Mataram (ANTARA) - Setiap akhir tahun, perbincangan publik kerap dipenuhi oleh angka. Angka pertumbuhan ekonomi, inflasi, hingga anggaran negara. Bagi jutaan pekerja, satu angka yang paling menentukan adalah upah.
Di balik tabel dan rumus statistik, upah menyentuh kebutuhan paling mendasar, yakni keberlangsungan hidup, martabat kerja, dan kehadiran negara dalam keseharian warganya.
Upah minimum selalu berada di titik temu antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial. Bagi negara, ia adalah instrumen kebijakan. Bagi pengusaha, ia merupakan komponen biaya.
Namun bagi pekerja, upah minimum adalah batas paling bawah agar kerja tidak jatuh menjadi eksploitasi. Karena itu, setiap penetapan upah minimum tidak pernah netral. Ia memuat dimensi ekonomi sekaligus moral.
Dalam konteks itulah penetapan Upah Minimum Provinsi Nusa Tenggara Barat (UMP NTB) tahun 2026 perlu dibaca lebih dalam. Angkanya ditetapkan sebesar Rp2,67 juta, naik sekitar 2,725 persen atau sekitar Rp70 ribu dari tahun sebelumnya.
Secara nominal, kenaikan ini tampak moderat. Tidak melonjak, tetapi juga tidak stagnan. Namun pertanyaan mendasarnya bukan semata soal besarannya, melainkan soal daya belinya dan kepastian penerimaannya.
NTB memiliki struktur ekonomi yang masih bertumpu pada sektor jasa, pariwisata, perdagangan, dan pertanian. Sebagian besar pekerja berada pada sektor dengan daya tawar rendah dan ketergantungan tinggi pada kepatuhan pengusaha.
Dalam situasi seperti ini, upah minimum bukan sekadar angka administratif, melainkan garis batas antara cukup dan kurang, antara bertahan dan terpuruk.
Kebijakan UMP NTB 2026 disusun dalam kerangka nasional yang sah dan terukur, mengikuti formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun realitas sosial ekonomi NTB memiliki kekhasan yang tidak selalu tertangkap oleh rumus.
Biaya hidup, terutama di kawasan perkotaan dan daerah penyangga pariwisata, terus bergerak naik. Harga pangan, transportasi, dan hunian sering kali melaju lebih cepat daripada kenaikan upah.
Persoalan pengupahan di NTB juga tidak berhenti pada penetapan angka. Tantangan terbesarnya adalah kepatuhan. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan masih adanya pembayaran upah di bawah ketentuan, terutama di sektor informal dan usaha skala kecil.
Dalam kondisi seperti ini, kenaikan UMP tanpa pengawasan yang kuat berisiko kehilangan makna substantif.
Karena itu, penekanan pemerintah daerah pada penguatan pengawasan patut dicatat sebagai langkah penting. Upah minimum tidak cukup ditetapkan, tetapi harus dijaga pelaksanaannya.
Tanpa pengawasan, UMP hanya akan menjadi kebijakan normatif yang jauh dari realitas pekerja. Tanpa penegakan, pekerja akan tetap berada pada posisi tawar yang lemah.
Kebijakan pendukung seperti pembiayaan BPJS Ketenagakerjaan dan intervensi pelatihan tenaga kerja menunjukkan bahwa persoalan upah tidak berdiri sendiri.
Upah yang layak harus berjalan seiring dengan peningkatan keterampilan, produktivitas, dan kesiapan tenaga kerja menghadapi perubahan pasar.
Pada akhirnya, UMP NTB 2026 adalah cermin sejauh mana negara hadir dalam kehidupan sehari-hari warganya. Bukan tentang seberapa besar kenaikannya, melainkan tentang kepastian bahwa setiap pekerja menerima haknya secara adil dan bermartabat.
Upah minimum adalah janji negara. Janji itu hanya bermakna jika ditepati dan dijaga bersama.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ujian meritokrasi dalam pemilihan Sekda NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menata agromaritim NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menata kemandirian listrik NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kampung nelayan NTB: Antara proyek dan keberpihakan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Surfing NTB: Lebih dari sekadar event
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika hutan Sumbawa tak lagi terjaga
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - HUT NTB: Menata arah di usia 67
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Desa berdaya, harapan baru pengentasan kemiskinan di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mengurai simpul sampah perkotaan NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menjaga ingatan Bumi Gora