"Di luar negeri, kita dapat mencontoh negara-negara federal di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Ekstrem beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, serta menggandeng media, LSM, dan relawan," kata Erma di Jakarta, Rabu.
Erma menjelaskan komite itu bisa dibuat dalam sebuah program strategis nasional yang dinamakan Bangsa Siaga Cuaca atau Weather-Ready Nation (WRN) yang sebenarnya juga diinisiasi oleh badan cuaca dunia, yaitu World Meteorological Organization (WMO).
Tujuan utama WRN tak sekadar memperkuat hilirisasi informasi peringatan dini cuaca ekstrem semata, tapi juga melakukan edukasi secara intensif dan meluas kepada publik.
Menurutnya, komite tersebut juga dapat merumuskan program-program penting untuk edukasi publik, membangun simpul-simpul relawan yang efektif dan berdaya jangkau luas dengan engagement yang signifikan, serta secara aktif bekerja terus menerus dalam membangun kesadaran publik.
"Berbeda dengan jenis bencana alam lain seperti gempa dan tsunami, cuaca ekstrem adalah jenis bencana alam yang paling dinamis dan paling sering terjadi, sehingga butuh terus-menerus untuk keep up to date," kata Erma.
"Bahkan informasi prediksi cuaca ekstrem pun harus terus-menerus diperbarui idealnya dua kali dalam sehari, mengikuti dinamika cuaca yang berubah-ubah setiap waktu," imbuhnya.
Lebih lanjut Erma mengungkapkan bahwa tantangan terbesar keilmuan meteorologi dan klimatologi adalah menghasilkan model prediksi hujan yang akurat untuk wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI).
Oleh karena itu, semua bentuk studi dari hulu ke hilir yang berkaitan dengan meteorologi dan klimatologi sama-sama memiliki tujuan akhir agar dapat menghasilkan prediksi cuaca ekstrem yang lebih baik.
Baca juga: BRIN memaparkan pemicu fenomena hujan dini hari di Jakarta
Baca juga: Erick Thohir disorot usai dukung Prabowo-Gibran
Baca juga: BRIN memaparkan pemicu fenomena hujan dini hari di Jakarta
Baca juga: Erick Thohir disorot usai dukung Prabowo-Gibran
Erma memandang bahwa Indonesia perlu segera menguasai teknologi prediksi cuaca dan iklim untuk mendukung Indonesia Emas pada tahun 2045 dan mencapai target menjaga suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celcius pada tahun 2050.
"Informasi-informasi prediksi cuaca di Indonesia sudah saatnya dihasilkan dari kemampuan periset-periset handal bangsa ini dalam menghasilkan data-data prediksi resolusi tinggi dan akurat untuk memperkuat sistem peringatan dini bencana terkait cuaca ekstrem di Indonesia," pungkasnya.