "Ibu Tina menikah dibawah tangan dengan pria bernama Sudaryanto di Lumajang, tahun 1992. Dalam perjalanan waktu mereka mempunyai anak dan saat pembuatan akte kelahiran anak harus ada surat nikah. Surat nikah itu tidak diketahui siapa yang buat," ujarnya.

     Menurut tersangka, lanjut Rudi, yang membuat surat nikah itu adalah Sudaryanto, namun Sudaryanto mengaku tidak tahu-menahu soal buku nikah itu, hingga buku nikah itu dipergunakan lagi untuk mengurus akte kelahiran anak kedua.

     Namun, pengurusan akte kelahiran anak kedua disertai saksi yakni adik dari Sudaryanto, berbeda dengan pengurusan akte kelahiran anak pertama yang tidak disertai saksi.

     Selanjutnya, pengurusan kredit di perbankan, yang juga menyertakan buku nikah itu, meskipun buku nikah itu bukan syarat mutlak pengurusan kredit.

     "Nah, semestinya dilakukan proses hukum terhadap pemalsu buku nikah itu atau orang yang menggunakan data-data palsu dan pembuatan buku nikah sepihak itu, namun dalam undang undang jika kasus pemalsuan tidak diproses lebih dari 20 tahun maka dinyatakan daluarsa. Buku nikah itu tahun 1992, sekarang sudah 2013 atau lebih dari 20 tahun," ujarnya.

     Karena itu, aparat penegak hukum hanya berkemungkinan memproseshukumkan kasus penggunaan buku nikah palsu itu, yang digunakan di 2012 atau setelah masa daluarasa.

     Buku nikah itu pergunakan Tina saat menggugat cerai suaminya yang menikah dibawah tangan, namun mereka memiliki buku nikah, di Pengadilan Agama (PA) Mataram, 12 Oktober Oktober 2012.

     Perkara gugatan cerai itu pun kini tengah bergulir di PA Mataram, selain perkara pidana yakni penggunaan buku nikah palsu yang oleh polisi dan kejaksaan berkas perkaranya dinyatakan lengkap.

     "Semestinya setiap gugatan cerai di pengadilan agama, harus ada buku nikah atau bukti bahwa pasangan suami istri itu tercatat di KUA jika beragama Islam. Ini nggak (tidak), makanya layak dipidanakan," ujar Rudi.

     Menurut Rudi, pengguna buku nikah itu dijerat pasal 264 ayat 2 KUHP untuk dakwaan primer dengan ancaman hukuman delapan tahun penjara, dan pasal 266 ayat 2 KUHP untuk dakwaan subsidier dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara, serta pasal 263 ayat 2 KUHP untuk dakwaan lebih-lebih subsidier dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

     Hanya saja, Tina selaku tersangka dan tim penasehat hukumnya enggan menandatangani surat penahanan yang disodorkan kepadanya.

     Kejari Mataram kemudian menempuh upaya paksa yakni menahan tersangka, demi kelancaran proses penuntutan perkara penggunaan buku nikah palsu itu. (*)