Intelektualisme dan Masyarakat Kita

id Intelektualisme,dan Masyarakat Kita Oleh Mahmud *)

Intelektualisme dan Masyarakat Kita

Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta Mahmud (ANTARA/HO-mahmud)

Mataram (ANTARA) - Masyarakat kita adalah masyarakat reaktif. Tak berlebihan dikatakan demikian, apalagi jika itu terkait dengan agama dan politik, paling cepat dibakar emosionalnya. Inilah yang oleh Ahmad Syafi'i Ma'arif sebut sebagai kelompok sumbu pendek, bermental kompor, dan reaktif.

Banyak komentar, sedikit membaca. Membaca bukan dalam arti kurang bisa membaca, tapi membaca kurang bisa memahami, menangkap pesan dari isi bacaan, dan membuat sintesa dari apa yang dibaca. Minat baca tinggi, daya baca rendah.

Tak jarang juga masyarakat kita suka mempersoalkan hal-hal sepele, masalah kecil dibesar-besarkan. Kata Bung Karno, masyarakat kita bermental kecil, suka geger urusan sepele. Itulah gambaran sebagian besar masyarakat kita.

Mengenai ini menarik untuk melihat bagaimana Lafran Pane menggambarkan masyarakat kita dalam bentuk piramida. Bagian dasar piramida yang mewakili kebanyakan orang dikelompokkan sebagai kelompok masyarakat awam.

Bagian tengah piramida dikelompokkan sebagai kelompok "alim ulama" yang sedikit terpengaruh mistik dan "melaksanakan ajaran agama tanpa verifikasi ilmu pengetahuan".

Bagian atas (puncak) piramida dikelompokkan sebagai kelompok intelektual. Kelompok ini mewakili kelompok sebagian kecil masyarakat kita.

Kelompok ini tidak hanya menjadikan agama sebagai ritual keagamaan saja, namun juga menjadikan agama sebagai "alat pembebasan", pengembangan ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia.

Tampaknya masyarakat kita belum berubah jauh dari apa yang digambarkan oleh Lafran Pane dalam peta piramidanya. Itu tampak pada sebagian besar sikap dan pikiran masyarakat kita masih reaktif. Hal ini bisa dilihat karena pengaruh budaya dan ideologi masyarakat. Juga karena cara berpikir dan pemikiran masyarakatnya.

Untuk menjelaskan ini menarik untuk melihat bagaimana Nurcholish Madjid menjelaskan ini dengan pendekatan lain. Dalam khasanah keilmuan Islam, perdebatan antara jabariyah—dengan corak pemikiran: segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan.

Corak pemikiran ini menempatkan Tuhan aktif, manusia pasif—dengan perdebatan qodariyah: dengan corak pemikiran, manusia mendapatkan balasan sesuai dengan amalnya, mendapatkan hasil sesuai dengan ikhtiarnya. Corak pemikiran ini menempatkan manusia aktif, Tuhan pasif.

Perdebatan ini kemudian berlanjut pada perdebatan antara asy'ariyah: dengan corak pemikiran, mengedepankan kepercayaan baru akal—dengan perdebatan mu'tazilah: dengan corak pemikiran, mengedepankan akal baru kepercayaan.

Pemikiran ini diperdebatkan oleh Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali dengan Tahafut Al-Falasifah—kerancuan para filsuf—mengkritik Ibnu Sina dan Al-Farabi karena mengadopsi filsafat Yunani. Dari sinilah pemikiran, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dalam dunia Islam mulai mengalami kemunduran.

Karena itulah Ibnu Rusyd dengan Tahafut At-Tahafut—kerancuan dari kerancuan—mengkritik Al-Ghazali yang menolak filsafat Yunani. Hasilnya, pemikiran, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi berkembang di Barat.

Lebih lanjut, Nurcholish Madjid melihat, corak pemikiran sebagian besar masyarakat kita banyak terpengaruh pemikiran asy'ariyah, fatalis, mengingkari fungsi akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Akibatnya, manusia potensial lari dari kenyataan dan tantangan zaman, serta peran-peran peradaban manusia.

Cara berpikir dan pemikiran ini juga pernah dipersoalkan oleh Tan Malaka dalam Madilog-nya. Melalui Madilog-nya, Tan Malaka melihatnya, cara berpikir sebagian besar masyarakat kita itu mistik.

Karena itu, jika kita ingin pemikiran, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi mau berkembang dan maju, maka cara berpikir mistik harus digeser dengan cara berpikir logika. Inilah sebuah warisan berharga Tan Malaka yang melampaui zamannya.

Sesat Pikir

Perkembangan teknologi dan informasi mendorong keterbukaan di ruang publik. Hampir separuh aktivitas manusia bergeser di dunia maya. Di era digital, semua orang bisa komentar, bahkan orang tak sekolah pun bisa komentar. Inilah yang oleh Tom Nichols sebut sebagai matinya kepakaran.

Matinya kepakaran—salah satunya—bukan karena orang-orang ahli di bidangnya atau orang kompeten tidak komentar, tapi suara mereka tertutupi oleh suara mayoritas dengan komentar-komentar dangkal dan justifikasi berlebihan.

Inilah era matinya kepakaran. Ilmu pengetahuan tak dihargai dan dianggap tak penting.

Orang-orang lebih cenderung melihat/menonton konten-konten dangkal ketimbang konten-konten edukatif yang menuntun kerumitan dan kompleksitas berpikir.

Itulah masyarakat kita dan hidup di era digital, ramai dan penuh kontroversial. Tak jarang tidak original, "tandus", dan "kering value". Dan, saya melihatnya, tak akan bertahan lama. Itu sudah menjadi hukum sejarah.

Kebenaran tak ditentukan apakah ia kebanyakan orang. Tidak juga ditentukan apakah ia sedikit orang. Tak ditentukan apakah ia doktor atau profesor. Tidak juga ditentukan apakah ia sekolah atau tidak sekolah.

Kebenaran itu dapat diuji dan diverifikasi dengan ilmu pengetahuan, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan argumentatif, dan tentu saja dapat diterima oleh semua orang. Bukan pandangan personal dan subjektifitas.

Kita tak boleh ikut arus, harus ada counter attack terhadap isu. Informasi tak boleh dimanipulasi secara tunggal. Publik berhak mendapatkan informasi yang jernih.

Kita tidak kekurangan informasi, kita kelebihan informasi. Untuk memfilter kelebihan informasi itu dibutuhkan kerumitan dan kompleksitas berpikir.

*) Penulis adalah Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta