Mataram (ANTARA) - Belanja Tidak Terduga (BTT) seharusnya menjadi alat penting pemerintah daerah untuk menanggulangi krisis mendadak mulai dari bencana alam hingga situasi sosial-ekonomi yang tak terduga. Namun, efektivitas dan akuntabilitas dana ini selalu menjadi ujian bagi transparansi pengelolaan keuangan publik. Tanpa laporan yang jelas, BTT berisiko berubah menjadi “kotak hitam” yang sulit diawasi.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), persoalan ini tampak jelas dalam APBD-P 2025. Alokasi BTT tercatat Rp500 miliar, namun hingga kini, penggunaan dana telah mencapai Rp484 miliar lebih, menyisakan hanya Rp16 miliar. Lebih mengkhawatirkan, pergeseran anggaran melalui Peraturan Gubernur (Pergub) dilakukan dua kali--Rp130 miliar dan Rp210 miliar--tanpa penjelasan rinci yang bisa diakses publik. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius. Apakah BTT benar-benar digunakan untuk keadaan darurat, ataukah menjadi dana fleksibel pemerintah?
Di Wera, Bima, fakta lapangan semakin memperkuat keraguan publik. Alokasi sisa Rp16 miliar hanya menghasilkan Rp3,65 miliar untuk perbaikan darurat infrastruktur di Bima dan Dompu. Dompu mendapat Rp296 juta lebih, Bima sekitar Rp3,35 miliar untuk delapan paket pekerjaan jalan. Jika dibandingkan dengan kerusakan akibat banjir--ribuan hektare sawah terendam, saluran irigasi rusak, dan rumah warga porak-poranda--angka itu terasa jauh dari cukup. Sindiran anggota DPRD NTB Muhammad Aminurlah menggema: “Bagaimana sawah bisa ditanami kalau irigasi rusak?”
Secara regulasi, BTT hanya untuk keadaan mendesak dan berdampak signifikan. Praktik di NTB, dengan pergeseran Rp340 miliar tanpa laporan rinci dan rencana penyertaan modal Rp8 miliar untuk BUMD PT Gerbang NTB Emas, menimbulkan kesan dana darurat dialihkan untuk tujuan lain. Logika publik sederhana, BTT untuk rakyat terdampak bencana, bukan untuk menolong perusahaan yang sedang bermasalah.
Minimnya transparansi bukan sekadar persoalan administratif, melainkan membuka risiko hukum. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menekankan pentingnya pencatatan akuntabel. Tanpa itu, BTT berpotensi menjadi lubang hitam APBD--dana keluar, tetapi manfaatnya sulit dilacak. Sejarah menunjukkan bahwa penyalahgunaan BTT dapat berujung pada kasus hukum karena sifatnya yang mendesak mempermudah prosedur diabaikan.
Beberapa daerah memberi contoh positif. Jawa Tengah mewajibkan laporan realisasi BTT dipublikasikan secara berkala di situs resmi, lengkap dengan lokasi proyek dan penerima manfaat. Aceh menerapkan audit cepat untuk setiap penggunaan BTT di atas Rp1 miliar. Praktik ini membuktikan bahwa transparansi dan fleksibilitas dapat berjalan beriringan.
NTB perlu menempuh langkah serupa dengan membuka laporan penggunaan BTT ke publik, memperkuat mitigasi bencana, dan membatasi penggunaan dana hanya untuk kondisi krisis publik. BTT bukan sekadar angka dalam tabel APBD. Ia adalah janji kehadiran negara saat rakyat berada di titik rapuh.
Jika NTB gagal menjadikan BTT instrumen nyata bagi rakyat, kepercayaan publik akan runtuh seperti tanggul yang jebol, meninggalkan kerusakan dan frustrasi yang bisa dicegah.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Turide di persimpangan: Siapkah NTB menghadapi PON 2028?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Profesionalisme Tim Percepatan NTB yang dipertaruhkan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Di balik asap insinerator, PR sampah Mataram belum usai
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB-Luka senyap di balik seragam: Kisah pilu Brigadir Esco
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Kamar kosong di tengah euforia MotoGP: NTB bersiap atau tertinggal?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika langit diam, ujian kekeringan di Lape Sumbawa
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Bagaimana NTB menjaga euforia MotoGP dari risiko sepi penonton?"
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Integritas pejabat NTB diuji: Dari mikrofon terbang hingga mantan terpidana di kursi strategis
