Revitalisasi Spirit Kepahlawanan

id Revitalisasi Spirit Kepahlawanan,hari pahlawan Oleh Umar Sholahudin *)

Revitalisasi Spirit Kepahlawanan

Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Umar Sholahudin (ANTARA/HO-Dok Umar Sholahudin)

Surabaya (ANTARA) - Refleksi hari Pahlawan, 10 November 2024

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Bung Karno, 1966)

Setiap tanggal 10 November sering dikenal dan kita peringati sebagai hari Pahlawan. Tanggal itu merupakan tonggak yang paling bersejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia, terutama arek-arek Suroboyo dalam mengusir kolonialisme penjajah dari bumi pertiwi. Pekik Allahu Akbar tersebut mampu menggelorakan semangat kepahlawanan; patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.

Saat ini merdeka dari kolonialisme penjajah asing sudah terlewati dan selesai.  Namun bernahkah kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka dari penjajahan fisik perang memang ya, tapi kita belum merdeka dari yang lainya, terutama merdeka dari korupsi dan merdeka dari penjajahan ekonomi. Di zaman kemerdekaan seperti sekarang ini yang paling kita butuhkan adalah bukan pahlawan yang angkat senjata karena memang musuh besar kita bukanlah orang-orang yang bersenjata, melainkan pahlawan-pahlawan bangsa yang  bernurani besar yang mampu berjuang secara konsisten dan tanpa pamrih untuk membebaskan negeri ini dari berbagai problem multidimensional. 

Begitu juga dengan semangat nasionalisme bangsa kita. Semangat nasionalisme yang dibangun dengan susah payah, penuh dengan pengorbanan darah dan air mata oleh para pahlawan dan para  founding father juga saat ini sedang mengalami degradasi. Nasionalisme sosial, politik, budaya, ekonomi dan kemanan bangsa kita pelan-pelan dan pasti terkikis seiring dengan munculnya persoalan multidimensional bangsa ini yang tak kunjung reda. Penjajahan ekonomi dan korupsi adalah dua dari sekian masalah besar yang akan menjadi ancaman serius bagi bangsa kita dalam membangun negara yang maju dan berdaulat jika tidak disikapi secara serius.

Aset negara dan korupsi

Penjajahan konvensional yang paling membahayakan negeri ini ke depan adalah ancaman penguasaan asset-asset ekonomi strategis nasional oleh pihak asing, dan perampokan uang negara yang berlangsung secara sistematis, struktural, dan masif. Mantan Rektor UGM, Praktikno, pernah mengatakan penguasaaan aset-aset strategis negara oleh asing sudah cukup mengkhawatirkan. Di bidang ekonomi, misalnya, saat ini asing kini menguasai sekitar 70%-80% asset Negara, mulai dari perbankan, telekomunikasi, hingga pertambangan. Sebut saja misalnya; asset di industry perbankan, bangsa asing menguasai lebih dari 50%. Begitu pula di sector migas dan batu baru 70%-75%, telekomunikasi sekitar 70%. Lebih parah lagi adalah pertambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asing mencapai 80%-85%. Asset negara yang masih kurang dari 50% yang dikusai asing hanya sector perkebunan dan pertanian. Namun demikian, bukan tidak mungkin, dua sector yang berkait dengan hajat hidup orang banyak tersebut pun –pelan tapi pasti- juga akan jatuh ke tangan asing. Pendek kata, kita memiliki sumber daya alam begitu berlimpah, tapi semua itu hingga kini didaulat oleh perusahaan asing. Hal ini memicu kekhawatiran nasional, dan jika tidak ada dukungan dan kebijakan nasional yang pro rakyat, maka lambat laun seluruh asset negara akan jatuh ke tangan asing. Dan ujungnnya, ketahanan nasional kita akan semakin terancam.

Persoalan lain yang tak kalah parah dan menggerogoti bangsa ini adalah masalah korupsi. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga September 2023, tercatat total kasus korupsi yang ditemukan KPK di daerah mencapai 1.462 kasus. Korupsi paling banyak ditemukan pada gratifikasi dan penyuapan, yakni sebesar 65% atau 958 kasus baru terjadi. Selain gratifikasi, tindak pidana korupsi lain di daerah yang cukup banyak yakni kasus pengadaan barang dan jasa sebesar 324 kasus, penyalahgunaan anggaran sebanyak 57 kasus, tindak pidana pencucian uang (TPPU) sejumlah 57 kasus, pungutan atau pemerasan sebanyak 28 kasus, perizinan mencapai 25 kasus, dan merintangi proses KPK sejumlah 13 kasus. Sementara itu, darai sejumlah kasus korupsi yang ditangani, KPK telah menetapkan 1.099 tersangka dengan rincian pihak swasta sebanyak 404 tersangka, disusul pejabat eselon 1-4 sebanyak 351 tersangka dan anggota legislative (DPR dan DPRD) sebanyak 344 tersangka.

Terkait dengan kerugian, potensi kerugian Negara dari praktik korupsi lebih besar dari hitungan KPK. Berdasarkan hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2009 hingga 2010 misalnya, sekitar Rp132 triliun uang negara terindikasi dikorupsi. Beberapa kasus mega korupsi yang belum tuntas di antaranya skandal Bank Century dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp 7,4 triliun, skandal BLBI  Rp 2.000 trilyun, skadal E-KTP Rp 2,3 triliun, penerbitan SIUP Kota Waringin Rp 5,8 triliun dan 711 ribu US$, korupsi kondensat  Rp 35 triliun, skandal PT. Asabri 16 triliun, skandal Jiwasraya Rp 16,81 triliun, proyek Hambalang Rp 706 miliar, dan yang paling besar adalah kasus mega korupsi timah, Rp 300 triliun lebih.

Dari data tersebut di atas, menunjukkan, aktor utama pelaku korupsi baik di pusat maupun di daerah adalah, para elit yang memegang kekuasaan, baik itu di lembaga eksekutif maupun legislatif. Sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau. Anehnya, data statistik itu tidak membuat efek jera pejabat-pejabat lain. Kondisi ini yang mengakibatkan indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik. Berbagai upaya keras telah dilakukan instansi pemerintah, termasuk aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan, dan kepolisian) dan berbagai elemen masyarakat dalam memerangi korupsi, namun upaya keras tersebut pun belum mampu menyurutkan praktik korupsi atau menurunkan angka korupsi di Indonesia. Termasuk sanksi hukuman pun, tak membuat efek jera para calon pelakunya. 

Meskinpun penjajahan fisik atau kolonialisme asing sudah berakhir dan kita kini sedang berusaha untuk mengisi kemerdekaan, namun bukan berarti kita tidak membutuhkan para pahlawan baru untuk mengatasi berbagai problem bangsa ini yang cukup krusial. Tantangan dan ancaman bangsa ini bukan dari penjajahan fisik, namun penjajahan non fisik seperti masalah kemiskinan, penguasaan asset negara oleh asing, dan masalah korupsi. Masalah terakhir ini yang menjadi rakyat dan negeri ini loyo, miskin, dan tak berdaya dan bahkan mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negeri ini. Sendi-sendi kehidupan negeri ini menjadi rapuh, lumpuh, tak mampu bangkit apalagi maju. 

Revitalisasi

Inilah bentuk penjajahan gaya baru yang coba dipraktikkan oleh pihak asing dan komprador asing di Indonsia dan tentunya kondisi ini akan menjadi ancaman serius bagi semangat nasionalisme Indonesia dan pembangunan bangsa yang berdaulat. Kedaulatan nasional mudah dipengaruhi bahkan diintervensi oleh pihak asing. Dengan melihat realitas, kita bagaikan hidup di bawah pengaruh dan tekanan asing, tidak bisa lepas (baca: merdeka) dari segala bentuk penjajahan asing, terutama penjajahan politik, korupsi, dan ekonomi. 

Mantan Presiden Soekarno pernah mengatakan; jika ingin membangun nasionalisme bangsa yang kuat, maka harus dibangu, tiga pilar atau yang dikenal dengan Trisakti, yakni: 1) Berkemandirian dalam Ekonomi; 2) Berkedaulatan dalam Politik; dan 3) Berkepribadian dalam Kebudayaan. Problem nasional ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama para pemimpin dan generasi muda bangsa ini. Bagaimana membangun kembali spirit kepahlawanan dan semangat nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju dan berdaulat?.

Nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme pada masa kini perlu diaktualisasikan kembali, dan direvitalisasi dalam bentuk sikap, perilaku dan tindakan yang lebih nyata. Negeri ini membutuhkan pahlawan-pahlawanan otentik yang berjuang dan berkorban untuk negeri tanpa pamrih. Bangsa ini membutuhkan pahlawan-pahlawan bangsa yang berani melawan dominasi dan hegemoni asing atas kekayaan sumber daya alam Indonesia dan melawan penyakit kronis korupsi. 



*) Penulis adalah Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya