Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof. Harris Arthur Hedar menyarankan pembahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset bisa memperjelas definisi berbagai pasal kontroversial dalam RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa tersebut.
“RUU ini punya tujuan mulia, tetapi ada lima pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara,” ungkap Prof. Harris dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Dia menilai setidaknya terdapat lima pasal dalam RUU Perampasan Aset yang menyisakan kontroversial dan mengandung multitafsir, sehingga sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.
Dikatakan Harris, kelima pasal dimaksud, yakni pertama, Pasal 2, yang mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana, di mana masalah yang timbul berupa penggeseran asas praduga tak bersalah.
Risikonya, kata dia, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap tidak sah. Demikian pula kedua, pada Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan.
Menurut dia, hal tersebut akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana, yang berisiko masyarakat bisa merasa dihukum dua kali, yaitu aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili. Berikutnya, lanjut Harris, yakni ketiga, pada Pasal 5 ayat (2) huruf a, yang mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap tidak seimbang dengan penghasilan sah.
Disebutkan bahwa terdapat persoalannya frasa kalimat "tidak seimbang” yang sangat subjektif, dengan risiko apabila seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
Selanjutnya, keempat, dirinya berpendapat Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati lantaran aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas, dengan persoalan ambang batas nominal bisa menyebabkan salah sasaran.
"Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp100 juta,” tutur Harris yang juga merupakan Wakil Rektor Universitas Jayabaya itu.
Baca juga: Menkum Supratman katakan DPR akan ambil alih inisiasi RUU Perampasan Aset
Kelima, pasal yang dinilai kontroversial lainnya, yaitu Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Dia mengatakan terdapat persoalannya bahwa hal tersebut bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beriktikad baik.
Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana. Oleh karena itu, Harris berharap proses perampasan pada RUU Perampasan harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik, sehingga proses perampasan harus terbuka serta diawasi media dan masyarakat.
"Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak," ungkap dia.
Baca juga: Pernyataan Presiden sinyal kuat urgensi RUU Perampasan Aset
Tak hanya itu, diharapkan pula sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan secara masif sebelum implementasi RUU Perampasan Aset. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti.
Karena ibarat pedang bermata dua, dirinya menilai rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi, sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi: Pembahas RUU Perampasan Aset perjelas pasal kontroversial
