Denpasar (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar memvonis Bupati Tabanan periode 2016–2021 Eka Wiryastuti hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp50 juta atau kurungan 1 bulan karena dia terbukti bersalah menyuap dua eks pejabat Kementerian Keuangan.
Uang suap itu diberikan oleh Eka melalui perantara-nya, yaitu mantan staf khususnya I Dewa Nyoman Wiratmaja, terhadap Yaya Purnomo dan Rifa Surya dengan harapan agar keduanya dapat membantu mengurus penambahan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018.
Majelis hakim, yang dipimpin oleh I Nyoman Wiguna, pada sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Bali, Selasa, menetapkan Eka Wiryastuti terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Walaupun demikian, hukuman yang diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Jaksa KPK pada persidangan sebelumnya menuntut majelis hakim agar menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp110 juta atau ganti kurungan 3 bulan. Penuntut umum juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Eka selama 5 tahun sejak dia selesai menjalani hukumannya di bui.
Namun, majelis hakim memutuskan menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, karena beberapa pertimbangan, salah satunya suap itu diberikan bukan untuk kepentingan pribadi Eka. "Tujuan pengurusan DID adalah untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tabanan pada umumnya, dan secara khusus untuk melancarkan kinerja anggaran dalam pemerintahan terdakwa," kata majelis hakim saat membacakan putusan.
Baca juga: Kejati NTB memeriksa petani penerima dana KUR di Lombok Timur
Baca juga: Komisi III DPR dukung Kejaksaan usut kasus korupsi sektor BUMN
Menurut majelis hakim, perbuatan Eka itu tidak terlepas dari adanya dua eks pejabat Kemenkeu, yaitu Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang menjanjikan seolah-olah keduanya dapat mengatur penambahan alokasi DID Kabupaten Tabanan.
Total nilai suap yang diserahkan Dewa kepada Yaya dan Rifa atas perintah Eka Wiryastuti saat itu sebanyak Rp600 juta dan 55.300 dolar AS atau senilai Rp1,4 miliar. Yaya Purnomo saat kasus pengurusan DID Tabanan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kemenkeu, sementara Rifa Surya saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II Kemenkeu.
Sementara itu, terkait pencabutan hak politik, majelis hakim menolak permintaan jaksa KPK. "Dalam surat dakwaan, JPU (jaksa penuntut umum) tidak sedari awal memasukkan Pasal 18 ayat (1) huruf D UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pidana tambahan," tutur majelis hakim. Dengan demikian, Eka Wiryastuti masih berhak mencalonkan dirinya untuk dipilih sebagai pejabat publik, misalnya, dalam pemilihan kepala daerah.
Uang suap itu diberikan oleh Eka melalui perantara-nya, yaitu mantan staf khususnya I Dewa Nyoman Wiratmaja, terhadap Yaya Purnomo dan Rifa Surya dengan harapan agar keduanya dapat membantu mengurus penambahan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018.
Majelis hakim, yang dipimpin oleh I Nyoman Wiguna, pada sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Bali, Selasa, menetapkan Eka Wiryastuti terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Walaupun demikian, hukuman yang diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Jaksa KPK pada persidangan sebelumnya menuntut majelis hakim agar menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp110 juta atau ganti kurungan 3 bulan. Penuntut umum juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Eka selama 5 tahun sejak dia selesai menjalani hukumannya di bui.
Namun, majelis hakim memutuskan menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, karena beberapa pertimbangan, salah satunya suap itu diberikan bukan untuk kepentingan pribadi Eka. "Tujuan pengurusan DID adalah untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tabanan pada umumnya, dan secara khusus untuk melancarkan kinerja anggaran dalam pemerintahan terdakwa," kata majelis hakim saat membacakan putusan.
Baca juga: Kejati NTB memeriksa petani penerima dana KUR di Lombok Timur
Baca juga: Komisi III DPR dukung Kejaksaan usut kasus korupsi sektor BUMN
Menurut majelis hakim, perbuatan Eka itu tidak terlepas dari adanya dua eks pejabat Kemenkeu, yaitu Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang menjanjikan seolah-olah keduanya dapat mengatur penambahan alokasi DID Kabupaten Tabanan.
Total nilai suap yang diserahkan Dewa kepada Yaya dan Rifa atas perintah Eka Wiryastuti saat itu sebanyak Rp600 juta dan 55.300 dolar AS atau senilai Rp1,4 miliar. Yaya Purnomo saat kasus pengurusan DID Tabanan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kemenkeu, sementara Rifa Surya saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II Kemenkeu.
Sementara itu, terkait pencabutan hak politik, majelis hakim menolak permintaan jaksa KPK. "Dalam surat dakwaan, JPU (jaksa penuntut umum) tidak sedari awal memasukkan Pasal 18 ayat (1) huruf D UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pidana tambahan," tutur majelis hakim. Dengan demikian, Eka Wiryastuti masih berhak mencalonkan dirinya untuk dipilih sebagai pejabat publik, misalnya, dalam pemilihan kepala daerah.