Jakarta (ANTARA) - Belum kering air mata keluarga 12 korban minibus Grand Max yang mengalami kecelakaan pada mudik Lebaran lalu, duka mendalam kembali menyelimuti sektor transportasi darat. Tercatat 11 siswa sebuah SMK di Depok, Jawa Barat, meninggal akibat kecelakaan fatal bus pariwisata yang ditumpangi.
Maksud hati ingin bersenang-senang, apa daya malah petaka yang mereka dapatkan. Dan, ini bukan kali pertama terjadi, melainkan sudah beberapa kali terjadi, dengan korban fatal (meninggal) dan masal.
Dan pemicu kecelakaan itu, tragisnya, nyaris sama, yakni faktor manusia (human factor) dan faktor teknis (technical factor).
Jika merujuk pada skala sempit, maka benar, bahwa pemicu secara dominan adalah kedua faktor itu. Faktor manusia, seperti mengantuk, kelelahan, mengebut (overspeed), hingga pengemudi kurang istirahat. Sementara faktor teknis, lazimnya karena rem blong, dan atau faktor ban gundul, atau ban vulkanisir.
Namun kejadian itu tidak bisa dilihat dalam perspektif yang menyempit saja, tetapi musti dengan kacamata yang meluas.
Benar, aspek manusia menjadi pemicu utama, tetapi pertanyaannya kenapa sopir mengantuk/kelelahan tetap menjalankan busnya?
Inilah yang harus dikulik, baik dari sisi korporasi hingga regulasi. Tidak adil jika menjadikan faktor manusia (awak angkutan) sebagai tersangka tunggal, atau bahkan tumbal pada setiap kecelakaan.
Terkait hal ini, ada beberapa musabab, yakni kurangnya perhatian dari perusahaan terkait kesejahteraan sopir dan awak angkutan.
Selain itu, awak angkutan, khususnya sopir, cenderung dieksploitasi. Akibatnya sopir kurang istirahat, kelelahan, mengantuk, dan sejenisnya.
Pemerintah tak menetapkan standar jam kerja yang lebih baku untuk mengatur jam kerja sopir, juga minimnya kepedulian pihak manajemen perusahaan bus.
Bandingkan dengan jam kerja pilot pesawat terbang, atau setidaknya masinis kereta api. Kedua moda transportasi itu punya standar jam kerja yang jelas.
Misalnya, pilot hanya boleh menerbangkan pesawat maksimal 8 (delapan) jam terbang. Pertanyaannya, mengapa profesi sopir bus dan sopir truk tak dibuatkan standar jam kerja yang baku?
Toh ending-nya jika terjadi kecelakaan lalu lintas maka konsumen atau masyarakat yang menjadi korban dengan risiko yang sama fatalnya. Terbukti kecelakaan fatal dengan korban masal di sektor transportasi darat justru lebih dominan.
Merujuk pada fenomena tersebut, tidak aneh jika saat ini terjadi penurunan jumlah sopir, khususnya untuk sopir bus AKAP/AKDP, dan juga sopir truk. Profesi sopir memang bukanlah profesi favorit banyak orang. Contoh, sebuah perusahaan bus besar ternama di Jawa Timur mempunyai 260 armada bus, tapi dari jumlah itu yang beroperasi hanya 130 bus. Penyebabnya tak lain karena, kekurangan sopir.
Baca juga: Kepala sekolah pastikan kendaraan aman sebelum studi tur
Baca juga: Sejumlah korban meninggal dalam kecelakaan di Ciater Subang
Jika fenomena ini terus dibiarkan tentu menjadi hal yang membahayakan bagi keselamatan pengguna bus karena kerja sopir berpotensi dieksploitasi oleh perusahaannya. Oleh karena itu, Pemerintah dituntut untuk mendorong terwujudnya industri transportasi darat, agar lebih kondusif dengan persaingan yang wajar.
Boleh jadi kondisi seperti ini dipicu oleh fenomena berlebihnya (over-supply) armada bus, dan akibatnya terjadi persaingan yang tidak sehat, berebut penumpang atau konsumen.
Tinjau perizinan
Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal fatal di jalan raya, pemerintah sudah saatnya meninjau (review) perizinan terutama untuk bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan bus pariwisata.
Apalagi saat ini dengan menjamurnya pengoperasian jalan tol baru yang kian masif dan terintegrasi, menjadikan masyarakat semakin tertarik menggunakan kendaraan pribadi daripada angkutan umum seperti bus.
Artinya potensi pasar bagi penumpang bus akan makin menyusut, dan perebutan antarperusahaan bus akan semakin keras. Persaingan yang tidak sehat akan menurunkan kinerja perusahaan bus dalam melayani masyarakat, bisa dengan cara mengurangi biaya perawatan bus, atau tidak memberikan insentif yang layak kepada awak angkutannya. Akibatnya, kinerja armada bus dan awak angkutannya menurun.
Hal mendesak yang tak boleh diabaikan adalah meningkatkan pengawasan oleh regulator, baik oleh Kementerian Perhubungan dan atau Dinas Perhubungan, di masing-masing organisasi perangkat pemerintah daerah.
Pengawasan itu bukan berarti memperketat pelaksanaan studi tur, sebagaimana dilakukan oleh Pemprov Jabar, setelah kejadian di Ciater. Yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah menjamin dan memastikan bahwa bus-bus umum dan bus pariwisata sudah melalui uji kir dan armada yang beroperasi memang sudah aman digunakan.
Kementerian Perhubungan boleh saja mengimbau masyarakat agar kritis dalam memilih dan menggunakan bus pariwisata saat hendak berpariwisata. Sebagai regulator, Kemenhub memiliki kewenangan yang mewajibkan operator bus mematuhi segala aturan demi keselamatan dan keamanan para pengguna jalan.
Sebagaimana tugas dan kewenangannya, Kemenhub melakukan pengawasan ketat terhadap keseluruhan perusahaan bus yang beroperasi, khususnya perusahaan bus kategori AKAP, termasuk bus pariwisata.
Apalagi, menurut data Ditjen Darat Kemenhub, jumlah kendaraan bus pariwisata mencapai 16.297 unit, namun yang terdaftar di Sistem Perizinan Online Angkutan Darat dan Multi Moda (Spionam) hanya 10.147 unit (62,26 persen), sisanya 6.150 (37,34 persen) tidak terdaftar di Spionam Ditjen Darat Kemenhub.
Dengan kata lain, patut diduga bus-bus yang tidak terdaftar ini adalah armada bus bermasalah. Artinya, tidak ada jaminan keamanan dan keselamatan manakala digunakan oleh konsumen, sebagaimana bus yang mengalami kecelakaan di Ciater tersebut.
Sanksi keras juga sangat penting diberikan kepada perusahaan bus yang melakukan pelanggaran, baik sanksi administrasi, perdata, maupun sanksi pidana.
Hingga kini belum pernah ada sanksi keras yang diberikan kepada perusahaan bus yang melakukan pelanggaran berat, seperti pencabutan izin operasi atau jajaran manajemen diproses secara pidana.
Jadi, jangan hanya awak angkutan, khususnya pengemudi, yang dijadikan tersangka dalam kecelakaan tersebut. Sanksi tersebut penting dijatuhkan untuk memberikan efek jera sekaligus untuk mendorong terwujudnya perusahaan angkutan yang aman, selamat, dan nyaman bagi penggunanya.
Di situlah negara benar-benar hadir dalam mewujudkan perusahaan angkutan yang nyaman, aman, dan manusiawi bagi warga masyarakatnya.
*) Penulis adalah pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI, Periode 2015-2025.