Jakarta (ANTARA) - Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Weda Kupita menilai perlu adanya regulasi yang mampu menindak tegas oknum atau individu yang menyebarkan paham radikal dan terorisme di kampus.
“Karena regulasi yang sekarang sudah ada belum bisa memenuhi standar untuk penanggulangan paham-paham radikal tadi itu. Jadi belum ada regulasinya,” ujar dosen Fakultas Hukum Unsoed itu dalam siaran pers Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (PMD BNPT), Sabtu.
Menurutnya, hal ini terkait dengan terbatasnya ruang gerak aparat penegak hukum menertibkan penyebar narasi radikalisme terutama di lingkungan kampus. “Hal itu membuat aparat seperti gamang atau ragu ragu karena tidak ada payung hukum dalam hal paham radikalisme (di kampus) yang bertentangan dengan Pancasila. Itu yang pertama,” jelasnya.
Kedua, menurutnya, dengan memberikan kewenangan bertindak dari aparat pemerintah ketika menghadapi suatu kondisi atau peristiwa yang konkret, yang harus segera ditangani seperti halnya radikalisme, melalui kewenangan diskresi.
“Maka aparat pemerintah itu sebetulnya diberi suatu kewenangan bebas, yang mana harus tetap wajib melaksanakan atau menangani suatu peristiwa konkret tersebut untuk bisa ditangani, yaitu dengan cara menggunakan diskresi,” ujarnya.
Baca juga: Politisasi agama bisa picu radikalisme dan terorisme
Namun demikian, terkait sebaran radikalisme di lingkungan kampus, dirinya setuju jika memang harus ada lembaga internal yang menengarai merebaknya paham-paham radikalisme intoleran dan terorisme di lingkungan kampus. Hal ini guna menjadikan perguruan tinggi sebagai rumah yang nyaman untuk mengembangkan sikap moderat dan toleran.
Ia juga menilai kampus sudah sewajarnya mampu memetakan kelompok mahasiswa yang rentan maupun sudah terpapar paham-paham radikal, intoleran, dan terorisme serta bagaimana paham tersebut bisa masuk ke lingkungan kampus.
“Pihak kampus harus mengetahui mahasiswa tersebut bisa terpapar melalui kelompok-kelompok, seperti apa yang kemudian seharusnya bisa diwaspadai. Seharusnya kampus bisa memetakan hal tersebut,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, terkait dengan menjaga kepercayaan masyarakat khususnya para orang tua untuk menyekolahkan putra-putri mereka di lembaga pendidikan atau institusi yang terbaik. “Hal tersebut tentunya perlu dilakukan agar para orang tua atau publik nantinya percaya dan tidak ragu bahwa perguruan tinggi atau kampus itu benar benar sebuah lembaga pendidikan yang aman dan nyaman untuk mengembangkan sikap mahasiswa yang memiliki pandangan wawasan moderat dan toleran,” jelas Weda.
Ia juga menilai perlu adanya kedekatan pihak kampus kepada unit kegiatan mahasiswa yang ada di dalam lingkungan kampus untuk bisa mendeteksi potensi mahasiswa terpapar paham-paham yang menyimpang tersebut.
Selain itu, ia berharap kampus dapat meningkatkan kesadaran untuk mewaspadai lingkungannya digunakan sebagai sarana menyebarkan paham radikal dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila.
“Tentunya yang perlu ditingkatkan kemudian adalah bagaimana cara jajaran pimpinan kampus itu mewaspadai jangan sampai kampus itu dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkembang biaknya paham radikal, terorisme, dan intoleransi,” kata Weda.
“Karena regulasi yang sekarang sudah ada belum bisa memenuhi standar untuk penanggulangan paham-paham radikal tadi itu. Jadi belum ada regulasinya,” ujar dosen Fakultas Hukum Unsoed itu dalam siaran pers Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (PMD BNPT), Sabtu.
Menurutnya, hal ini terkait dengan terbatasnya ruang gerak aparat penegak hukum menertibkan penyebar narasi radikalisme terutama di lingkungan kampus. “Hal itu membuat aparat seperti gamang atau ragu ragu karena tidak ada payung hukum dalam hal paham radikalisme (di kampus) yang bertentangan dengan Pancasila. Itu yang pertama,” jelasnya.
Kedua, menurutnya, dengan memberikan kewenangan bertindak dari aparat pemerintah ketika menghadapi suatu kondisi atau peristiwa yang konkret, yang harus segera ditangani seperti halnya radikalisme, melalui kewenangan diskresi.
“Maka aparat pemerintah itu sebetulnya diberi suatu kewenangan bebas, yang mana harus tetap wajib melaksanakan atau menangani suatu peristiwa konkret tersebut untuk bisa ditangani, yaitu dengan cara menggunakan diskresi,” ujarnya.
Baca juga: Politisasi agama bisa picu radikalisme dan terorisme
Namun demikian, terkait sebaran radikalisme di lingkungan kampus, dirinya setuju jika memang harus ada lembaga internal yang menengarai merebaknya paham-paham radikalisme intoleran dan terorisme di lingkungan kampus. Hal ini guna menjadikan perguruan tinggi sebagai rumah yang nyaman untuk mengembangkan sikap moderat dan toleran.
Ia juga menilai kampus sudah sewajarnya mampu memetakan kelompok mahasiswa yang rentan maupun sudah terpapar paham-paham radikal, intoleran, dan terorisme serta bagaimana paham tersebut bisa masuk ke lingkungan kampus.
“Pihak kampus harus mengetahui mahasiswa tersebut bisa terpapar melalui kelompok-kelompok, seperti apa yang kemudian seharusnya bisa diwaspadai. Seharusnya kampus bisa memetakan hal tersebut,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, terkait dengan menjaga kepercayaan masyarakat khususnya para orang tua untuk menyekolahkan putra-putri mereka di lembaga pendidikan atau institusi yang terbaik. “Hal tersebut tentunya perlu dilakukan agar para orang tua atau publik nantinya percaya dan tidak ragu bahwa perguruan tinggi atau kampus itu benar benar sebuah lembaga pendidikan yang aman dan nyaman untuk mengembangkan sikap mahasiswa yang memiliki pandangan wawasan moderat dan toleran,” jelas Weda.
Ia juga menilai perlu adanya kedekatan pihak kampus kepada unit kegiatan mahasiswa yang ada di dalam lingkungan kampus untuk bisa mendeteksi potensi mahasiswa terpapar paham-paham yang menyimpang tersebut.
Selain itu, ia berharap kampus dapat meningkatkan kesadaran untuk mewaspadai lingkungannya digunakan sebagai sarana menyebarkan paham radikal dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila.
“Tentunya yang perlu ditingkatkan kemudian adalah bagaimana cara jajaran pimpinan kampus itu mewaspadai jangan sampai kampus itu dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkembang biaknya paham radikal, terorisme, dan intoleransi,” kata Weda.