Mataram (ANTARA) - Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028 bukan sekadar ajang olahraga. Ia adalah cermin kesiapan daerah, ujian manajemen, dan kesempatan untuk menegaskan ambisi nasional.
Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu tuan rumah, dengan stadion utama GOR 17 Desember Turide, Mataram sebagai simbol persimpangan antara rencana dan kenyataan. Turide bukan sekadar lapangan. Ia adalah saksi sejarah olahraga di NTB, tempat atlet berlatih, lomba digelar, dan masyarakat berkumpul.
Namun kini, wajah lamanya menghadirkan pertanyaan besar. Apakah ambisi besar ini akan terwujud, atau tetap hanya di atas kertas?
Revitalisasi Turide adalah proyek monumental. Anggaran mencapai setengah hingga satu triliun rupiah, mencakup wisma atlet, arena pencak silat, lapangan latihan, plaza, hingga masjid. Pilihan renovasi dipilih karena membangun stadion baru jauh lebih mahal.
Strategi NTB jelas yakni memaksimalkan fasilitas lama, membangun seperlunya, dan memanfaatkan venue yang sudah ada, mulai dari Sirkuit Mandalika hingga Dam Meninting.
Total anggaran PON NTB-NTT diperkirakan Rp3,3 triliun, dengan pembiayaan gabungan APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/kota. Skema ini logis, tetapi menuntut koordinasi rapi dan transparansi penuh. Simpul yang longgar bisa membuat seluruh persiapan tersendat.
Di sisi atlet, persiapan juga tak kalah penting. Pada PON Aceh-Sumut 2024, NTB meraih 16 emas, bukti bahwa pembinaan mulai berbuah hasil. Kejurprov Judo Kapolda NTB Cup 2025 dan Kejurnas Muaythai 2025 menunjukkan arah serius mencari bibit unggul, membangun ekosistem kompetisi, dan menyiapkan generasi emas.
Target PON 2028, 60 medali emas dan posisi lima besar nasional, bukan sekadar slogan. Ia menuntut regenerasi pelatih, fasilitas latihan memadai, dan kompetisi rutin. Tanpa sistem berkelanjutan, target ini bisa menjadi beban moral bagi atlet dan pemerintah.
Tantangan terbesar bukan hanya infrastruktur dan atlet, tetapi manajemen keseluruhan. Ribuan orang, puluhan ribu atlet dan ofisial, ratusan nomor pertandingan, dan sorotan media menuntut profesionalisme tinggi.
Transportasi, akomodasi, protokol keamanan, dan sistem informasi harus berjalan tanpa celah. Pendanaan yang terbagi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menuntut kontrol ketat. Pemerintah pusat bukan sekadar penyokong dana, tetapi pengawas teknis.
Lebih dari itu, PON harus meninggalkan warisan. Stadion dan GOR baru tidak boleh mangkrak. Agenda rutin, liga lokal, kejuaraan nasional, hingga event internasional harus dijalankan.
Bendungan untuk dayung bisa dikembangkan menjadi wisata olahraga. Tanpa perencanaan pasca-event, fasilitas megah akan menjadi monumen kosong yang menyedot APBD, meninggalkan kesan bahwa PON hanyalah pesta sesaat.
NTB kini berada di persimpangan besar. Ada ambisi besar menunggu diwujudkan, risiko besar mengintai jika persiapan tak konsisten.
Kesiapan bukan diukur dari sketsa desain stadion atau jumlah medali yang dijanjikan, tetapi dari konsistensi menjaga infrastruktur, membina atlet, mengelola anggaran transparan, dan menyiapkan rencana pasca-event yang matang.
Panggung PON hanyalah satu sisi cerita; yang lebih penting adalah apakah langkah nyata mengikuti ambisi besar, ataukah momentum ini akan berlalu begitu saja.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Profesionalisme Tim Percepatan NTB yang dipertaruhkan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Di balik asap insinerator, PR sampah Mataram belum usai
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB-Luka senyap di balik seragam: Kisah pilu Brigadir Esco
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Kamar kosong di tengah euforia MotoGP: NTB bersiap atau tertinggal?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika langit diam, ujian kekeringan di Lape Sumbawa
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Bagaimana NTB menjaga euforia MotoGP dari risiko sepi penonton?"
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Integritas pejabat NTB diuji: Dari mikrofon terbang hingga mantan terpidana di kursi strategis
