Mataram (Antara Mataram) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Barat (NTB) bekerja sama dengan Lombok Post menggelar pelatihan jurnalisme antiradikalisme dan terorisme, yang diikuti oleh lebih dari 60 orang wartawan dari berbagai media massa.
Pelatihan jurnalisme itu berlangsung di Sekretariat PWI NTB, di Mataram, Sabtu, yang dibuka oleh Wakil Gubernur NTB H Muh Amin.
Pelatihan tersebut melibatkan DR Kadri selaku pakar komunikasi di NTB, dan para pimpinan redaksi media lokal di NTB, sebagai pembicara.
Ketua PWI NTB H Sukisman Azmy mengatakan, pelatihan jurnalisme tersebut merupakan bagian dari upaya peningkatan kualiatas wartawan, terutama dalam menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan aksi radikalisme dan terorisme.
"Setiap insan pers diharapkan dapat menginformasikan aksi-aksi radikalisme dengan cara-cara yang tepat, agar publik dapat memahami dengan baik, dan tidak terpengaruh paham-paham atau ajaran sesat yang mengarah kepada tindakan radikalisme dan terorisme," ujarnya.
Sukisman juga mengemukakan bahwa PWI NTB akan terus berupaya meningkatkan kualitas wartawann, antara lain melalui uji kompetensi yang dilakukan secara bertahap.
PWI NTB sudah memfasilitasi uji kompetensi tahap pertama, dan akan melaksanakan kegiatan serupa yang direncanakan Desember mendatang.
"Pada saatnya nanti, semua wartawan harus lulus uji kompetensi baru diakui keberadaannya di tengah masyarakat. Nara sumber pun dapat menolak diwawancarai wartawan yang belum lulus uji kompetensi," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Gubernur NTB H Muh Amin mengapresiasi PWI NTB yang terus berupaya meningkatkan kualitas para pekerja pers di wilayah itu.
Amin mengakui, kemajuan teknologi dewasa ini rentan disalahgunakan termasuk oleh insan pers, sehingga diperlukan kecakapan untuk mengolah informasi sebelum disampaikan ke publik.
Dia berharap, pers tidak menginformasikan hal-hal yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk jatuh ke dalam paham-paham atau ajaran yang mengarah kepada tindakan radikalisme dan terorisme.
"Pers memiliki peran penting dan strategis, sehingga dalam pemberitaan berbau radikalisme dan terorisme harus tetap mempertimbangkan aspek pemberdayaan masyarakat. Jangan sampai masyarakat terjerumus dalam paham-paham yang tidak benar," ujarnya.
Karena itu, ia berharap pelatihan jurnalisme antiradikalisme dna terorisme itu dapat menjadi wadah untuk peningkatan kualitas wartawan terutama dalam memberitakan informasi tentang aksi-aksi radikalisme dan terorisme.
Setiap pemberitaan tentang radikalisme dan terorisme, semestinya mengarah kepada upaya cipta kondisi yang membuat masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu lebih tahan terhadap paham-paham menyesatkan.
"Jangan sampai terpengaruh paham-paham tertentu yang pada akhirnya merusak kenyaman dan ketentraman hidup berbangsa dan bernegara di wilayah ini," ujar politisi dari Partai Golkar itu. (*)