Jakarta (ANTARA) - Peneliti hubungan internasional Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Andrew Mantong menyebut kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Jokowi selama dua periode didominasi oleh sejumlah agenda ekonomi.
"Jadi, menurut saya kebijakan Jokowi untuk luar negeri selama dua periode ke belakang itu memang banyak didominasi oleh agenda-agenda ekonomi," kata Andrew kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Andrew mengatakan dirinya tidak menampik capaian-capaian yang dihasilkan bagi perekonomian Indonesia dari pelaksanaan agenda-agenda tersebut.
Namun, dia mengingatkan bahwa fokus kebijakan luar negeri yang terlampau ekonomi tersebut, menurut dia, bisa membuat Indonesia semakin riskan jika persaingan geopolitik terus memanas.
"Jadi, menurut saya ada banyak hal yang tidak tercapai untuk menempatkan Indonesia di dalam posisi yang lebih aman di tengah persaingan geopolitk," katanya.
Kekurangan dalam pencapaian tersebut, kata dia, dapat dilihat dari kemampuan pertahanan Indonesia. Menurut Andrew, kebijakan luar negeri yang baik semestinya ditopang oleh kekuatan militer yang baik guna memperkuat posisi keamanan Indonesia.
Hal berikutnya yang ia garisbawahi adalah kontribusi yang dapat diberikan Indonesia dalam membantu mengatasi masalah-masalah yang terjadi di kawasan. Dalam hal itu, ia mencatat masih ada pekerjaan yang harus dilakukan Indonesia untuk membantu menyelesaikan krisis di Myanmar.
Andrew mengaku Indonesia cukup berhasil dalam penyelenggaraan Forum G20 karena berhasil membuat capaian yang dinilai sulit untuk dicapai di tengah persaingan yang terjadi antara AS dan China.
"Di tengah persaingan seperti itu kemudian menyelenggarakan Forum G20 dan menghasilkan sesuatu itu memang capaian tersendiri," katanya.
Namun, terkait peran Indonesia dalam keketuaannya di ASEAN pada 2023, Andrew belum melihat adanya perubahan normatif cukup besar yang biasanya dilakukan Indonesia ketika menjadi ketua ASEAN.
Sekali lagi, Andrew menilai agenda ekonomi mendominasi pembuatan dan perumusan politik luar negeri Indonesia, dan itu tercermin dari pencapaian Indonesia di ASEAN.
"Jadi, apakah ada perbaikan di sektor pertahanan? Ada. Apakah ada yang dilakukan untuk Myanmar? Ada. Apakah Indonesia menyelenggarakan pertemuan dengan masyarakat sipil ketika menjadi chair? Ada. Kemudian, apakah ada penguatan di badan HAM ASEAN? Ada," kata dia.
Baca juga: Pemerintahan baru perlu rumuskan konsep kebijakan luar negeri
Baca juga: Akademisi sebut kebijakan luar negeri berlaku di Indonesia kompleks
"Hanya saja, capaian-capaian itu tidak revolusioner. Kalau misalnya dunia baik-baik saja, dalam artian tidak bergolak, tidak makin kental persaingan antara AS dan Tiongkok, tidak terjadi pelemahan terhadap multilateralisme, kalau semua itu tidak terjadi, capaian itu adalah capaian yang baik," kata dia lebih lanjut.
Untuk itu, ke depan Andrew mendorong adanya perubahan dalam kebijakan luar negeri Indonesia di mana presiden sebagai pemimpin bisa terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan luar negeri dan menetapkan tujuan dari dunia internasional yang ingin dicapai.
"Di titik ini kemudian goalnya tidak boleh hanya sekadar ekonomi, tentang berapa jumlah investasi yang kita dapat dan sebagainya. Kenapa? Karena dunia ini makin panas," demikian katanya.