Agus dan mantra khusus : Kajian medis, sosial, dan psikologis

id agus,mantra khusus,agus buntung,disabilitas,tuna daksa,pelecehan seksual,kajian medis,kajian sosial,psikologis Oleh dr. H. Emirald Isfihan, MARS.,MH.,CMC.,FISQua *)

Agus dan mantra khusus : Kajian medis, sosial, dan psikologis

Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram Emirald Isfihan (ANTARA/HO-Emirald Isfihan)

Mataram (ANTARA) - Tindakan asusila, termasuk pelecehan seksual, adalah masalah sosial yang dapat terjadi pada siapa saja, termasuk individu dengan disabilitas. Menurut penelitian, fenomena pelecehan seksual umumnya terjadi pada perempuan, dan perempuan disabilitas memiliki risiko yang tinggi terhadap pelecehan serta mendapatkan beban yang lebih berat. Namun bagaimana jika ternyata pelaku pelecehan adalah seorang disabilitas? 

Fenomena Agus, seorang disabilitas fisik yang mengalami amputasi atau tidak memiliki kedua tangan (bilateral upper limb amputation) sebagai tersangka yang melakukan pelecehan seksual, telah menarik perhatian publik dan menjadi isu nasional, bagaimana seorang individu dengan disabilitas dapat terlibat dalam pelecehan seksual terhadap banyak perempuan, tidak tanggung-tanggung jumlah korban mencapai 13 orang.

Kasus Agus menjadi sorotan media nasional dan memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendukung hak disabilitas. Apakah ada trik manipulasi? Apakah memakai hipnotis? Ataukah Agus memiliki mantra khusus? Terlepas dari metode apa yang digunakan, namun menarik untuk memberikan perhatian terhadap penyebab timbulnya perbuatan tersebut.

Penting untuk menggali faktor-faktor penyebab perilaku tersebut agar dapat melakukan pencegahan dan penanganan yang tepat. Meski disabilitas biasanya dihubungkan dengan keterbatasan fisik, perilaku menyimpang seperti pelecehan seksual memerlukan kajian mendalam untuk memahami penyebabnya. Fenomena ini tidak hanya membangun stigma terhadap individu
dengan disabilitas tetapi juga mempengaruhi upaya integrasi sosial kelompok tersebut.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memahami dan menangani kasus ini tanpa mendiskriminasi pelaku sebagai individu dengan kebutuhan khusus. Maka penting untuk
memahami kasus ini dengan melihat dari aspek medis, sosial dan psikologis.

 

Definisi Disabilitas Tanpa Tangan

Dalam konteks medis, individu yang tidak memiliki tangan atau anggota tubuh lainnya mengalami kondisi yang dikenal sebagai "amputasi". Dalam konteks ini, istilah medis yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi pelaku adalah bilateral upper limb amputation.

Amputasi dapat terjadi akibat kecelakaan, penyakit, atau kelainan kongenital. Penyebab medis amputasi bisa bervariasi, mulai dari infeksi hingga kecelakaan yang mengharuskan
pengangkatan anggota tubuh. Di sisi lain, ada juga kasus kelainan bawaan seperti "congenital amputation" yang terjadi tanpa adanya trauma eksternal.

Pada kondisi di mana seorang memiliki keterbatasan fisik, pelaku dapat saja memiliki komorbiditas psikologis (kondisi penyerta lainnya yang memperburuk), seperti gangguan kepribadian, impulsivitas, atau kontrol emosi yang buruk, atau kelainan psikologis lainnya yang memicu perbuatan tersebut. Maka secara medis kondisi yang dialami pelaku dapat
menjadi pendorong perbuatan tersebut.

 

Kajian Penyebab Perilaku Pelecehan Seksual pada Individu dengan Disabilitas 

Pelecehan seksual yang dilakukan oleh individu dengan disabilitas, termasuk mereka yang tidak memiliki tangan, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik fisik, psikologis, maupun sosial.

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah:

 

a. Faktor Psikologis

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Abnormal Psychology (2020), individu dengan disabilitas sering kali menghadapi frustrasi dan isolasi sosial. Dalam
beberapa kasus, perasaan ketidakmampuan, rendah diri, dan pengabaian dapat menyebabkan gangguan perilaku.

Disabilitas, terutama kehilangan anggota tubuh seperti tangan, dapat memperburuk perasaan tersebut, sehingga menciptakan keresahan psikologis yang tak tertangani dengan baik. Perilaku asusila bisa menjadi bentuk pelarian atau bentuk kontrol terhadap perasaan yang terpendam.

b. Faktor Sosial dan Isolasi

Menurut American Journal of Public Health (2021), individu dengan disabilitas sering kali mengalami isolasi sosial yang sangat tinggi. Mereka mungkin merasa kesulitan dalam
berinteraksi secara seksual dengan pasangan atau merasa diabaikan dalam hal hubungan sosial. Isolasi ini dapat meningkatkan frustasi seksual dan menyebabkan perilaku yang tidak
sesuai norma. Keterbatasan fisik juga bisa membuat mereka merasa kurang dihargai secara seksual oleh masyarakat, yang mungkin berkontribusi pada kecenderungan untuk
melakukan pelecehan.

Stigma dan Diskriminasi terhadap individu dengan disabilitas dapat menciptakan lingkaran setan isolasi dan kemarahan terhadap masyarakat, yang terkadang diwujudkan melalui
perilaku agresif atau penyimpangan seksual.

c. Gangguan Mental dan Perilaku

Penyebab lain yang bisa memperburuk perilaku asusila adalah adanya gangguan mental atau perilaku, seperti disfungsi seksual atau kecanduan pornografi. Individu dengan
disabilitas yang tidak memiliki tangan mungkin menggunakan alat atau metode lain untuk memanipulasi atau memaksa orang lain untuk terlibat dalam perilaku seksual. Fetisisme
atau gangguan lainnya juga dapat menjadi faktor pemicu, yang sering kali berhubungan dengan obsesi terhadap bagian tubuh tertentu atau cara-cara tertentu dalam berhubungan
seksual.

d. Faktor Pendidikan dan Informasi

Kurangnya pendidikan seks yang memadai untuk individu dengan disabilitas juga merupakan faktor yang dapat memperburuk fenomena ini. Menurut studi yang diterbitkan
dalam Journal of Disability and Sexuality (2019), banyak individu dengan disabilitas tidak mendapatkan pendidikan seks yang tepat karena adanya anggapan bahwa mereka tidak
perlu mengetahui tentang seks atau bahwa mereka tidak akan terlibat dalam perilaku seksual. Kurangnya pemahaman ini dapat berkontribusi pada tindakan yang tidak etis atau
berbahaya.

e. Faktor Biologis dan Neurologis

Beberapa individu dengan disabilitas memiliki riwayat cedera neurologis yang dapat mempengaruhi area otak yang mengontrol emosi dan perilaku seksual. Kajian dalam Neuro
Rehabilitation Journal menemukan hubungan antara cedera otak traumatis dengan peningkatan risiko perilaku seksual yang tidak pantas.

 

Upaya Pencegahan dan Solusi

Untuk mencegah fenomena pelecehan seksual yang melibatkan individu dengan disabilitas memerlukan pendekatan multidisiplin, melibatkan keluarga, masyarakat, dan institusi medis,
misalnya:


a. Pendidikan Seks yang Inklusif
Memberikan pendidikan seks yang sesuai untuk individu dengan disabilitas adalah langkah pertama yang sangat penting. Pendidikan seks harus mengakomodasi kondisi fisik mereka,
serta mengajarkan tentang hak, batasan pribadi, dan konsekuensi dari tindakan seksual yang tidak sah.

b. Pendampingan Psikologis
Pendampingan oleh psikolog atau konselor terlatih dapat membantu individu dengan disabilitas mengatasi frustrasi emosional atau psikologis mereka, serta memberikan terapi
untuk gangguan perilaku atau kecanduan seksual jika ada.

c. Meningkatkan Akses terhadap Terapi Fisik dan Sosial
Akses yang lebih baik terhadap terapi fisik dan sosial juga sangat penting. Dengan bantuan terapi fisik, individu dengan disabilitas dapat lebih mandiri, sementara terapi sosial
membantu mereka merasa lebih diterima dalam masyarakat. Hal ini dapat mengurangi isolasi dan frustasi yang menjadi pemicu perilaku maladaptif.

d. Penerapan Undang-Undang Perlindungan terhadap Disabilitas
Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan adanya undang-undang yang melindungi individu dengan disabilitas dari kekerasan seksual dan mengedukasi masyarakat tentang
pentingnya perlindungan ini. Penegakan hukum yang ketat juga dapat mencegah tindakan pelecehan dan memperbaiki lingkungan sosial untuk individu dengan disabilitas.

Langkah yang saat ini berjalan di aparat penegak hukum adalah hal yang sangat tepat, tidak hanya terhadap penegakan hukum dalam upaya memberikan kepastian dan perlindungan
hukum, namun juga memberikan kesadaran dan wawasan bagi masyarakat dalam menghadapi fenomena seperti ini.

Upaya penegakan hukum yang tepat dapat menjadi wawasan juga bagi setiap kelompok agar memahami bahwa semua orang berlaku sama di mata hukum, bahwa penegakan
hukum pasti dilakukan, namun tentunya hak-hak kelompok tersebut pun tetap dipenuhi dengan baik.

e. Pendekatan Medis
Pengelolaan Kondisi Neurologis: Jika terdapat bukti kerusakan neurologis, intervensi medis dapat mencakup terapi farmakologis untuk mengelola perilaku impulsif.
Pemantauan Psikiatris: Individu dengan risiko tinggi membutuhkan evaluasi rutin untuk memastikan tidak ada tanda perilaku menyimpang yang berkembang.

f. Dukungan Sosial dan Rehabilitasi
Program rehabilitasi untuk individu dengan disabilitas harus mencakup pelatihan sosial dan pengembangan keterampilan hubungan interpersonal.
Pemberdayaan Komunitas: Membentuk komunitas dukungan bagi individu dengan disabilitas untuk mengurangi isolasi dan membangun keterampilan sosial.

Kesimpulan

Kasus Agus mencerminkan tantangan yang kompleks dalam penanganan pelecehan seksual oleh individu dengan disabilitas. Pendekatan multidimensi yang melibatkan aspek
medis, psikologis, sosial, dan hukum diperlukan untuk mencegah dan menangani fenomena ini secara efektif.

Untuk mengurangi dan mencegah fenomena ini, pendidikan, pendampingan psikologis, serta dukungan sosial dan hukum yang tepat sangat diperlukan
untuk memastikan pemenuhan hak individu dengan disabilitas dan mencegah terjadinya perbuatan menyimpang seperti pelecehan seksual.

Dengan langkah-langkah yang tepat, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan aman bagi semua individu, termasuk mereka yang memiliki disabilitas.

Referensi: Berbagai sumber
 

*) Penulis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram