Jakarta (ANTARA) - Pemikiran Niccolo Machiavelli, seorang filsuf politik era Renaisans, kerap dihubungkan dengan cara berpikir licik, manipulatif, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Melalui karyanya berjudul The Prince, tokoh Italia itu meninggalkan warisan pemikiran yang hingga kini tetap relevan dalam dinamika kekuasaan dan politik.
Dalam buku tersebut, Machiavelli menggambarkan bagaimana seorang penguasa harus bertindak untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sering kali dengan menyingkirkan norma-norma moral tradisional.
Ia menekankan bahwa keberhasilan politik lebih bergantung pada efektivitas, kelicikan, dan kemampuan membaca realitas politik daripada pada keutamaan moral.
Pemikiran ini kerap dianggap sinis, bahkan kontroversial, tetapi Machiavelli dengan lugas mengungkap realitas kekuasaan yang sering kali jauh dari idealisme.
Meski begitu, Machiavelli yang juga seorang diplomat dan sejarawan itu harus dipahami ketika melontarkan pemikiran tersebut berada pada latar belakang politik istana Florence yang ketika itu terkenal penuh intrik.
Sang filsuf berupaya menggambarkan apa yang sejatinya sedang terjadi di lingkungan tempat ia tinggal. Dan Il Principe (The Prince) juga sebenarnya bukan satu-satunya karya Machiavelli, tercatat ada Discourses on the First Ten Books of Livy yang juga ia ditulis dan membahas gagasan tentang republik dan politik.
Berbeda dengan karya fenomenalnya The Prince, yang sering dikaitkan dengan kekuasaan otokratis, Discourses lebih berfokus pada keutamaan pemerintahan republik, kebebasan politik, dan stabilitas negara.
Periset Universitas Indraprasta PGRI Nur Qomariah pada 2023 menganalisis dan menyajikan kembali pemikiran Niccolo Machiavelli tentang konsep kekuasaan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsep kekuasaan Machiavelli lahir dari suatu realitas sosial politik yang terjadi di Florence, Italia.
Konsep kekuasaan Machiavelli dianggap menyimpang dari substansi etika dan moral. Bahwa tindakan “menghalalkan segala cara” dalam situasi apapun dinilai tidak efektif.
Meski demikian, implementasi kekuasaan Machiavelli dianggap visibel terhadap kepemimpinan para diktator dunia seperti yang terjadi di Eropa.
Pada masa Perang Dunia II, masa kepemimpinan Adolf Hitler dan Benito Mussolini menjadi masa representatif bagaimana konsep kekuasaan yang digagas Machiavelli terjadi.
Pada masa itu, potret negara dengan sistem fasis, tirani, dan despotik menyerupai gagasan kekuasaan Machiavelli.
Berdasarkan hasil studi pustaka, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi kekuasaan yang digagas Machiavelli telah dijumpai dalam sistem kepemimpinan negara dengan tipe kekuasaan serupa.
Politik di Indonesia
Jika membedah peta politik Indonesia saat ini, mudah untuk melihat bagaimana prinsip-prinsip Machiavelli secara tidak langsung tercermin dalam berbagai praktik politik.
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki panggung politik yang dinamis, penuh intrik, dan terkadang sulit ditebak.
Di sini, realisme politik Machiavelli menjadi alat analisis yang menarik untuk memahami manuver kekuasaan dan strategi para aktor politik.
Salah satu konsep penting dalam The Prince adalah pentingnya seorang pemimpin untuk bersikap fleksibel, menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan.
Machiavelli menekankan bahwa penguasa yang ideal harus bisa menjadi "rubah" yang licik untuk mengenali jebakan dan "singa" yang kuat untuk mengusir ancaman.
Dalam konteks politik Indonesia, prinsip ini sering terlihat dalam bagaimana para pemimpin memposisikan diri terhadap kekuatan politik yang terus berubah.
Koalisi politik yang cair, perpindahan dukungan partai, dan taktik "politik akomodasi" merupakan manifestasi nyata dari kebutuhan akan fleksibilitas ini.
Sebagai contoh, praktik pembentukan koalisi di Indonesia sering kali didasarkan pada kepentingan pragmatis daripada pada kesamaan ideologi.
Para pemimpin memahami bahwa untuk bertahan di dunia politik yang penuh persaingan, mereka harus menyesuaikan strategi mereka dengan dinamika kekuatan yang ada.
Dalam hal ini, kelicikan politik Machiavellian tampak jelas, di mana kepentingan kolektif sering kali menjadi korban untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Selain itu, Machiavelli juga mengajarkan pentingnya menjaga citra dan mengontrol persepsi publik. Menurutnya, seorang pemimpin tidak perlu selalu baik, tetapi ia harus tampak baik di mata rakyat.
Simpati publik
Dalam era politik modern Indonesia, strategi pencitraan menjadi senjata utama untuk meraih simpati publik. Media sosial, dengan segala kecepatan dan daya jangkaunya, menjadi alat yang sangat efektif untuk membangun narasi tertentu tentang seorang tokoh politik.
Apa yang terlihat hari ini adalah bagaimana para politisi memanfaatkan platform ini untuk memoles citra mereka, bahkan jika realitas di balik layar tidak sesuai dengan apa yang mereka tunjukkan.
Namun, ajaran Machiavelli tidak hanya relevan dalam hal strategi, tetapi juga menjadi cermin reflektif untuk mengkritisi praktik politik yang sering kali abai terhadap etika.
Salah satu aspek gelap dari pemikiran Machiavelli adalah pembenaran atas segala cara demi mencapai tujuan. Dalam politik Indonesia, ini bisa terlihat dari kasus korupsi, politik uang, dan manipulasi kekuasaan yang kerap mencoreng wajah demokrasi.
Baca juga: Empat pemain Juventus berlatih lagi
Meskipun Machiavelli menekankan bahwa tujuan politik adalah stabilitas dan kemakmuran negara, penerapan pragmatisme ekstrem sering kali merugikan kepentingan rakyat.
Publik juga dapat memetik pelajaran penting dari sisi lain pemikiran Machiavelli. Di balik semua kelicikan dan kalkulasi, ada pandangan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk menciptakan stabilitas dan kesejahteraan.
Dalam konteks Indonesia, ini seharusnya menjadi pengingat bagi para pemimpin bahwa politik bukan hanya soal mempertahankan kekuasaan, tetapi juga tentang memenuhi janji-janji kepada rakyat.
Machiavelli mengingatkan bahwa seorang pemimpin yang tidak bisa menjaga dukungan rakyatnya akan menghadapi keruntuhan. Dalam demokrasi modern, kepercayaan publik adalah modal yang jauh lebih berharga daripada aliansi sementara atau manuver licik.
Relevansi Machiavelli juga terasa dalam bagaimana seseorang memandang keberanian politik. Dalam The Prince, ia menyatakan bahwa keberanian mengambil risiko sering kali lebih dihargai daripada kehati-hatian yang berlebihan.
Baca juga: Pelatih AC Milan Fonseca berdamai dengan Theo Hernandez
Indonesia, dengan tantangan besar seperti ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan konflik sosial, membutuhkan pemimpin yang berani membuat keputusan sulit demi kebaikan jangka panjang.
Sayangnya, banyak politisi cenderung memilih langkah-langkah populis yang aman daripada mengambil risiko yang membawa perubahan nyata.
Meski demikian, tidak semua yang diajarkan Machiavelli harus diterima tanpa kritik. Dalam politik Indonesia yang berlandaskan demokrasi Pancasila, nilai-nilai moral, etika, dan kebersamaan tetap menjadi pilar penting.
Penggunaan strategi Machiavellian tanpa kendali moral dapat merusak tatanan sosial dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Maka, tantangannya adalah bagaimana memadukan kecerdasan strategis ala Machiavelli dengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang menjadi ruh dari demokrasi kita.
Akhirnya, The Prince mengingatkan semua bahwa politik adalah seni yang kompleks, sering kali penuh paradoks antara idealisme dan realisme. Dalam politik Indonesia, masyarakat bisa melihat bagaimana para pemimpin dan aktor politik bergulat dengan dualitas ini setiap hari.
Dari Machiavelli, negeri ini belajar bahwa kekuasaan tidak hanya tentang cara mendapatkannya, tetapi juga tentang bagaimana menggunakannya untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Tantangan bagi Indonesia adalah memastikan bahwa pragmatisme politik tidak melampaui batas etika, sehingga demokrasi tetap menjadi ruang untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Pemikiran Machiavelli tetap menjadi cermin yang tajam untuk membaca politik modern, bukan sebagai panduan mutlak, tetapi sebagai pengingat akan kompleksitas dan tanggung jawab yang melekat pada kekuasaan.