Konsep "zero waste" jadi solusi paling realistis tangani sampah
Jakarta (ANTARA) - Gaya hidup mengurangi sampah yang tumbuh dari kesadaran untuk meminimalisasi penggunaan barang-barang sekali pakai atau zero waste bisa menjadi solusi paling konkret untuk menangani sampah di Indonesia.
Direktur Eksekutif Yayasan Pengelolaan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung David Sutasurya mengatakan pengelolaan sampah dengan konsep zero waste menawarkan total biaya yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan skenario pemanfaatan teknologi insinerator.
"Zero waste adalah solusi paling realistis bagi pemerintah daerah, tidak mungkin bagi pemerintah daerah untuk membiayai pengelolaan sampah selama wilayah mereka masih dibanjiri plastik," ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk Towards Zero Wate to Zero Emission yang digelar di Bakoel Coffee, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
David menjelaskan bahwa pendekatan zero waste mampu mengurangi emisi karbon sebesar 90 persen dibandingkan dengan sistem bussiness as usual atau BAU sampah tercampur dan mencapai pengurangan 75 persen dibandingkan dengan sistem insinerator.
Selain itu, zero waste juga memberikan banyak manfaat untuk membantu adaptasi terhadap perubahan iklim mulai dari pengurangan banjir, pengurangan habitat vektor penyakit terutama nyamuk, dan meningkatkan kesuburan tanah melalui kompos.
Adapun manfaat penerapan konsep zero waste adalah meningkatkan kesehatan publik karena mengurangi polusi dan menjadikan makanan lebih sehat; meningkatkan dan memperbaiki kualitas lapangan kerja informal dan formal; serta masyarakat kian berkualitas karena konsep itu bersifat demokratis, partisipatif, dan inklusif.
Kegiatan pengurangan produk dan kemasan sekali pakai juga menciptakan lapangan kerja serta memperkuat ekonomi lokal. David menyarankan agar pemerintah pusat segera menerapkan pelarangan produk dan kemasan sekali pakai secara nasional, sehingga pemerintah daerah dapat lebih fokus pada daur ulang sampah organik.
"Bila pemerintah pusat berani menerapkan kebijakan pelarangan produk, mendorong industri substitusi produk dan kemasan sekali pakai dengan konsep guna ulang dan kemasan plastik sekali pakai, maka pemerintah daerah juga dapat mulai segera menerapkan kewajiban daur ulang sampah organik kepada semua sumber sampah dan hanya melayani penanganan sampah residu di sanitary landfill masing-masing," ucapnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencanangkan program bertajuk Indonesia Bersih 2025 yang berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
Melalui program itu, pemerintah menargetkan dapat menangani 70 persen sampah dan mengurangi 30 persen sisanya melalui strategi dari hulu ke hilir. Berbagai cara dilakukan agar target itu terwujud dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mengurangi sampah sekali pakai, mendorong sektor rumah tangga agar mandiri melakukan kegiatan pengomposan, hingga mengurangi sampah di tempat pemrosesan akhir melalui teknologi insinerator.
Baca juga: PT Semasa libatkan bank sampah kelola sampah WSBK
Baca juga: Pastikan Sampah WSBK 2023 tertangani, DLHK tinjau "Waste Management" PT SEMASA
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan pengelolaan sampah organik dan non-organik menjadi aneka produk bernilai merupakan bagian dari pendekatan ekonomi sirkular.
Ekonomi sirkular tidak hanya meliputi konteks pengelolaan sampah saja, melainkan juga konteks efisiensi sumber daya dan perhatian terhadap rantai nilai. Pendiri dan Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengungkapkan bahwa sampah plastik melepaskan banyak zat kimia berbahaya ke lingkungan, bahkan bisa juga sampai ke manusia.
Ia menyarankan agar pemerintah memperketat regulasi tentang zat kimia yang digunakan sebagai zat adiktif plastik karena sudah banyak studi yang membahas tentang zat-zat kimia mana saja yang harus dihapuskan dari plastik. "Kalau kita mau memajukan dan mendorong ekonomi sirkular, sampah harus bebas racun terlebih dahulu supaya kita punya produk ekonomi sirkular yang bebas racun," pungkas Yuyun.
Direktur Eksekutif Yayasan Pengelolaan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung David Sutasurya mengatakan pengelolaan sampah dengan konsep zero waste menawarkan total biaya yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan skenario pemanfaatan teknologi insinerator.
"Zero waste adalah solusi paling realistis bagi pemerintah daerah, tidak mungkin bagi pemerintah daerah untuk membiayai pengelolaan sampah selama wilayah mereka masih dibanjiri plastik," ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk Towards Zero Wate to Zero Emission yang digelar di Bakoel Coffee, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
David menjelaskan bahwa pendekatan zero waste mampu mengurangi emisi karbon sebesar 90 persen dibandingkan dengan sistem bussiness as usual atau BAU sampah tercampur dan mencapai pengurangan 75 persen dibandingkan dengan sistem insinerator.
Selain itu, zero waste juga memberikan banyak manfaat untuk membantu adaptasi terhadap perubahan iklim mulai dari pengurangan banjir, pengurangan habitat vektor penyakit terutama nyamuk, dan meningkatkan kesuburan tanah melalui kompos.
Adapun manfaat penerapan konsep zero waste adalah meningkatkan kesehatan publik karena mengurangi polusi dan menjadikan makanan lebih sehat; meningkatkan dan memperbaiki kualitas lapangan kerja informal dan formal; serta masyarakat kian berkualitas karena konsep itu bersifat demokratis, partisipatif, dan inklusif.
Kegiatan pengurangan produk dan kemasan sekali pakai juga menciptakan lapangan kerja serta memperkuat ekonomi lokal. David menyarankan agar pemerintah pusat segera menerapkan pelarangan produk dan kemasan sekali pakai secara nasional, sehingga pemerintah daerah dapat lebih fokus pada daur ulang sampah organik.
"Bila pemerintah pusat berani menerapkan kebijakan pelarangan produk, mendorong industri substitusi produk dan kemasan sekali pakai dengan konsep guna ulang dan kemasan plastik sekali pakai, maka pemerintah daerah juga dapat mulai segera menerapkan kewajiban daur ulang sampah organik kepada semua sumber sampah dan hanya melayani penanganan sampah residu di sanitary landfill masing-masing," ucapnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencanangkan program bertajuk Indonesia Bersih 2025 yang berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
Melalui program itu, pemerintah menargetkan dapat menangani 70 persen sampah dan mengurangi 30 persen sisanya melalui strategi dari hulu ke hilir. Berbagai cara dilakukan agar target itu terwujud dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar mengurangi sampah sekali pakai, mendorong sektor rumah tangga agar mandiri melakukan kegiatan pengomposan, hingga mengurangi sampah di tempat pemrosesan akhir melalui teknologi insinerator.
Baca juga: PT Semasa libatkan bank sampah kelola sampah WSBK
Baca juga: Pastikan Sampah WSBK 2023 tertangani, DLHK tinjau "Waste Management" PT SEMASA
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan pengelolaan sampah organik dan non-organik menjadi aneka produk bernilai merupakan bagian dari pendekatan ekonomi sirkular.
Ekonomi sirkular tidak hanya meliputi konteks pengelolaan sampah saja, melainkan juga konteks efisiensi sumber daya dan perhatian terhadap rantai nilai. Pendiri dan Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengungkapkan bahwa sampah plastik melepaskan banyak zat kimia berbahaya ke lingkungan, bahkan bisa juga sampai ke manusia.
Ia menyarankan agar pemerintah memperketat regulasi tentang zat kimia yang digunakan sebagai zat adiktif plastik karena sudah banyak studi yang membahas tentang zat-zat kimia mana saja yang harus dihapuskan dari plastik. "Kalau kita mau memajukan dan mendorong ekonomi sirkular, sampah harus bebas racun terlebih dahulu supaya kita punya produk ekonomi sirkular yang bebas racun," pungkas Yuyun.