Mataram (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, Gde Made Pasek Swardhyana membeberkan peran dari empat tersangka korupsi dana pokok pikiran (pokir) DPRD Lombok Barat tahun anggaran 2024.
"Dari hasil penyidikan, tersangka AZ yang merupakan anggota DPRD Lombok Barat diduga melakukan intervensi terhadap proses pengadaan barang yang seharusnya menjadi kewenangan pejabat pengadaan, baik kuasa pengguna anggaran atau pejabat pembuat komitmen," kata Made Pasek di Mataram, Jumat.
Selain itu, perbuatan pidana tersangka AZ diduga melakukan pembelanjaan sendiri terhadap kegiatan pemerintah daerah, sehingga mengaburkan peran penyedia barang atau jasa dan perbuatan tersebut telah melanggar asas pengadaan.
"Tersangka AZ turut mengatur dan menunjuk sendiri penyedia, yakni tersangka R dari pihak swasta untuk dijadikan pemenang. Pengaturan pengadaan ini masuk dalam konsep kolusi," ucap dia.
Baca juga: Anggota DPRD Lombok Barat dan dua ASN jadi tersangka korupsi pokir 2025
Selain itu, tersangka AZ sebagai anggota DPRD Lombok Barat turut memerintahkan pembuatan proposal fiktif dan menaikkan jumlah penerima manfaat. Hal tersebut yang kemudian mengakibatkan munculnya kerugian keuangan negara.
"Tersangka AZ turut melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan dengan melibatkan diri dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah yang seharusnya bersifat eksekutif, bukan legislatif," katanya.
Untuk tersangka R sebagai penyedia barang hasil pengaturan tersangka AZ tidak melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak dan dengan sengaja membiarkan tersangka AZ yang mengatur seluruh pekerjaan.
"Jadi, tersangka R ini hanya bertindak sebagai 'bendera' atau penyedia fiktif dan tetap menerima keuntungan lima persen, sehingga terjadi moral hazard dan perbuatan memperkaya diri sendiri tanpa dasar hukum," ujar Made Pasek.
Baca juga: Jaksa kantongi hasil audit kerugian korupsi pokir DPRD Lombok Barat
Sedangkan, tersangka dari kalangan aparatur sipil negara berinisial D dan MZ, terungkap tidak melakukan survei harga dalam menyusun harga perkiraan sendiri (HPS). Melainkan, berdasarkan ketersediaan anggaran dan Standar Satuan Harga (SSH) Kabupaten Lombok Barat tahun 2023.
"Sehingga harga yang ditetapkan dalam kontrak oleh PPK atau KPA jauh lebih mahal dari harga pasar," ucapnya.
Kedua tersangka dari kalangan ASN ini juga diduga turut melakukan pengaturan pemenang bersama Tersangka AZ dengan menunjuk tersangka R sebagai penyedia.
"Terakhir, mereka tidak melakukan pengendalian kontrak dan pengawasan pelaksanaan kegiatan, sehingga pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak serta menyetujui pembayaran kepada penyedia yang tidak melaksanakan pekerjaan," katanya.
Baca juga: Kejaksaan kembangkan penyidikan korupsi pokir DPRD Lombok Barat
Akibat dari perbuatan pidana para tersangka, muncul kerugian keuangan negara hasil audit Inspektorat Lombok Barat dengan nilai mencapai Rp1,77 miliar.
Dalam uraian kasus, Pasek menjelaskan bahwa pemerintah daerah melalui Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2024 menganggarkan kegiatan belanja barang untuk kebutuhan masyarakat dengan anggaran sebanyak Rp22,26 miliar.
Dari anggaran miliaran rupiah tersebut, pemerintah membagi paket pekerjaan belanja barang tersebut dalam 143 kegiatan dengan di antaranya 100 kegiatan berasal dari pokir anggota DPRD Lombok Barat.
Kegiatan pokir DPRD Lombok Barat atas nama tersangka AZ tersebut tercatat sebanyak 10 paket pekerjaan dengan pagu anggaran Rp2 miliar.
Paket pekerjaan di bawah tersangka AZ ini ditempatkan pada bidang pemberdayaan sosial sebanyak delapan paket dan sisanya pada bidang rehabilitasi sosial.
Adanya pemufakatan jahat yang di bawah kendali tersangka AZ sebagai anggota DPRD Lombok Barat mengakibatkan pekerjaan ini tidak berjalan sesuai aturan.
Baca juga: Kejari gandeng BPKP perkuat bukti korupsi pokir DPRD Lombok Barat
Baca juga: Korupsi dana pokir DPRD Lombok Barat diungkap kejaksaan
Baca juga: Kejari Mataram hentikan penyidikan korupsi bibit sapi di Lombok Barat
