Taliwang, (Antara)- PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dikabarkan akan merumahkan sejumlah
karyawannya, hingga membuat pihak keluarga pekerja dilanda was-was terkait kelangsungan hidup di masa depan.
Ermi Cahyati, isteri salah seorang karyawan PTNNT ketika dikonfirmasi, Senin, menyatakan
kekhawatiran mendalam terkait kabar tersebut.
"Na sabela pamongka kami (Jangan pecahkan periuk kami)," kata Ermi Cahyati, dengan dialek
Taliwang yang kental.
Dikatakan Ermi, kabar bahwa perusahaan akan merumahkan karyawan, mengakibatkan
keluarganya seperti telur di ujung tanduk.
Dia melanjutkan, setelah tiga bulan terhitung sejak 12 Januari, perusahaan PTNNT dikenakan bea
keluar yang sangat tinggi. Hal ini menjadi impian buruk karena berakibat penghentian produksi pada
Mei, yang bisa berdampak pada perumahan ribuan karyawan.
Ibu dua orang anak ini sejak awal sudah tegas untuk menolak pemberlakukan bea keluar progresif 25
-60 persen mulai 2014 hingga 2016 mendatang, karena akan menyengsarakan keluarga akibat perusahaan
tidak mampu membayar karyawannya.
"Kebijakan pemerintah dengan memberlakukan bea keluar ini tidak mempertimbangkan nasib
karyawan dan keluarganya. Ini ketidakadilan pemerintah, yang mengakibatkan suami kami akan jadi
pengangguran," katanya.
Berdasarkan informasi dari suami, lanjutnya, akan ada sekitar 2/3 karyawan PTNNT yang akan
dirumahkan. "Berarti dua sampai tiga ribuan orang yang akan jadi pengangguran," ucap Ermi.
Menurut dia, kekhawatiran ini sebenarnya bukan hal baru yang dialami oleh para karyawan dan
masyarakat lokal saat ini. Berbulan-bulan sebelumnya mereka merasa resah dengan ketidakpastian, yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang tidak memperhitungkan kondisi di lapangan.
Namun, ucapnya, keresahan ini semakin menjadi-jadi saat melihat kondisi gudang konsentrat PTNNT
yang hampir penuh. Mayoritas karyawan dan masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat meminta agar
pemerintah pusat segera memberi izin ekspor pada PTNNT dan meniadakan bea keluar, sehingga
perusahaan dapat kembali beroperasi dengan normal untuk jangka waktu yang lama.
Permintaan ini disebabkan saat ini kehidupan dan perekonomian karyawan serta warga setempat,
masih sangat tergantung pada operasional tambang PTNNT yang harusnya berakhir pada tahun 2030-an
nanti.
Dengan terhentinya operasi PTNNT dan perusahaan-perusahaan tambang lain di Indonesia yang di
luar rencana tersebut, banyak lapisan masyarakat di lokasi-lokasi pertambangan di seluruh Tanah Air yang
masih belum siap.
"Pemerintah tidak seharusnya membuat kebijakan yang dapat menyengsarakan masyarakat manapun,"
ucap dia.
karyawannya, hingga membuat pihak keluarga pekerja dilanda was-was terkait kelangsungan hidup di masa depan.
Ermi Cahyati, isteri salah seorang karyawan PTNNT ketika dikonfirmasi, Senin, menyatakan
kekhawatiran mendalam terkait kabar tersebut.
"Na sabela pamongka kami (Jangan pecahkan periuk kami)," kata Ermi Cahyati, dengan dialek
Taliwang yang kental.
Dikatakan Ermi, kabar bahwa perusahaan akan merumahkan karyawan, mengakibatkan
keluarganya seperti telur di ujung tanduk.
Dia melanjutkan, setelah tiga bulan terhitung sejak 12 Januari, perusahaan PTNNT dikenakan bea
keluar yang sangat tinggi. Hal ini menjadi impian buruk karena berakibat penghentian produksi pada
Mei, yang bisa berdampak pada perumahan ribuan karyawan.
Ibu dua orang anak ini sejak awal sudah tegas untuk menolak pemberlakukan bea keluar progresif 25
-60 persen mulai 2014 hingga 2016 mendatang, karena akan menyengsarakan keluarga akibat perusahaan
tidak mampu membayar karyawannya.
"Kebijakan pemerintah dengan memberlakukan bea keluar ini tidak mempertimbangkan nasib
karyawan dan keluarganya. Ini ketidakadilan pemerintah, yang mengakibatkan suami kami akan jadi
pengangguran," katanya.
Berdasarkan informasi dari suami, lanjutnya, akan ada sekitar 2/3 karyawan PTNNT yang akan
dirumahkan. "Berarti dua sampai tiga ribuan orang yang akan jadi pengangguran," ucap Ermi.
Menurut dia, kekhawatiran ini sebenarnya bukan hal baru yang dialami oleh para karyawan dan
masyarakat lokal saat ini. Berbulan-bulan sebelumnya mereka merasa resah dengan ketidakpastian, yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang tidak memperhitungkan kondisi di lapangan.
Namun, ucapnya, keresahan ini semakin menjadi-jadi saat melihat kondisi gudang konsentrat PTNNT
yang hampir penuh. Mayoritas karyawan dan masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat meminta agar
pemerintah pusat segera memberi izin ekspor pada PTNNT dan meniadakan bea keluar, sehingga
perusahaan dapat kembali beroperasi dengan normal untuk jangka waktu yang lama.
Permintaan ini disebabkan saat ini kehidupan dan perekonomian karyawan serta warga setempat,
masih sangat tergantung pada operasional tambang PTNNT yang harusnya berakhir pada tahun 2030-an
nanti.
Dengan terhentinya operasi PTNNT dan perusahaan-perusahaan tambang lain di Indonesia yang di
luar rencana tersebut, banyak lapisan masyarakat di lokasi-lokasi pertambangan di seluruh Tanah Air yang
masih belum siap.
"Pemerintah tidak seharusnya membuat kebijakan yang dapat menyengsarakan masyarakat manapun,"
ucap dia.