Mataram (ANTARA) - Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An'am [6]: 108).

Asbabun Nuzul dari ayat di atas, menurut Al-Wahidy, yang bersumber dari Qatadah, bahwa umat Islam suka mencaci-maki berhala sesembahan orang-orang Musyrik. Maka, mereka membalas hal itu dengan mencaci-maki Allah. Lalu Allah melarang umat Islam melakukan hal itu agar mereka tidak mencaci-maki Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, hukum larangan mencaci agama lain adalah pasti dan tidak bisa diubah dengan alasan apapun. Umat Islam tidak diperbolehkan mencaci-maki agama lain, baik itu mencaci salib, gereja, cara beribadah, ataupun segala hal yang berkaitan dengan kegiatan ibadah mereka.

Ibnul Qoyyim Al-Jauzi dalam kitab I’lamul Muwaaqi’in menjelaskan ayat di atas: “Allah melarang kita mencela tuhan-tuhan orang musyrik dengan pencelaan yang keras atau sampai merendah-rendahkan (secara terang-terangan), karena hal ini akan membuat mereka akan membalas dengan mencela Allah. Tentu termasuk maslahat besar bila kita tidak mencela tuhan orang kafir agar tidak berdampak celaan bagi Allah (sesembahan kita).”

Kata tasubbu menurut Ar-Raghib Al-Ashfihani dalam Al-Mufradat fi GharibIL Qur’an terambil dari kata sabba yang bermakna ucapan yang mengandung arti penghinaan terhadap sesuatu yang sangat menyakitkan hati, atau penisbatan kepada hal yang buruk, kekurangan atau aib, baik hal itu sesuai dengan fakta atau hanya dugaan saja.

Larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan pihak lain merupakan sebuah tuntutan guna memelihara kesucian ajaran agama itu sendiri serta untuk memelihara dan menciptakan rasa aman dalam keharmonisan hubungan antar-umat beragama.

Beberapa pekan ini ramai pemberitaan di berbagai media tentang isu penistaan agama. Isu itu menjadi trending topik, hingga beberapa tokoh, ormas dan lembaga agama, baik dalam lingkup daerah maupun nasional memberi statement tentang hal itu.

Para tokoh mengkhawatirkan, hal itu berpotensi memicu perpecahan antar umat beragama yang dapat berujung kepada perpecahan (disintegrasi) bangsa. Dalam hal ini, aparat penegak hukum diharapkan mampu bertindak cepat, tepat, proporsional dan adil agar masalah tidak semakin membesar.

Pada dasarnya, semua agama yang dianut masyarakat Indonesia mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, saling menghormati, menghargai dan toleransi dengan agama dan keyakinan orang lain. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam juga telah memberikan panduan sempurna tentang hal itu.

Al-Quran mengajarkan cara dakwah harus memakai untaian kata yang santun dan nasihat yang bijaksana. Dalam sebuah forum debat atau diskusi pun tetap harus menjunjung nilai-nilai persaudaraan, persatuan dan tidak menyinggung hati dan perasaan lawan bicara.

Firman Allah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. ‘ (QS. An-Nahl [16]: 125)

Para da’i dalam menyampaikan indahnya Islam tentu harus sesuai dengan akhlak Al-Quran sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alahi wasalam dalam berdakwah, baik kepada ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun kepada kaum Musyrikin.

Salah satu kisah kelembutan dakwah Rasulullah adalah ketika beliau berada di Thaif. Dalam buku “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wasallam” yang ditulis oleh KH Moenawar Chalil, Rasulullah Shallallahu alahi wasalam dan Zaid bin Haritsah berada di Thaif selama sepuluh hari untuk berdakwah.

Rasulullah Shallallahu alahi wasalam berbicara kepada para penduduk Thaif dengan penuh kelembutan, mengajak mereka untuk beriman dan menyembah Allah semata. Namun, jawaban penduduk Thaif jauh dari harapan. Mereka berkata kepada Nabi: “Keluarlah Kau orang gila dari negeri kami!”.

Selain berkata kasar dan mengusir Nabi, penduduk Thaif juga melempari dengan batu hingga telapak kaki Rasulullah berdarah. Sementara itu, Zaid bin Haritsah yang melindungi Rasulullah Shallallahu alahi wasalam harus rela mengalami luka memar di kepalanya akibat terkena lemparan batu. 

Ketika malaikat penjaga gunung menawarkan bantuan untuk menghukum penduduk Thaif dengan membalikkan dan menjatuhkan Gunung Akhsyabin kepada mereka, dengan lemah-lembut, Rasulullah Shallallahu alahi wasalam bersabda, “Walaupun penduduk Thaif menolakku, aku berharap dengan kehendak Allah keturunan mereka kelak akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

Rasulullah Shallallahhu alaihi wasalam kemudian berdoa, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Batasan kebebasan berpendapat

Terkait kebebasan berpendapat, Pasal 156(a) KUHP melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun.

Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun. Pasal dimaksud menyebutkan bahwa syarat terpenuhinya unsur penodaan agama setidaknya ada dua, yakni dengan sengaja dan di muka umum.

Kesengajaan yang dimaksud sebagaimana yang dijelaskan oleh pakar hukum Prof. Dr. Moeljatno adalah adanya hubungan batin atau pemikiran dari pelaku atas perbuatan yang dilakukan.

Sedangkan yang dimaksud dengan di muka umum bisa berarti dua hal. Pertama, dari segi tempatnya yang memungkinkan orang banyak bisa mendengar hal itu. Contohnya di pasar, stadion, terminal dan lainnya. Kedua, seiring perkembangan zaman, media sosial juga bisa dikategorikan sebagai tempat umum karena bisa di akses oleh banyak orang.

Jadi, jika seseorang menyampaikan pidato/ceramah di ranah privat, seperti di rumah pribadi, tempat ibadah agamanya, atau berbicara kepada kelompok/komunitas sejenis dan sefaham, maka menurut pendapat penulis tidak bisa dikategorikan melanggar pasal tersebut.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Mudzakir menilai, tidak termasuk perbuatan menista agama apabila seseorang menyampaikan ceramah di forum terbatas dan tertutup, seperti masjid/gereja, dan hanya diikuti oleh penganut agamanya saja. Menurutnya, hal itu bukan kategori di muka umum.

"Kalau umatnya bertanya, dan dalam forum itu homogen, itu bukan bagian dari penghinaan. Karena dalam konteks agama, orang akan mengajarkan yang benar menurut agamanya serta akan mengutamakan kebenaran agamanya," kata Prof. Dr. Mudzakir.

Meski demikian, Prof. Dr. Mudzakir mengakui, akan menjadi masalah apabila konten itu disebar di media sosial. Karena media sosial merupakan ranah publik. Siapapun bisa mengaksesnya. Jadi, untuk materi-materi ceramah yang bersifat khusus, sebaiknya tetap berhati-hati dan tidak disebarkan di media sosial.

Selain itu, aparat perlu menelurusi orang/pihak penyebar konten-konten ceramah khusus tersebut yang berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Penyebaran konten-koten yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian bisa dijerat dengan Undang Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Menjaga pluralitas

Sementara itu kemajemukan (pluralitas) bangsa Indonesia bukanlah persoalan baru, tetapi sudah ada sejak dahulu. Kemajemukan itu di satu sisi menjadi dasar pembentukan masyarakat yang harmonis, namun di sisi lain bisa menjadi potensi bahaya berupa kerusuhan dalam masyarakat hingga terjadi perang saudara bila tidak dikelola dengan baik.

Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu; pertama, majemuk secara sosial, ditandai oleh kenyataan sosial berupa perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta kedaerahan. Kedua, majemuk secara ekonomi, dengan adanya masyarakat lapisan atas (kaya) dan lapisan bawah (pra sejahtera).

Pluralitas itu sendiri berbeda dengan pluralisme. Pluralitas adalah kondisi dimana berbagai agama hidup secara bersamaan dalam suatu masyarakat dengan saling menghormati, sedangkan pluralisme adalah paham yang menjadi tema dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat serta merupakan salah satu agenda globalisasi.

Menurut paham pluralisme, semua agama adalah benar. Oleh karena itu, semua pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan kelak akan hidup berdampingan.

Paham pluralisme lahir akibat konflik agama di masyarakat Barat. Atas nama agama, masing-masing pihak menghabisi kelompok yang berseberangan. Dalam kondisi seperti itulah kemudian lahir gerakan pluralisme, liberalisme (hanya menerima dalil yang sesuai akal) dan sekularisme (memisahkan agama dengan urusan dunia).

Pluralisme sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat. Cendikiawan Muslim, Dr. Anis Malik Taha dalam disertasinya yang diajukan di International Islamic University Islamabad Pakistan menyimpulkan tiga implikasi pokok pluralisme dalam agama. Pertama, penghapusan agama (al-qada’ ala al-din). Kedua, skeptis (acuh tak acuh) terhadap agama. Ketiga, ancaman atas Hak Asasi Manusia (HAM).

Oleh karena, dalam kaitan ini umat Islam hendaknya mampu mengoptimalkan potensi pluralitas dalam masyarakat. Di samping itu harus berhati-hati terhadap ide-ide sekuler yang pada hakikatnya hanya akan menghancurkan agama. Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia.
 


Pewarta : Imaam Yakhsyallah Mansur*
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024