Petani binaan BI NTB memperluas lahan pertanian organik

id Petani Lombok,Pertanian Organik,Bank Indonesia

Petani binaan BI NTB memperluas lahan pertanian organik

Anggota Kelompok Tani Subur Metandur, Desa Muncan, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, mengembangkan usaha tani sayuran organik karena memiliki nilai jual relatif mahal. (ANTARA/Awaludin)

Mataram (ANTARA) - Para petani di Pulau Lombok binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat memperluas lahan tanam padi dan bawang putih organik secara terintegrasi karena permintaan hasilnya meningkat.

"Tahun ini kami siap menanam padi organik di lahan 10 hektare karena hasil uji coba yang dilakukan pada musim tanam 2019 di lahan satu hektare hasilnya cukup menggembirakan, yakni mencapai 6,2 ton per hektare," kata Ketua Bidang Pemasaran, Kelompok Tani Kelompok Tani Subur Metandur, Desa Muncan, Kabupaten Lombok Tengah, Lalu Adi, di Mataram, Kamis.

Ia mengatakan kenaikan hasil produksi dari lima ton menjadi enam ton lebih juga diikuti dengan harga jual beras organik yang lebih mahal dibandingkan beras yang diproduksi menggunakan pupuk kimia. Harga beras organik berani dibeli oleh konsumen dengan harga Rp15.000 per kilogram.

Kenaikan pendapatan juga diikuti dengan efisiensi biaya produksi. Sebab, penggunaan pupuk dan pestisida kimia sudah tidak ada lagi. Semua diganti dengan pupuk padat organik dan pupuk cair organik yang diproduksi sendiri dengan memanfaatkan limbah ternak sapi, berupa kotoran dan urine.

"Efisiensi biaya produksi dari pupuk dan pestisida mencapai 30 persen. Di satu sisi, pendapatan dari lahan satu hektare padi organik meningkat," ujar Lalu Adi.

Perluasan lahan tanam juga dilakukan oleh petani bawang putih organik di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, yang juga binaan Bank Indonesia.

H Haeril, seorang petani bawang putih organik mengaku anggota kelompoknya semakin banyak yang tertarik menerapkan konsep pertanian organik terintegrasi karena sudah melihat hasil uji coba tanam bawang putih pada lahan satu hektare.

"Kami uji coba pertanian organik 100 persen di lahan seluas satu hektare, hasilnya cukup bagus. Ukuran ubi bawang putih relatif lebih besar dari biasa yang dihasilkan petani. Di satu sisi, biaya pupuk bisa ditekan," tutur Haeril.

Ia mengatakan bawang putih yang dihasilkan dari perlakuan organik diolah menjadi bawang putih hitam (black garlic) sehingga memiliki nilai jual lebih mahal dibandingkan dalam bentuk umbi biasa. Bawang putih hitam yang sudah dikemas dalam ukuran seperempat kilogram dijual dengan harga Rp50 ribu. Sebagian juga dijadikan bibit untuk perluasan tanam.

Meskipun harga bawang putih hitam relatif mahal, tidak berarti orang takut membelinya. Justru petani kewalahan untuk memproduksinya karena hasil panen bawang putih organik untuk dijadikan black garlic masih sangat terbatas.

"Kami tertarik menerapkan budi daya bawang putih organik secara terintegrasi karena sudah nyata ada kenaikan hasil dan efisiensi biaya usaha tani," ucap Haeril.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTB, Achris Sarwani mengatakan, pihaknya terus memberikan pendampingan kepada para petani binaan untuk menerapkan pertanian organik secara terintegrasi dengan harapan produk yang dihasilkan akan memiliki ukuran yang lebih besar, kualitas yang tahan lama, serta rasa yang semakin kuat.

Penerapan dengan teknik total organik tersebut juga diyakini akan meningkatkan daya saing produk hasil pertanian apabila dibandingkan dengan yang ditanam menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Achris menambahkan sebagai provinsi yang dikenal sebagai lumbung padi nasional, NTB berpeluang besar untuk mengembangkan usaha pertanian organik. Hal itu turut mendukung program swasembada pangan yang bertujuan untuk mewujudkan pemantapan ketahanan pangan masyarakat sampai tingkat perorangan secara berkelanjutan.

"Besarnya potensi pertanian tersebut yang mendorong Bank Indonesia turut mengambil bagian dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian, melalui pengembangan klaster padi dan bawang putih organik," katanya.