Lima pedoman dari MK terkait pencalonan presiden

id MK,presidential threshold,uji materi ambang batas pencalonan presiden,UU pemilu, pencalonan presiden

Lima pedoman dari MK terkait pencalonan presiden

Tangkapan layar - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait dengan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)

Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi memberi lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering), menyusul dihapusnya ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.

"Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut," kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Lima poin pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional tersebut adalah pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Baca juga: MK putuskan hapus pasal 'presidential threshold' pada UU Pemilu

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Baca juga: Haedar usul "presidential threshold" diturunkan

Dalam putusan ini, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

MK menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik INdonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah menilai presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

Oleh sebab itu, MK mendapatkan dasar yang kuat untuk menggeser pendiriannya yang sebelumnya menyatakan presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka.

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Saldi.

Sekalipun norma presidential threshold tidak lagi berlaku, MK menegaskan, tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat pilpres.

Oleh sebab itu, MK memberikan pedoman terkait rekayasa konstitusional tersebut kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

Baca juga: Bawaslu mendorong revisi UU Pemilu-Pilkada kuatkan keterwakilan perempuan