Lombok Barat (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Cabang Lembar, Nusa Tenggara Barat menyoroti kondisi bisnis angkutan penyeberangan yang semakin tertekan akibat kenaikan biaya operasional yang tidak diimbangi penyesuaian tarif.
"Kenaikan upah tenaga kerja sebesar 6 persen (dampak kenaikan UMR 2025) dan kurs dolar AS yang mencapai Rp16.500 memperberat beban, terutama untuk perawatan kapal, suku cadang, pengedokan, dan aspek keselamatan yang bergantung pada valuta asing," kata Ketua Gapasdap Cabang Lembar, Firman Dandy, Rabu.
Ia menyebutkan selisih tarif penyeberangan dengan harga pokok penjualan (HPP) saat ini mencapai 31,8 persen, berdasarkan kajian bersama Kementerian Perhubungan (Kemenhub), ASDP, Gapasdap, dan pemangku kepentingan lain pada 2019.
Baca juga: Dishub NTB-Gapasdap berantas praktik mengkondisikan penumpang kapal
Padahal, kenaikan biaya selama enam tahun terakhir (kurs USD 2019: Rp13.900) semakin tinggi, sehingga memperlebar defisit ini.
Apalagi, menurut Firman, dengan jumlah hari operasi per bulan yang rata-rata hanya 40 persen, sedangkan sisanya off menunggu giliran operasi karena kurangnya jumlah dermaga.
"Meski tarif tak mencukupi, operator tetap wajib memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan yang ditetapkan oleh pemerintah," ujarnya.
Baca juga: Kenaikan tarif penyeberangan Lombok-Sumbawa mulai 12 Januari pukul 00.00 WITA
Gapasdap mendesak revisi tarif segera dilakukan untuk menjaga keberlangsungan operasional. Sambil menunggu, insentif seperti pengurangan biaya pelabuhan, pajak, PNBP, dan bunga bank diperlukan untuk meringankan beban perusahaan angkutan penyeberangan.
"Tanpa kebijakan penyesuaian, operator akan kesulitan memenuhi standar operasi dan keselamatan yang ditetapkan," ucap Firman.
Baca juga: Gapasdap khawatirkan terjadi PHK akibat tarif penyeberangan Lombok-Sumbawa
Baca juga: Gapasdap: Penyesuaian Tarif Angkutan Penyeberangan Belum Sesuai Harapan