Tantangan Indonesia di tahun 2025

id 2025,Donald Trump, Gaza,Tiongkok, Laut Natuna Utara Oleh Rahmad Nasution

Tantangan Indonesia di tahun 2025

Prajurit TNI AD mengendarai mobil taktis Maung yang membawa duplikat bendera Pusaka Merah Putih dan salinan naskah teks proklamasi saat meninggalkan Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (31/8/2024). Duplikat bendera pusaka dan naskah teks proklamasi tersebut kembali ke Monumen Nasional (Monas) Jakarta seusai digunakan pada upacara kenegaraan peringatan detik- detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di IKN pada 17 Agustus 2024 lalu. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Bogor, (ANTARA) - Menjelang tutup buku 2024 dan dunia menghitung mundur momen kedatangan fajar baru di ufuk timur 1 Januari 2025, ketidakstabilan global tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Alih-alih berakhir, ketidakstabilan dunia yang antara lain ditandai dengan beragam tragedi kehidupan yang sebagian disebabkan oleh akibat dampak perang, konflik, pemanasan global, dan perubahan iklim, terus mendera sejumlah kawasan.

Di tengah peristiwa-peristiwa memilukan di banyak tempat itu, masyarakat dunia terus menyaksikan peningkatan rivalitas geopolitik antarbangsa besar dan fragmentasi geoekonomi.

Tak sampai di situ, di saat kampanye genosida Israel di Gaza, Palestina, terus berlangsung tanpa jeda sejak pecah perang 7 Oktober 2023, dunia juga menyaksikan kejadian beruntun kecelakaan pesawat di pengujung 2024.

Aksi biadab militer Zionis itu sendiri telah menewaskan lebih dari 46 ribu warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, namun jumlah korban tewas dan luka-luka dalam insiden penerbangan di Kazakhstan, Kanada, Norwegia, dan Korea Selatan itu juga tidak bisa dianggap kecil.

Di tengah situasi dan kondisi dunia yang tak menentu dan penuh tragedi itu, masyarakat dunia, termasuk kita di Indonesia, bersiap memasuki tahun baru Masehi tanpa pilihan, kecuali meneruskan hidup dan kehidupan.

Dalam suasana que sera, sera inilah, Indonesia dan banyak negara lain di belahan Bumi mana pun dituntut untuk bersiap dan mampu menyongsong masa depan penuh dengan ketidakpastian ini.

Karena itu, langkah-langkah cerdas dan proaktif sangat penting agar Indonesia mampu merespons secara efektif beragam peluang dan tantangan yang mungkin muncul pada 2025 dan beberapa tahun mendatang.

Mengingat perkembangan dinamika di kawasan dan dunia saat ini, Indonesia dirasa perlu bersiap menghadapi setidaknya lima isu regional dan global yang akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada 2025.

Kepada ANTARA di Bogor, Senin (30/12), Muhammad Teguh Ariffaiz Nasution, analis pertahanan dari lembaga kajian Horizon, menyampaikan kelima isu penting yang menuntut langkah antisipatif Pemerintah itu.

Masalah pertama yang perlu mendapat perhatian adalah rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok yang meningkat.

Sebagai negara yang berada di Kawasan Indo-Pasifik, Teguh Nasution berpendapat bahwa Pemerintah RI tidak bisa mengabaikan konsekuensi dari peningkatan rivalitas dua "gajah" itu.

Dalam hal ini, kemenangan Donald Trump atas Kamala Harris dalam Pemilihan Presiden AS baru-baru ini perlu diantisipasi. Kembalinya Trump ke Gedung Putih pada Januari 2025 itu diperkirakan berimplikasi secara signifikan terhadap hubungan AS-Tiongkok.

Teguh Nasution mencatat, Trump lah yang memulai perang dagang AS-Tiongkok pada 2018.

Karena itu, dia berpandangan, dengan kembalinya sosok politikus dan pebisnis kelahiran 14 Juni 1946 ke tampuk kekuasaan negara adidaya itu, Indonesia mungkin akan menghadapi konflik perdagangan yang semakin buruk.

Kemungkinan ini, menurut Teguh Nasution, perlu diperhitungkan secara cermat oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan mempertimbangkan karakteristik kepemimpinan Trump.

Dalam hal ini, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah yang lebih tegas dalam menjaga keseimbangan hubungannya dengan AS dan Tiongkok, katanya.

Kedua, isu Taiwan. Sejauh ini, Beijing tidak pernah mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk mengintegrasikan Taiwan ke dalam Tiongkok, dan Presiden Xi Jinping telah pun memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) agar bersiap menghadapi potensi menginvasi Taiwan pada 2027.

Kendati perintah Presiden Xi itu untuk menginvasi Taiwan pada 2027 bukan sesuatu yang sudah pasti, Teguh Nasution memandangnya sebagai tanda yang jelas dari komitmen Tiongkok untuk mempersiapkan angkatan bersenjatanya menghadapi potensi penggunaan kekuatan militer dalam soal Taiwan.

Artinya, ada risiko pecahnya konflik bersenjata AS-Tiongkok ataupun sekutu AS-Tiongkok terkait Taiwan. Jika konflik terbuka itu terjadi, Indonesia berpotensi terkena dampaknya secara signifikan mengingat posisi strategis perairannya dalam jalur maritim dunia yang penting.

Jika pecah perang AS-Tiongkok itu, kedua pihak yang bertikai bisa jadi akan memperebutkan jalur maritim dunia itu. Lalu, bagaimana Indonesia harus menentukan sikap sebagai negara netral?

Menurut analis pertahanan yang meraih gelar magister di bidang studi strategis dari Universitas Nasional Australia (ANU) ini, Indonesia harus mampu menjaga wilayah perairannya terbebas dari konflik apa pun.

Untuk menghadapi skenario tersebut, Indonesia harus bersiap baik secara diplomatis maupun militer. Terlebih lagi, jika pecah perang, nasib lebih dari 280 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan turut terancam.

Pemerintah RI dituntut untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana darurat evakuasi terhadap ratusan ribu WNI keluar dari Taiwan dengan segera, katanya.

Teman dan musuh potensial

Ketiga, perihal Laut China Selatan/Laut Natuna Utara. Sepanjang 2024, Teguh Nasution mencatat peningkatan ketegangan di perairan Laut China Selatan, khususnya antara Tiongkok dan Filipina.

Tindakan agresif Tiongkok terhadap kapal-kapal Pemerintah Filipina yang melakukan misi pengiriman pasokan di area Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya itu harus dipandang sebagai "lonceng peringatan" bagi Indonesia.

Jika Indonesia bernasib sama dengan Filipina, bagaimana Jakarta harus merespons tindakan agresif Tiongkok itu mengingat kapal penjaga pantai negara itu sudah berulang kali melakukan intrusi ke dalam ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, katanya.

Bahkan, intrusi kapal penjaga pantai Tiongkok ke dalam ZEE Indonesia tersebut justru terjadi hanya beberapa hari setelah pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden kedelapan RI pada 20 Oktober 2024.

"Ini harus menjadi pengingat. Walaupun hubungan ekonomi kedua negara relatif erat, tak dapat dinafikan kalau Tiongkok juga merupakan ancaman potensial bagi Indonesia di Natuna," katanya.

Oleh karena itu, Teguh Nasution menekankan pentingnya Indonesia mendasarkan argumentasinya pada UNCLOS 1982 dalam merespons Tiongkok terkait dengan Laut Natuna Utara/Laut China Selatan.

Dia memandang penting konsistensi Indonesia dalam menjunjung tinggi UNCLOS dan menolak perjanjian apa pun dengan Tiongkok yang tidak sejalan dengan provisi UNCLOS.

Isu keempat yang perlu diantisipasi dampaknya oleh Indonesia adalah Perang Rusia-Ukraina.

Dalam hal ini, perang yang telah mengganggu rantai pasokan dan meningkatkan ketidakstabilan global ini akan memasuki tahun ketiga pada 2025.

Oleh karena itu, Indonesia, menurut Teguh Nasution, perlu mempertimbangkan dampak perang ini pada 2025 dan seterusnya, termasuk kemungkinan dampak global dari kekalahan Ukraina maupun Rusia atau peningkatan konflik lebih lanjut, termasuk keterlibatan langsung negara-negara lain dalam perang tersebut, seperti Korea Utara atau bahkan negara-negara NATO.

Kelima, situasi di Timur Tengah. Konflik Israel-Palestina terkait Gaza masih terus berlanjut.

Melihat kenyataan ini, Indonesia harus tetap mempertahankan dukungannya pada Palestina dan mengutuk kampanye genosida dan agresi Israel.

Teguh Nasution mencatat krisis Gaza ini telah memicu eskalasi ketegangan di kawasan sebagaimana dapat dilihat dari invasi Israel ke Lebanon yang telah mengakibatkan beberapa anggota Pasukan Penjaga Perdamaian UNIFIL terluka, termasuk dari Indonesia.

Eskalasi ketegangan di kawasan itu juga ditandai dengan saling serang antara Israel dan Iran yang membuka risiko pecahnya perang regional yang lebih luas. Selain itu, blokade Houthi di Laut Merah juga, sedikit-banyak, mengganggu perdagangan global sehingga berpotensi meningkatkan biaya.

Konflik-konflik ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2025. Karena itu, menurut Teguh Nasution, Indonesia perlu mempertimbangkan dampak global dari konflik-konflik tersebut, termasuk risiko eskalasi yang lebih luas yang dapat menyebabkan gangguan lebih lanjut terhadap rantai pasokan global dan peningkatan harga energi dan komoditas pangan.

Editor: Achmad Zaenal M