KPK periksa mantan Hakim Agung saksi kasus suap di MA

id Kpk,Komisi Pemberantasan Korupsi ,Suap,Mahkamah Agung ,Suap Mahkamah Agung

KPK periksa mantan Hakim Agung saksi kasus suap di MA

Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri. ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu, memeriksa mantan Hakim Agung Republik Indonesia Sofyan Sitompul diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung dengan tersangka Hakim Agung Gazalba Saleh (GS).

"Pemeriksaan dilakukan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Setiabudi, Jakarta Selatan, atas nama Sofyan Sitompul, mantan Hakim Agung Republik Indonesia," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu.

Selain Sofyan Sitompul, Ali menerangkan ada tiga saksi lain yang diperiksa penyidik KPK sore ini, yakni Pengacara Kiky Saepudin, Notaris R Tunggul Nirboyo, dan wiraswasta Jaffar Abdul Gaffar.

Dalam perkara tersebut, penyidik KPK telah menetapkan 15 orang tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA. Mereka adalah Hakim Yustisial Edy Wibowo, Hakim Agung Gazalba Saleh, Hakim Yustisial Prasetio Nugroho, dan Redhy Novarisza selaku staf Gazalba Saleh.

Tersangka lainnya adalah Hakim Agung Sudrajat Dimyati, Hakim Yudisial atau Panitera Pengganti Elly Tri Pangestu (ETP), dua aparatur sipil negara (ASN) Kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua ASN di MA Nurmanto Akmal (NA), dan Albasri (AB).

Kemudian, Pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT), debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS) dan tersangka terbaru adalah Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar Wahyudi Hardi (WH).

Konstruksi perkara yang menjerat GS dan kawan-kawan, KPK mengungkapkan bermula pada awal 2022 perihal adanya perselisihan di internal Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID). Kemudian terjadi pelaporan perkara pidana dan gugatan perdata yang berlanjut hingga proses persidangan di Pengadilan Negeri Semarang.

Kemudian, YP dan ES ditunjuk HT sebagai pengacara untuk mendampingi selama dua proses hukum tersebut berlangsung. Mengenai perkara pidana, HT melaporkan Budiman Gandi Suparman selaku pengurus KSP Intidana karena adanya pemalsuan akta dan putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Semarang dengan terdakwa Budiman dinyatakan bebas.

Adapun langkah hukum selanjutnya, yaitu jaksa mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. HT kemudian menugaskan YP dan ES untuk turut mengawal proses kasasi di MA agar pengajuan kasasi dikabulkan.

Baca juga: KPK periksa tiga mantan anggota DPRD DKI Jakarta
Baca juga: KPK periksa Direktur Kepatuhan BSI s


Oleh karena YP dan ES telah mengenal baik dan biasa bekerja sama dengan DY sebagai salah satu staf di Kepaniteraan MA untuk mengondisikan putusan maka digunakan melalui jalur DY dengan adanya kesepakatan pemberian uang sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura (setara dengan Rp2,2 miliar).

Untuk proses pengondisian putusan, DY turut mengajak NA yang juga staf di Kepaniteraan MA. Selanjutnya, NA mengkomunikasikan lagi dengan RN selaku staf Hakim Agung GS dan PN selaku asisten Hakim Agung GS sekaligus sebagai orang kepercayaan dari GS.

Salah satu anggota majelis hakim yang ditunjuk untuk memutus perkara terdakwa Budiman saat itu adalah GS. Keinginan HT, YP, dan ES terkait pengondisian putusan kasasi terpenuhi dengan diputusnya terdakwa Budiman dinyatakan terbukti bersalah dan dipidana penjara selama 5 tahun.

KPK menduga dalam pengondisian putusan kasasi tersebut sebelumnya telah ada pemberian uang pengurusan perkara melalui DY yang kemudian uang tersebut dibagi kepada DY, NA, RN, PN, dan GS. Sementara sumber uang yang digunakan YP dan ES selama proses pengondisian putusan di MA berasal dari HT.

Berikutnya, sebagai realisasi janji pemberian uang, YP dan ES menyerahkan uang pengurusan perkara di MA tersebut secara tunai sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura melalui DY. Sedangkan mengenai rencana distribusi pembagian uang 202 ribu dolar Singapura dari DY ke NA, RN, PN, dan GS masih terus dikembangkan lebih lanjut tim penyidik KPK.