Jakarta (ANTARA) - PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin) menilai pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan (stakeholder) dalam menghadapi ancaman kejahatan siber di industri sistem pembayaran.
Direktur Utama Jalin Ario Tejo Bayu Aji menilai langkah proaktif tersebut mencakup, memastikan sistem manajemen keamanan informasi memenuhi standar internasional yang diakui serta tetap mematuhi ketentuan regulator. Ario juga menyoroti pentingnya memiliki protokol respons insiden yang terstruktur serta disiplin dalam eksekusi manajemen krisis.
"Selain itu, audit keamanan berkala dan evaluasi langkah-langkah keamanan dianggap krusial untuk meningkatkan kesiapsiagaan di masa depan," kata Ario dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Hal ini ia sampaikan dalam Seminar Indonesia Cyber Risk 2024 - Mitigating Cyber Risk and Building a Trust, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Ia menjelaskan, pentingnya kolaborasi antara bank, perusahaan fintech, lembaga switching seperti Jalin, dan semua pemangku kepentingan lainnya dalam industri sistem pembayaran perlu mendapat perhatian bersama-sama.
Industri perlu mencari peluang kolaborasi antar lembaga untuk memaksimalkan biaya investasi dalam memperkuat ketahanan siber melalui pemanfaatan infrastruktur bersama.
"Tujuannya, agar investasi dalam memperkuat aspek ketahanan siber tidak menjadi beban industri yang berdampak pada pelayanan kepada nasabah,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun budaya perusahaan yang kuat dalam keamanan siber. Setiap lembaga keuangan dan penyedia infrastruktur sistem pembayaran harus mengadopsi praktik terbaik, termasuk penggunaan teknologi terbaru dan berbagi informasi tentang potensi ancaman.
"Kolaborasi dan peningkatan literasi adalah kunci dalam menghadapi ancaman siber. Semua pihak harus bersatu untuk memberikan perlindungan terbaik bagi pengguna sistem pembayaran di Indonesia," jelasnya.
Adapun pertumbuhan transaksi di kanal pembayaran digital telah memberikan kemudahan bagi masyarakat luas. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga Desember 2023 nilai transaksi dengan QRIS mencapai Rp229,96 triliun dengan jumlah pengguna lebih dari 45,78 juta.
Baca juga: Imigrasi ancam deportasi 103 WNA di Bali karena kejahatan siber
Baca juga: Menkominfo sebut tak ada indikasi kebocoran data imbas
Dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2020-2025, sistem pembayaran diidentifikasi sebagai sektor yang sangat diatur proses bisnisnya oleh regulator.
Setiap tahapan transaksi keuangan, mulai dari front-end hingga back-end, dilengkapi dengan berbagai alat pengamanan seperti Fraud Detection System (FDS), tokenisasi, anti-skimming, dan lain-lain. Langkah-langkah tersebut diperlukan untuk memastikan transaksi keuangan digital tetap aman dan terlindungi dari potensi ancaman siber.