Mataram (ANTARA) - Di banyak daerah agraris di Indonesia, panen raya selalu menjadi momen yang menyiratkan harapan. Ladang-ladang berubah warna, pasar mulai ramai, dan para petani bekerja lebih panjang dari biasanya demi menyelamatkan hasil panen.
Namun, kerap kali, melimpahnya produksi justru menjadi awal dari paradoks yang tidak mudah diurai. Ketika pasokan meningkat, harga komoditas pertanian sering tertekan, membuat petani berada pada posisi yang paling rentan dalam rantai ekonomi yang panjang.
Gambaran umum itu terlihat jelas di Nusa Tenggara Barat (NTB). Setiap musim panen tiba, lanskap jagung di daerah ini berubah menjadi hamparan kuning yang mengalir dari Lombok hingga Sumbawa.
Para petani memanen tongkol demi tongkol yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga mereka. Namun di balik limpahan itu, ironi menahun terus berulang.
Saat produksi mencapai puncaknya, harga jagung justru merosot hingga di bawah harga pembelian pemerintah, membuat petani was-was setiap kali panen raya datang.
Dari musyawarah desa hingga rapat kebijakan di tingkat provinsi, satu pertanyaan terus muncul: Mengapa daerah produsen jagung sebesar NTB belum mampu meraih nilai tambah dari komoditas yang dihasilkannya sendiri? Mengapa ketika jagung melimpah, justru daerah lain yang menikmati manfaat lebih besar melalui industri pakan dan pengolahan?
Pertanyaan itu kembali mencuat setelah pemerintah daerah menegaskan perlunya pembangunan pabrik pakan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian lokal.
Sebuah gagasan yang bukan hanya relevan, tetapi semakin mendesak karena rantai ekonomi jagung menunjukkan ketimpangan yang terlalu nyata untuk terus dibiarkan.
Ironi
NTB memproduksi lebih dari dua juta ton jagung setiap tahun. Angka itu cukup untuk memasok industri pakan di Jawa Timur yang bertahun-tahun bergantung pada jagung NTB sebagai bahan baku utama.
Namun situasinya berbalik ketika para pengusaha peternakan dan tambak di NTB membutuhkan pakan. Mereka justru harus membeli dari Jawa Timur dengan harga yang lebih tinggi karena harus menanggung biaya transportasi dan margin distribusi.
Hasilnya adalah rantai ekonominya menjadi paradoks. Jagung dari NTB bergerak keluar dalam bentuk bahan baku mentah, lalu kembali masuk sebagai produk jadi dengan harga yang meningkat berkali-kali lipat.
Industri pakan tumbuh pesat di luar provinsi, sementara NTB tetap berada di hulu sebagai pemasok bahan mentah tanpa penguatan sektor manufaktur. Keadaan ini memerangkap daerah dalam ketergantungan dan membuat petani sulit naik kelas.
Dinas Perdagangan NTB telah menjelaskan berulang kali bahwa hilirisasi jagung adalah solusi permanen untuk mengatasi anjloknya harga saat panen raya.
Pendirian pabrik pakan di Pulau Sumbawa dianggap langkah strategis untuk menyerap surplus panen dan memutus mata rantai yang tidak efisien.
Tanpa pabrik pakan, harga jagung akan terus rentan, terutama saat produksi melimpah dan pembeli besar menurunkan permintaan.
Kebutuhan industri lain di NTB juga mempertegas urgensi ini. Tambak udang yang berkembang pesat, peternak unggas yang bertambah dari tahun ke tahun, serta sektor perikanan yang terus tumbuh, semuanya membutuhkan pakan dalam skala besar.
Namun selama pakan harus didatangkan dari luar daerah, harga produksi akan tetap tinggi dan daya saing industri lokal akan tertekan.
Pertumbuhan ekonomi semestinya tidak hanya bergantung pada hasil panen, tetapi pada kemampuan daerah untuk memastikan bahan baku tersebut mengalami proses nilai tambah.
Pabrik Pakan
Di sinilah pabrik pakan berperan sebagai simpul penting dalam ekosistem agribisnis yang modern.
Hilirisasi tidak hanya tentang membangun fasilitas industri. Ia menyentuh seluruh rantai produksi dari hulu ke hilir.
Jagung harus diserap dengan harga yang layak, diproses sesuai standar industri, kemudian disalurkan kembali ke industri peternakan dan perikanan lokal.
Dalam skema ini, petani mendapatkan harga stabil, pelaku industri mendapatkan pasokan terjangkau, dan daerah memperoleh nilai tambah signifikan dalam bentuk tenaga kerja, aktivitas manufaktur, dan pertumbuhan sektor pendukung.
NTB sebenarnya telah memulai langkah itu melalui pembangunan pabrik mini pakan di kawasan BRIDA Banyumulek. Proyek tersebut digadang-gadang menjadi pilot project industrialisasi jagung.
Namun progres perjalanannya menunjukkan bahwa hilirisasi membutuhkan manajemen lintas sektor yang kuat. Ketika fasilitas berdiri tanpa percepatan operasional, manfaatnya tidak segera dirasakan oleh petani maupun pelaku usaha.
Situasi ini menunjukkan bahwa pembangunan industri pakan tidak cukup hanya dengan menyediakan bangunan dan mesin.
Ia membutuhkan ekosistem yang sehat, mulai dari tata kelola, suplai jagung berkualitas, dukungan energi, transportasi, hingga kompetensi sumber daya manusia. Tanpa itu, pabrik dapat berdiri megah tetapi tidak memberi dampak berarti.
Namun NTB tidak berjalan sendirian. Investor Malaysia pernah menyampaikan minat membangun pabrik pakan dan pengolahan ikan.
Di Pulau Sumbawa, pemerintah daerah mendorong investasi serupa agar hilirisasi tidak berhenti pada wacana. Di DPRD, pembahasan mengenai pabrik pakan selalu kembali mencuat sebagai tuntutan masyarakat.
Momentum ini perlu dijaga. Dengan produksi jagung yang besar dan kebutuhan pakan yang tinggi, NTB memiliki alasan paling kuat untuk mempercepat industrialisasi sektor pangan.
Nilai tambah
Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya membangun pabrik pakan, tetapi memastikan industri ini bisa berjalan berkelanjutan. Itu berarti daerah harus mampu menyediakan bahan baku jagung secara teratur, menjaga kualitas produksi, memperkuat infrastruktur logistik, dan melibatkan petani sebagai bagian dari rantai nilai.
Di tingkat kebijakan, hilirisasi perlu masuk sebagai prioritas pembangunan jangka panjang. Pemerintah bisa memulai dengan tiga strategi kunci.
Pertama, mempercepat pembangunan pabrik pakan melalui skema investasi publik maupun kemitraan swasta.
Kedua, memastikan ketersediaan jagung dengan memperbaiki tata niaga, memperluas akses penyimpanan, dan mengurangi rugi pascapanen.
Ketiga, membangun ekosistem riset dan inovasi melalui lembaga seperti BRIDA agar industri pakan berkembang berbasis ilmu pengetahuan, bukan hanya logika pasar.
Pada akhirnya, nilai tambah adalah soal keberanian mengambil langkah lebih jauh dari hulu. Saat jagung hanya dipanen, dicabut, lalu dijual sebagai komoditas mentah, nilai ekonomi yang hilang terlalu besar. Tetapi ketika bahan baku diolah di tanah sendiri, ia tidak hanya menjadi produk. Ia menjadi sumber kerja, sumber ilmu, dan sumber daya yang memperkuat kemandirian daerah.
NTB memiliki ladang yang luas dan petani yang tak pernah berhenti bekerja. Sudah saatnya hasil jerih payah itu memberi manfaat yang lebih besar bagi mereka.
Pabrik pakan bukan sekadar bangunan industri. Ia adalah simbol dari perjalanan panjang untuk mengikat kembali nilai tambah yang terlalu lama dibiarkan pergi.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Jagung NTB dan peluang yang hilang
