Katalisator pencapaian Net Zero Emission 2060

id industri hijau,emisi karbon,net zero emission,gas rumah kaca,grk,emisi grk,deindustrialisasi,dekarbonisasi

Katalisator pencapaian Net Zero Emission 2060

Ilustrasi - Suasana panel "Transformation of Mining Industry Towards NZE Era" di Human Capital Summit 2025, Jakarta, Selasa (3/6/2025). (ANTARA/HO-MIND ID)

Jakarta (ANTARA) - Indonesia dihadapkan pada imperatif strategis untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, seperti komitmen yang tertuang dalam Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050) dan Enhanced NDC 2022.

NZE didefinisikan sebagai kondisi di mana emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer diseimbangkan oleh penyerapan atau pengurangan emisi yang setara. Pengurangan emisi ini bisa diwujudkan, baik melalui konservasi alam, rekayasa teknologi, maupun transformasi sistem produksi dan konsumsi.

Pencapaian target ini menuntut transformasi fundamental pada seluruh struktur ekonomi, khususnya sektor industri manufaktur, kontributor emisi signifikan yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Sektor industri memegang peranan vital dalam peta jalan dekarbonisasi nasional. Kontribusinya terhadap emisi GRK global menuntut reduksi signifikan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, sektor industri menyumbang sekitar 19 persen total emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2022, dan menjadikannya sebagai sektor penyumbang emisi terbesar ketiga setelah energi dan lahan.

Indonesia, dengan kapasitas manufaktur yang substansial, memiliki potensi untuk memimpin transisi menuju ekonomi rendah karbon. Berdasar data Bank Dunia, pada 2023 Indonesia mencatatkan Manufacturing Value Added (MVA) sebesar 255,96 miliar dolar AS, nilai tertinggi dalam sejarah sektor manufaktur nasional.

Angka ini menunjukkan peningkatan dari capaian sebelumnya sebesar 231 miliar dolar AS pada 2022, dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 dunia dan ke-5 di Asia --setelah Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan India-- serta menggarisbawahi urgensi sektor ini bagi perekonomian.

Namun demikian, capaian ini tidak akan dapat dipertahankan tanpa adanya transformasi mendasar.

Untuk mengoptimalkan kontribusi terhadap NZE 2060, sektor manufaktur harus mengadopsi prinsip keberlanjutan. Hal ini mencakup investasi intensif pada teknologi rendah emisi, transisi energi menuju sumber terbarukan, serta implementasi ekonomi sirkular.

Pendekatannya bukan lagi opsi, melainkan prasyarat untuk mempertahankan daya saing dan resiliensi industri dalam jangka panjang.

Ancaman stagnasi dan potensi deindustrialisasi

Meskipun sektor manufaktur menunjukkan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), terdapat indikasi stagnasi yang perlu dicermati.

Pada triwulan I 2025, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB tercatat 17,50 persen, menunjukkan kenaikan kuartalan dan tahunan yang relatif stabil.

Akan tetapi, laju pertumbuhan yang melambat dibandingkan periode sebelumnya mengindikasikan potensi kejenuhan. Laju pertumbuhan industri pengolahan tahun 2024 hanya mencapai 4,12 persen, melambat dibandingkan 4,88 persen pada 2023.

Dalam konteks NZE 2060, stagnasi ini adalah alarm yang menuntut perhatian serius. Jika pertumbuhan hanya didorong oleh peningkatan volume produksi tanpa diimbangi efisiensi energi atau pengurangan emisi, daya saing Indonesia akan tergerus.

Isu deindustrialisasi, yang ditandai dengan penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB, merupakan risiko yang tidak dapat diabaikan.

Bank Dunia dalam laporannya tahun 2023 menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan risiko tinggi mengalami deindustrialisasi dini, yaitu ketika sektor industri mulai menyusut sebelum mencapai tingkat pendapatan tinggi.

Meskipun belum terdapat bukti kuat Indonesia menuju deindustrialisasi, perlambatan laju pertumbuhan manufaktur perlu diwaspadai.

Ketergantungan terhadap energi fosil, minimnya investasi dalam teknologi hijau, dan infrastruktur yang belum memadai untuk industri berkelanjutan merupakan tantangan besar yang harus segera diatasi.

Apabila sektor manufaktur gagal beradaptasi dengan tuntutan global untuk mengurangi jejak karbon, beralih ke energi terbarukan, dan mengadopsi teknologi rendah emisi, Indonesia berisiko mengalami stagnasi struktural yang berujung pada deindustrialisasi.

Strategi solutif

Menghadapi tantangan stagnasi dan memastikan peran sentral sektor manufaktur dalam pencapaian NZE 2060, perumusan kebijakan yang komprehensif menjadi esensial.

Penundaan langkah strategis akan memperburuk ketergantungan energi dan kerentanan terhadap gejolak pasar global.

Transisi energi pada sektor manufaktur merupakan keniscayaan. Proses produksi harus segera beralih ke sumber energi terbarukan, seperti surya dan angin, untuk memenuhi target emisi sekaligus menjamin ketahanan energi jangka panjang. Tanpa akselerasi ini, sektor manufaktur berisiko tertinggal.

Di samping transisi energi, adopsi teknologi hijau mutakhir harus didorong secara agresif. Teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dan inovasi efisiensi produksi merupakan langkah konkret untuk meminimalisir konsumsi energi dan sumber daya.

Keadaan ini adalah momentum bagi Indonesia untuk mengoptimalisasi pengembangan industri hijau, seperti kendaraan listrik dan energi terbarukan, sebagai katalisator penciptaan lapangan kerja baru dan diversifikasi ekonomi.

Penguatan kerangka kebijakan pemerintah melalui insentif fiskal dan non-fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi pada teknologi hijau, serta pengembangan infrastruktur pendukung, akan mengakselerasi transformasi.

Pada RAPBN 2025, pemerintah mengalokasikan Rp51 triliun untuk mendukung transisi energi, sebagian besar untuk sektor industri dan transportasi.

Industri kendaraan listrik diproyeksikan menjadi motor baru industri hijau. Pemerintah menargetkan produksi 600 ribu unit mobil listrik dan 2 juta motor listrik pada 2030, dengan potensi pengurangan emisi sebesar 11 juta ton CO₂ ekuivalen per tahun.

Indonesia memiliki peluang substansial untuk menjadi pemimpin industri berkelanjutan di Asia.

Baca juga: Menteri LH mendukung penghijauan koridor jalan tol lewat penanaman pohon

Tetapi, ini hanya dapat dicapai jika sektor manufaktur mereorientasi fokusnya dari sekadar volume produksi menuju komitmen yang lebih luas terhadap prinsip keberlanjutan.

Dengan langkah-langkah strategis yang tepat—mulai dari transisi energi hingga investasi dalam teknologi hijau—Indonesia dapat mencapai NZE 2060 dan menghindarkan diri dari ancaman stagnasi atau deindustrialisasi.

Baca juga: HIS meraih penghargaan emisi 2025 atas komitmen terapkan bisnis hijau

Kolaborasi erat antara pemerintah dan sektor swasta esensial dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan. Kegagalan untuk bertindak akan mengubah tantangan ini menjadi ancaman yang tidak dapat ditoleransi.

*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri strategis, Tenaga Ahli di Komisi VII DPR RI yang membidangi industri, pariwisata, UMKM, ekonomi kreatif, dan Lembaga Penyiaran Publik


Pewarta :
Editor: I Komang Suparta
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.