Banda Aceh,(Antara Mataram) - Komisi I DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah melakukan studi banding bidang pemerintahan di Provinsi Aceh.

Studi banding itu diawali dengan pertemuan koordinasi dengan anggota DPR Aceh (DPRA) di gedung wakil rakyat Provinsi NAD, di Banda Aceh, Senin.

Pertemuan koordinasi itu dipimpin Wakil Ketua Komisi A (bidang pemerintahan) DPRA Nur Zahri, yang didampingi sembilan anggota DPRA dari berbagai komisi, dan pejabat dari Satuan Kerja Pemerintahan Aceh (SKPA).

Sementara Ketua Komisi 1 DPRD NTB H Ali Ahmad, didampingi Wakil Ketua H Rumaksi, dan Sekretaris Ruslan Turmudji, dan delapan anggota Komisi 1 DPRD NTB lainnya.

Mewakili Komisi 1 DPRD NTB Ruslan Turmudji dalam pertemuan koordinasi tersebut mengatakan, pada studi banding itu terdapat sedikitnya tiga hal pokok yang dikoordinasikan, dan semuanya berkaitan dengan bidang pemerintahan.

Ketiga hal pokok itu yakni kisruhnya persoalan tenaga honorer kategori dua (K2), batas wilayah antarkabupaten/kota, dan persoalan tanah terlantar.

"Kami juga butuh informasi soal pengelolaan anggaran di Pemerintahan Aceh. Kami pun ingin menjadikan NTB sebagai negeri serambi Madinah, agar kelak bisa kerja sama dengan Aceh yang dikenal dengan sebutan negeri Serambi Madinah, untuk pengembangan pariwisata bernuansa keagamaan," ujarnya.

Sebagai pembanding, Pemprov NTB dalam pengelolaan anggaran di 2013 mencapai Rp2,4 triliun lebih. Sedangkan Pemerintah NAD mengelola anggaran 2013 yang mencapai belasan triliun rupiah.

Wakil Ketua Komisi A DPRA Nur Zahri mengatakan, pemerintahan Aceh sejak 2005 mengacu kepada Undang Undang Otonomi Khusus sehingga dapat mengelola anggaran yg cukup banyak.

"Anggaran pendapatan Pemerintah Aceh tahun ini mencapai Rp11,2 triliun, dan anggaran belanja mencapai Rp11,7 triliun. Sebagian besar anggaran disebut sebagai kompensasi perang," ujarnya.

Nur menyebut anggaran pendapatan Pemerintah Aceh yang mencapai Rp11,2 triliun itu diantaranya dana otonomi khusus sebesar Rp612 miliar.

Selain itu, bersumber dari dana bagi hasil migas yang sebesar 70 persen merupakan hak Pemerintah Aceh dan 30 persen hak pusat.

Mengenai kisruh honorer, Nur mengakui hal serupa juga terjadi di Aceh, sebagaimana terjadi di daerah lainnya seperti di NTB.

Bahkan, di Aceh sempat terjadi insiden pembunuhan yang dilakukan seorang tenaga honorer kepada pegawai yang mengurus nasib tenaga honorer di Pemerintahan Aceh.

"Memang rakyat Aceh masih menggantungkan harapan ke PNS karena belum banyak industri yang dapat menampung tenaga kerja," ujarnya.

Mengenai batas wilayah, di Aceh juga terjadi sengketa batas wilayah, bahkan bukan hanya antarkabupaten/kota seperti di NTB, tetapi juga dengan provinsi tetangga yakni Sumatera Utara.

"Pada intinya cukup banyak masalah pemerintahan di Aceh, tapi juga ada terobosan-terobosan yang dilahirkan orang Aceh untuk daerah lainnya di Indonesia seperti calon independen untuk pilkada," ujarnya.

Nur dan anggota DPR Aceh juga mengungkapkan adanya permasalahan serius soal aset seperti tanah terlantar sehingga Pemerintahan Aceh membentuk dua dinas terkait yakni Dinas Keuangan Aceh (DKA) dan Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA).

Namun kedua SKPA itu baru terbentuk Desember 2012, dan pejabatnya baru terisi Februari 2013.

"Jadi bisa Aceh dan NTB saling belajar guna memajukan daerah kita masing-masing," ujar Nur di akhir pertemuan koordinasi itu.

Pewarta : Anwar Maga
Editor : Zulaeha
Copyright © ANTARA 2025