PP 28/2024 sarat agenda FCTC ancam kedaulatan ekonomi

id gappri,pp no 28/2024,fctc,kementerian kesehatan,industri hasil tembakau,iht

PP 28/2024 sarat agenda FCTC ancam kedaulatan ekonomi

(kiri) Ketua Umum Paguyuban Asosiasi Vape Nasional (Pavenas), Garindra Kartasasmita, (tengah) Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, (kanan) Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi dalam acara Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh INDEF di Jakarta, Rabu (20/12).ANTARA/Arif Prada

Jakarta (ANTARA) - Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 - 463 berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia.

Menurut dia, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar tidak memaksakan diimplementasikannya PP 28/2024 di saat situasi geo politik dan geo ekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini. Dikatakannya, PP 28/2024 dinilai cacat hukum sebab proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT).

"Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja," katanya di Jakarta, Senin.

Henry menilai pemaksaan penerapan PP 28/2024 lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), padahal banyak pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, sehingga seharusnya mereka memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

Kajian GAPPRI menyatakan PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.

"Larangan penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah, potensi kerugian mencapai Rp84 triliun. Pembatasan iklan berdampak ekonomi yang hilang mencapai Rp41,8 triliun," ujarnya dalam keterangannya.

Baca juga: Realisasi penerimaan pabean 2025 di Mataram capai 2.822 persen

Selain itu, tambahnya, kemasan rokok polos atau tanpa cukai berpotensi mendorong downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok ilegal 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09%," terang Henry Najoan.

GAPPRI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar tercipta kebijakan yang tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan sosial.

Baca juga: Bea Cukai targetkan penerimaan cukai di Mataram 2025 capai Rp25 miliar

Pasalnya, IHT merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

"Berbagai tekanan regulasi terhadap IHT legal dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lain," tegas Henry Najoan.

GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang.

"Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo," katanya.