TELAAH--PANELIS DALAM DEBAT CAPRES DAN CAWAPRES

id

oleh Hikmahanto Juwana

(ANTARA) - Debat antarpasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) telah dimulai meski bukan yang resmi diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Salah satunya adalah yang digagas oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) yang memberi kesempatan yang sama bagi para Capres. Meski para calon tidak disandingkan, hal ini merupakan salah satu bentuk dari debat antarcalon.

Inti dari debat adalah agar publik mengetahui lebih dalam dan jauh hal-hal yang terkait dengan calon.

Paling tidak ada tiga aspek yang ingin diketahui dari Capres dan Cawapres. Pertama, kepribadian dan rekam jejak dari mereka yang mencalonkan diri. Termasuk di sini adalah gaya dan kematangan para calon ketika berhadapan dengan audiens dan memberikan jawaban.

Kedua, aliran dan platform politik yang dianut dan konsistensi dalam implementasi ketika terpilih. Disini para calon harus bisa menjelaskan perbedaan platform yang dianutnya dengan platform yang dianut oleh calon lain.

Ketiga, prioritas program dan kebijakan yang akan diambil atas masalah yang dihadapi oleh rakyat saat ini dan bagaimana membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Di samping publik terinformasikan tentang para calon, debat dalam perspektif para calon merupakan sarana untuk meyakinkan pemilih bahwa kualitas diri, platform dan programnya adalah yang terbaik.

Dengan adanya debat pemilih diharapkan tahu betul siapa kandidat yang memiliki kualitas berikut gerbong pendukungnya untuk memimpin negeri ini selama 5 tahun mendatang. Dengan demikian pemilih akan jauh terhindar dari kesan membeli kucing dalam karung.



Peran Panelis

Format debat Capres dan Cawapres paling tidak ada dua. Pertama, format di mana Capres dan Cawapres menyampaikan visi dan misi serta program kerja kemudian ditanya oleh audiens secara acak. Dalam format ini ada moderator atau fasilitator. Hanya saja moderator atau fasilitator hanya bertugas untuk menjaga lalu lintas penyampaian visi dan tanya jawab.

Kedua, format yang memanfaatkan panelis untuk melontarkan sejumlah pertanyaan. Dalam format ini debat akan lebih terarah ("guided") mengingat pertanyaan dikendalikan oleh panelis.

Dalam format kedua ini panelis memiliki peran penting. Ia diharapkan membantu publik dalam mengorek lebih jauh berbagai hal dari para Capres dan Cawapres. Untuk itu panelis harus mampu menyerap keingin-tahuan masyarakat terhadap Capres dan Cawapres. Mereka harus dapat merumuskan keingintahuan masyarakat dalam bentuk pertanyaan. Secara singkat, panelis harus berperan sebagai masyarakat yang haus informasi tentang para calon.

Panelis harus sadar bahwa pertanyaan yang dilontarkan tidak boleh menyulitkan Capres dan Cawapres dalam menjawab. Panelis bukanlah guru ataupun dosen yang sedang menguji para siswanya, apalagi polisi atau jaksa yang menanyai pesakitan.

Panelis tentu bisa mengejar jawaban yang disampaikan oleh para calon. Namun tujuannya adalah untuk mendapatkan ketegasan jawaban.

Di samping itu, panelis harus sadar betul tingkat pengetahuan yang dimiliki Capres dan Cawapres berbeda-beda. Ada yang piawai berbicara masalah ekonomi, namun ada yang lebih menguasai masalah militer dan seterusnya.

Pertanyaan panelis dalam konteks demikian tidak boleh bertujuan untuk menguak tingkat pengetahuan calon. Pertanyaan panelis harus direlevankan dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Untuk itu panelis harus memberikan sedikit latar belakang atas pertanyaannya. Selanjutnya diberi kesempatan kepada para calon untuk memilih jawaban yang disertai dengan penjelasan mengapa jawabannya demikian.

Di sini panelis harus dapat mengeksplorasi lebih mendalam jawaban-jawaban yang bersifat normatif. Bahkan, panelis dapat bertanya lebih intens terkait dengan jargon-jargon yang diusung para calon.

Panelis tidak boleh sekali-sekali bertanya kepada para calon berdasarkan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Bila ini yang terjadi maka panelis justru akan terlibat dalam perdebatan dengan para calon.

Untuk mengetahui aliran atau platform politik calon maka panelis dapat melontarkan pertanyaan yang memunculkan kontroversi di masayarakat. Panelis harus dapat mengarahkan jawaban calon berada di tengah. Keberpihakan calon harus muncul.

Pada pertanyaan yang terkait dengan program calon, panelis sedapat mungkin bertanya apa yang membedakan program tersebut dengan program yang diusung oleh calon lain. Apa keunggulannya dan bagaimana mengimplementasikannya.

Agar debat dapat berjalan dengan baik tanpa ada calon yang merasa dipermalukan maka panelis harus menyampaikan pertanyaan secara sederhana dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Ini penting untuk publik karena dengan demikian publik pun tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti debat.

Etika

Apa yang diuraikan di atas memposisikan panelis tidak sebagai pihak yang akan menilai jawaban dari pasangan Capres dan Cawapres. Di sini panelis harus membedakan dirinya dengan panitia seleksi yang bertugas untuk merekrut calon untuk menduduki jabatan suatu lembaga tertentu. Dalam proses itu, panelislah yang paling berhak menilai.

Penilaian atas berbagai jawaban Capres dan Cawapres dilakukan oleh pemilih. Mereka akan menilai saat mereka harus menentukan pilihannya.

Dari proses paparan oleh Capres dan Cawapres yang menggunakan format panelis maka akan dimunculkan apa yang ingin didengar oleh publik, bukan apa yang ingin disampaikan oleh para calon.

Bagi mereka yang bertugas dan ditunjuk sebagai panelis dalam debat Capres dan Cawapres, ada sejumlah etika yang harus dipegang.

Pertama, panelis harus teguh memegang netralitas. Jangan sampai panelis berat sebelah dalam melontarakan pertanyaan.

Kedua, panelis harus memegang etika untuk tidak menjatuhkan Capres dan Cawapres. Pertanyaan yang sulit untuk mendapat jawaban dalam waktu yang singkat akan terkesan demikian. Di sini berlaku ekspresi lebih baik panelis terkesan bodoh daripada mengesankan Capres dan Cawapres bodoh.

Ketiga, panelis harus memegang teguh tidak adanya konflik kepentingan. Bila panelis adalah pendukung atau simpatisan salah satu pasangan Capres dan Cawapres maka sebaiknya ia menolak menjadi panelis.

Terakhir, panelis harus mendudukkan Capres dan Cawapres dalam kedudukan yang terhormat. Apapun jawaban dari Capres dan Cawapres tidak boleh direndahkan oleh panelis, baik melalui tutur kata maupun sikapnya.

Kita berharap dengan peran panelis yang profesional dan memegang etika maka kualitas demokrasi di Indonesia akan jauh meningkat.

*)Penulis Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia?