Mataram (ANTARA) - Pengaruh anomali iklim La Nina yang menghangatkan suhu permukaan laut membuat kehadiran musim kemarau terasa singkat. Awan-awan besar yang sebelumnya menghilang selama hampir empat bulan, kini mulai bermunculan memayungi daratan dari sengat Matahari.
Dua jendela kaca besar toko bertuliskan "Yant Sorghum & Chila Mart" menghadap ke jalan raya kota tua Ampenan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang ramai dilalui kendaraan setiap 60 detik.
Sekilas bangunan itu mirip toko kelontong pada umumnya, namun yang membedakan ada satu bagian khusus yang menjadi ruang pamer aneka produk olahan sorgum.
Ratusan selongsong kemasan tabung kertas tersusun rapi di dalam dua lemari kaca dan juga di atas meja kecil berwarna putih. Tidak jauh dari situ, ada setumpuk kardus yang berisikan camilan berbahan baku sorgum.
Toko itu dikelola oleh Nur Rahmi Yanti yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pengembangan sorgum bersama para petani lokal agar sorgum menjadi sumber pangan berkelanjutan.
Pengendara sepeda motor melintas di depan toko produk olahan sorgum di kawasan kota tua Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (20/10/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama)
Di Nusa Tenggara Barat, sewindu lalu, sorgum tidak lebih hanya sekadar tanaman untuk pakan ternak. Meski ada beberapa petani yang mengonsumsi secara pribadi, namun itu tidak banyak.
Sorgum adalah tanaman serelia urutan kelima, setelah gandum, jagung, padi, dan jelai. Tanaman bernama latin Sorghum bicolor (L.) Moench itu berasal dari daratan Afrika bagian timur dan diduga masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan India-China.
Beberapa informasi menyebutkan bahwa Belanda membawa sorgum ke Indonesia sekitar tahun 1925 dan mulai berkembang pada 1940-an. Namun, hingga kini asal-usul sorgum di Indonesia masih belum jelas.
Pada abad ke-21, sorgum dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber pangan alternatif pengganti beras. Pemerintah menggadang-gadang sorgum sebagai tanaman multifungsi untuk ketahanan pangan dan ketahanan energi nasional.
Pemberdayaan petani
Bagi Yanti, melihat wajah para petani lokal di Pulau Lombok yang begitu polos memanfaatkan sorgum hanya untuk pakan ternak adalah momen paling memilukan. Padahal sorgum bisa menjadi sumber pangan substitusi beras dengan kandungan nutrisi yang melimpah, di antaranya tinggi serat, kalsium, protein, dan bebas gluten.
Berangkat dari keprihatinan melihat sorgum hanya menjadi pakan ternak, akhirnya dia memutuskan untuk terjun langsung dalam pengembangan produk olahan sorgum di Nusa Tenggara Barat.
"Dari keterpurukan petani itulah yang membuat saya berinisiatif untuk bisa membantu (mengembangkan olahan sorgum)," ujarnya, ketika berbincang dengan ANTARA.
Pada 2017, Yanti dengan inovasi olahan sorgumnya berupa beras, gula, dan kukis, lantas mengikuti kompetisi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award. Kompetisi itu adalah bentuk apresiasi perusahaan tersebut terhadap generasi muda di seluruh Indonesia yang berkontribusi terhadap terciptanya kehidupan berkelanjutan.
Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Mataram itu menjadi pemenang tingkat provinsi dalam kompetisi tersebut. Dari sanalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) olahan sorgumnya berkembang, dari hanya dua desa binaan, lalu bertambah menjadi lima desa, dan pada Tahun 2024 ini telah menjadi 23 desa.
Produk olahan yang sebelumnya hanya tiga jenis, berupa beras, gula, dan makanan manis, kini telah menjadi 25 jenis produk berbahan baku sorgum, seperti minuman, kue kering gulung, tempe, susu sorgum, hingga gelas sorgum yang bisa dikonsumsi.
Setiap orang yang ingin maju dan berkembang harus merasakan bagaimana rasa sakit saat terjatuh. Keinginan terbesar membantu petani sorgum lokal agar sejahtera menguatkan mental Yanti dalam menghadapi berbagai tantangan.
Gempa berkekuatan 6,4 magnitudo yang mengguncang Pulau Lombok pada Juli 2018, disusul pandemi COVID-19 setahun kemudian, yang membuat seluruh orang harus berdiam di rumah selama beberapa waktu, menjadi hambatan terbesar dalam menjalankan bisnis UMKM.
Ingatan tentang wajah para petani di desa-desa yang menggantungkan hidup dari menanam sorgum seolah meluluhkan beban yang memberatkan pundak Yanti untuk segera bangkit dari keterpurukan. Melalui sistem korporasi, para petani sorgum dibekali ilmu, benih, sarana produksi pertanian, hingga biaya tenaga kerja.
Jumlah mitra petani yang awalnya hanya 10 orang, dengan luas lahan hanya 10 are atau sekitar 1.000 meter persegi, kini telah bertambah menjadi 1.000 petani, dengan total lahan mencapai 100 hektare hanya dalam waktu tujuh tahun.
Usaha pengolahan sorgum yang timbul dari rasa keprihatinan dan kepedulian, akhirnya tumbuh dan berkelanjutan. Petani yang dulu hanya memanfaatkan sorgum untuk pakan ternak, kini bisa memetik keuntungan hingga Rp30 juta untuk setiap satu hektare lahan budi daya sorgum.
UMKM yang dikelola oleh Yanti selama tujuh tahun menjual aneka produk olahan sorgum ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Bali, Surabaya, Jakarta, hingga Pekanbaru. Bahkan, produknya juga telah menembus pasar ekspor ke Singapura, Malaysia, Timur Leste, China, hingga Uni Emirat Arab. Bahan baku sorgum disuplai dari para petani lokal.
Popularisasi sorgum
Tren global tentang makanan sehat semakin menjamur, pascapandemi COVID-19. Berbagai penelitian tentang kesehatan dan nutrisi preventif berdampak terhadap perilaku konsumen dan tren pola makan sehat.
Dalam peta jalan sorgum 2020-2024, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian, menjadikan sasaran utama sorgum sebagai makanan, pakan ternak, dan bioetanol. Biji sorgum menjadi sumber makanan, daun sorgum untuk pewarna organik, batang sorgum untuk pakan ternak dan energi, serta akar sorgum untuk bahan baku obat.
Akademisi perhotelan dari Politeknik Negeri Bali Yuni Sulpia melangkahkan kaki perlahan di tengah ladang yang ditumbuhi gulma di Desa Bonjeruk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Sebanyak lima batang sorgum sisa panen tumbuh setinggi dua meter. Pucuk tanaman serelia--yang dapat dipanen tiga kali dari batang yang sama, tanpa perlu dicabut--, tampak melengkung menahan berat malai yang dipenuhi biji-biji sorgum berwarna merah.
Perempuan berusia 36 tahun itu mengungkapkan bahwa sorgum kini mulai populer dan menjadi menu andalan sejumlah restoran dan hotel yang ada di Pulau Lombok maupun Bali.
Secara gizi, sorgum bagus untuk kesehatan. Apalagi sekarang banyak isu stunting. Sorgum juga menambah variasi untuk panganan lokal.
Nasi sorgum memiliki tekstur seperti jagung, namun rasanya hambar, seperti beras merah. Kandungan serat yang tinggi membuat proses menanak nasi sorgum membutuhkan air tiga kali lebih banyak ketimbang menanak nasi dari padi.
Sementara olahan makanan berbahan sorgum berupa kue manis punya rasa dan tekstur mirip dengan olahan kue dari terigu. Itu mengapa sorgum banyak dibuat menjadi panganan sehat. Konflik geopolitik Ukraina-Rusia yang mempengaruhi impor gandum dapat disiasati dengan optimalisasi pembudidayaan sorgum skala besar di dalam negeri.
Jumlah produksi yang masih terbatas membuat harga sorgum, saat ini jauh lebih mahal ketimbang beras dari padi. Harga beras dari sorgum sekitar Rp30 ribu per kilogram, sedangkan harga beras dari padi kisaran Rp18 ribu per kilogram.
Sorgum merupakan tanaman pangan berkelanjutan yang bisa tumbuh di lahan kering, rendah perawatan, dan adaptif terhadap anomali iklim. Walaupun ada tantangan dari sisi harga, namun pola makan sehat yang masih menjadi prioritas banyak konsumen membuat permintaan terhadap sorgum selalu ada. Hal yang dilakukan Yanti menunjukkan bahwa budi daya sorgum sangat menjanjikan, tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan juga energi yang berkelanjutan.
Dua jendela kaca besar toko bertuliskan "Yant Sorghum & Chila Mart" menghadap ke jalan raya kota tua Ampenan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang ramai dilalui kendaraan setiap 60 detik.
Sekilas bangunan itu mirip toko kelontong pada umumnya, namun yang membedakan ada satu bagian khusus yang menjadi ruang pamer aneka produk olahan sorgum.
Ratusan selongsong kemasan tabung kertas tersusun rapi di dalam dua lemari kaca dan juga di atas meja kecil berwarna putih. Tidak jauh dari situ, ada setumpuk kardus yang berisikan camilan berbahan baku sorgum.
Toko itu dikelola oleh Nur Rahmi Yanti yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pengembangan sorgum bersama para petani lokal agar sorgum menjadi sumber pangan berkelanjutan.
Di Nusa Tenggara Barat, sewindu lalu, sorgum tidak lebih hanya sekadar tanaman untuk pakan ternak. Meski ada beberapa petani yang mengonsumsi secara pribadi, namun itu tidak banyak.
Sorgum adalah tanaman serelia urutan kelima, setelah gandum, jagung, padi, dan jelai. Tanaman bernama latin Sorghum bicolor (L.) Moench itu berasal dari daratan Afrika bagian timur dan diduga masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan India-China.
Beberapa informasi menyebutkan bahwa Belanda membawa sorgum ke Indonesia sekitar tahun 1925 dan mulai berkembang pada 1940-an. Namun, hingga kini asal-usul sorgum di Indonesia masih belum jelas.
Pada abad ke-21, sorgum dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber pangan alternatif pengganti beras. Pemerintah menggadang-gadang sorgum sebagai tanaman multifungsi untuk ketahanan pangan dan ketahanan energi nasional.
Pemberdayaan petani
Bagi Yanti, melihat wajah para petani lokal di Pulau Lombok yang begitu polos memanfaatkan sorgum hanya untuk pakan ternak adalah momen paling memilukan. Padahal sorgum bisa menjadi sumber pangan substitusi beras dengan kandungan nutrisi yang melimpah, di antaranya tinggi serat, kalsium, protein, dan bebas gluten.
Berangkat dari keprihatinan melihat sorgum hanya menjadi pakan ternak, akhirnya dia memutuskan untuk terjun langsung dalam pengembangan produk olahan sorgum di Nusa Tenggara Barat.
"Dari keterpurukan petani itulah yang membuat saya berinisiatif untuk bisa membantu (mengembangkan olahan sorgum)," ujarnya, ketika berbincang dengan ANTARA.
Pada 2017, Yanti dengan inovasi olahan sorgumnya berupa beras, gula, dan kukis, lantas mengikuti kompetisi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award. Kompetisi itu adalah bentuk apresiasi perusahaan tersebut terhadap generasi muda di seluruh Indonesia yang berkontribusi terhadap terciptanya kehidupan berkelanjutan.
Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Mataram itu menjadi pemenang tingkat provinsi dalam kompetisi tersebut. Dari sanalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) olahan sorgumnya berkembang, dari hanya dua desa binaan, lalu bertambah menjadi lima desa, dan pada Tahun 2024 ini telah menjadi 23 desa.
Produk olahan yang sebelumnya hanya tiga jenis, berupa beras, gula, dan makanan manis, kini telah menjadi 25 jenis produk berbahan baku sorgum, seperti minuman, kue kering gulung, tempe, susu sorgum, hingga gelas sorgum yang bisa dikonsumsi.
Setiap orang yang ingin maju dan berkembang harus merasakan bagaimana rasa sakit saat terjatuh. Keinginan terbesar membantu petani sorgum lokal agar sejahtera menguatkan mental Yanti dalam menghadapi berbagai tantangan.
Gempa berkekuatan 6,4 magnitudo yang mengguncang Pulau Lombok pada Juli 2018, disusul pandemi COVID-19 setahun kemudian, yang membuat seluruh orang harus berdiam di rumah selama beberapa waktu, menjadi hambatan terbesar dalam menjalankan bisnis UMKM.
Ingatan tentang wajah para petani di desa-desa yang menggantungkan hidup dari menanam sorgum seolah meluluhkan beban yang memberatkan pundak Yanti untuk segera bangkit dari keterpurukan. Melalui sistem korporasi, para petani sorgum dibekali ilmu, benih, sarana produksi pertanian, hingga biaya tenaga kerja.
Jumlah mitra petani yang awalnya hanya 10 orang, dengan luas lahan hanya 10 are atau sekitar 1.000 meter persegi, kini telah bertambah menjadi 1.000 petani, dengan total lahan mencapai 100 hektare hanya dalam waktu tujuh tahun.
Usaha pengolahan sorgum yang timbul dari rasa keprihatinan dan kepedulian, akhirnya tumbuh dan berkelanjutan. Petani yang dulu hanya memanfaatkan sorgum untuk pakan ternak, kini bisa memetik keuntungan hingga Rp30 juta untuk setiap satu hektare lahan budi daya sorgum.
UMKM yang dikelola oleh Yanti selama tujuh tahun menjual aneka produk olahan sorgum ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Bali, Surabaya, Jakarta, hingga Pekanbaru. Bahkan, produknya juga telah menembus pasar ekspor ke Singapura, Malaysia, Timur Leste, China, hingga Uni Emirat Arab. Bahan baku sorgum disuplai dari para petani lokal.
Popularisasi sorgum
Tren global tentang makanan sehat semakin menjamur, pascapandemi COVID-19. Berbagai penelitian tentang kesehatan dan nutrisi preventif berdampak terhadap perilaku konsumen dan tren pola makan sehat.
Dalam peta jalan sorgum 2020-2024, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian, menjadikan sasaran utama sorgum sebagai makanan, pakan ternak, dan bioetanol. Biji sorgum menjadi sumber makanan, daun sorgum untuk pewarna organik, batang sorgum untuk pakan ternak dan energi, serta akar sorgum untuk bahan baku obat.
Akademisi perhotelan dari Politeknik Negeri Bali Yuni Sulpia melangkahkan kaki perlahan di tengah ladang yang ditumbuhi gulma di Desa Bonjeruk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Sebanyak lima batang sorgum sisa panen tumbuh setinggi dua meter. Pucuk tanaman serelia--yang dapat dipanen tiga kali dari batang yang sama, tanpa perlu dicabut--, tampak melengkung menahan berat malai yang dipenuhi biji-biji sorgum berwarna merah.
Perempuan berusia 36 tahun itu mengungkapkan bahwa sorgum kini mulai populer dan menjadi menu andalan sejumlah restoran dan hotel yang ada di Pulau Lombok maupun Bali.
Secara gizi, sorgum bagus untuk kesehatan. Apalagi sekarang banyak isu stunting. Sorgum juga menambah variasi untuk panganan lokal.
Nasi sorgum memiliki tekstur seperti jagung, namun rasanya hambar, seperti beras merah. Kandungan serat yang tinggi membuat proses menanak nasi sorgum membutuhkan air tiga kali lebih banyak ketimbang menanak nasi dari padi.
Sementara olahan makanan berbahan sorgum berupa kue manis punya rasa dan tekstur mirip dengan olahan kue dari terigu. Itu mengapa sorgum banyak dibuat menjadi panganan sehat. Konflik geopolitik Ukraina-Rusia yang mempengaruhi impor gandum dapat disiasati dengan optimalisasi pembudidayaan sorgum skala besar di dalam negeri.
Jumlah produksi yang masih terbatas membuat harga sorgum, saat ini jauh lebih mahal ketimbang beras dari padi. Harga beras dari sorgum sekitar Rp30 ribu per kilogram, sedangkan harga beras dari padi kisaran Rp18 ribu per kilogram.
Sorgum merupakan tanaman pangan berkelanjutan yang bisa tumbuh di lahan kering, rendah perawatan, dan adaptif terhadap anomali iklim. Walaupun ada tantangan dari sisi harga, namun pola makan sehat yang masih menjadi prioritas banyak konsumen membuat permintaan terhadap sorgum selalu ada. Hal yang dilakukan Yanti menunjukkan bahwa budi daya sorgum sangat menjanjikan, tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan juga energi yang berkelanjutan.