Tajuk ANTARA NTB - Membangun ulang harapan di Tanah Wera-Ambalawi

id Tajuk ANTARA NTB, Membangun ulang harapan ,banjir bima,Wera-Ambalawi Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB - Membangun ulang harapan di Tanah Wera-Ambalawi

Jalan dan jembatan rusak di Bima akibat banjir dan longsor pada 1-2 Februari 2025. (ANTARA/Ady Ardiansah). (1)

Mataram (ANTARA) - Musim hujan sejatinya membawa kesuburan bagi banyak wilayah di Indonesia. Namun, di sejumlah daerah, air yang sama justru berubah menjadi ancaman yang menghapus batas antara alam yang memberi dan alam yang menuntut kembali ruangnya.

Itulah yang dialami warga di ujung timur Pulau Sumbawa. Beberapa desa di Kabupaten Bima, tepatnya di Kecamatan Wera dan Ambalawi, masih menyimpan jejak luka banjir bandang yang menerjang pada Februari 2025. Dalam satu malam, air cokelat pekat menghantam rumah-rumah kayu, membuat ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal dan penghidupan. Delapan jembatan putus, tanggul bendung rusak, serta saluran irigasi sepanjang 400 meter jebol.

Kini, pemerintah provinsi menyiapkan Rp1 miliar dalam APBD Perubahan 2025 untuk memperbaiki infrastruktur di dua kecamatan tersebut. Langkah ini penting sebagai sinyal hadirnya negara, namun juga menuntut kehati-hatian agar tidak berhenti pada tumpukan laporan. Sebab pemulihan pascabencana bukan semata soal membangun kembali yang rusak, tetapi menegakkan kembali harapan masyarakat yang goyah.

Kerusakan fisik di Wera dan Ambalawi memperlihatkan rapuhnya sistem pendukung kehidupan di pedesaan. Ketika irigasi jebol, petani tak bisa menanam. Saat jembatan putus, konektivitas warga terhenti. Karena itu, pemulihan tidak boleh dilihat sebatas proyek infrastruktur. Ia harus diarahkan untuk memulihkan mata rantai ekonomi, sosial, dan ekologi secara bersamaan.

Pergeseran paradigma dari bantuan darurat menuju pemulihan terencana patut diapresiasi. Fokus perbaikan kini meliputi normalisasi sungai dan bronjongisasi--pemasangan kawat berisi batu untuk menahan erosi dan memperkuat tebing sungai. Namun tantangan tetap ada: lambatnya pendataan rumah rusak, minimnya transparansi penggunaan dana, serta risiko pengalihan anggaran ke program lain.

Pemulihan yang berkelanjutan hanya dapat terjadi bila masyarakat dilibatkan sejak awal. Komunitas lokal seharusnya tidak sekadar menjadi penerima bantuan, tetapi juga pengelola proses. Mereka paling memahami kebutuhan, prioritas, dan kondisi wilayahnya. Keterlibatan warga dalam memantau, menentukan, dan mengawasi pelaksanaan proyek akan memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar memberi manfaat nyata.

Selain itu, transparansi harus dijaga. Pemerintah daerah perlu membuka akses informasi progres pemulihan secara berkala agar masyarakat dan media dapat ikut mengawasi. Akuntabilitas publik bukan hanya soal laporan keuangan, tetapi juga soal kepercayaan.

Lebih jauh, mitigasi jangka panjang perlu menjadi bagian dari setiap rencana pembangunan. Deforestasi di hulu sungai dan alih fungsi lahan telah menjadikan kawasan ini rentan terhadap bencana. Reboisasi, penataan daerah aliran sungai, serta sistem peringatan dini di tingkat desa mesti menjadi prioritas agar upaya pemulihan tidak menjadi rutinitas tahunan.

Banjir di Wera dan Ambalawi adalah pengingat bahwa ketahanan bukan sekadar membangun kembali, tetapi membangun lebih baik. Anggaran Rp1 miliar adalah langkah awal, namun nilainya baru terasa jika petani bisa kembali menanam, anak-anak menyeberang jembatan dengan aman, dan keluarga dapat tidur tanpa cemas setiap kali hujan tiba.

Ketika pemulihan dilakukan dengan hati dan transparansi, bencana bukan lagi akhir, melainkan awal dari ketangguhan baru di tanah Bima.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Desa berdaya dan janji kemandirian NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menata arah hijau NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Gili Gede, Ujian serius pariwisata berkelanjutan di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB dan masa depan di balik gudang jagung
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Lombok dan agenda besar di balik penghargaan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Memperkuat akses jalan alternatif di Lombok



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.