Mataram (Antaranews NTB) - Ancaman longsor di depan mata. Tapi tidak menghentikan Nur Saad cs untuk terus melangkahkan kakinya, menapaki jalan setapak ke sumber mata air. Sembari sesekali mencari kerusakan pipa air yang tertimpa batuan longsoran tebing.
Pipa air itu tidak hanya di jalur jalan setapak saja, namun di beberapa titik di tebing hingga mereka harus super ekstra hati-hati kalau tidak ingin terkena bebatuan dari tanah longsor di atas kepalanya itu. Terlebih lagi saat ini, curah hujan yang meningkat di daerah tersebut.
Kegiatan pengecekan saluran air itu, menjadi kegiatan yang terbilang rutin setiap harinya bagi masyarakat Dusun Senaru, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat pascagempa tektonik beberapa bulan lalu.
Desa yang menjadi pintu gerbang pendakian ke Gunung Rinjani itu, saat ini benar-benar mengandalkan hidupnya dari sumber mata air Loko Prabu. Jarak Lokok Prabu ke Dusun Senaru sekitar 3 kilometer.
Semula pembuatan pipa air itu, merupakan inisiasi warga diantaranya bersama Yayasan Palawa Indonesia dan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat pascagempa bumi. Termasuk perusahaan Rucika dan Aires. Setelah terpasang pipa itu, tentunya diperlukan perawatan hingga muncul warga yang bertugas mengawasi pipa tatkala ada permasalahan terganggunya saluran air tersebut.
“Kegiatan kami ini bersama masyarakat dan teknisi lokal pengurus pipa air bersih, rutin setiap tiga kali dalam seminggu naik ke sumber mata air Loko Prabu,” kata aktivis warga Dusun Senaru, Nur Saad.
Perjalanan perbaikan pipa air
Disebutkan, penyebab pipa putus itu bisa berasal dari gerusan tanah akibat banjir dari atas tebing atau adanya longsoran tanah. Maklum, kondisi demikian akibat tanah di daerah itu masih labil pascagempa beberapa waktu lalu.
Terlebih lagi jalan setapak yang harus dilalui itu, di kanannya terdapat tebing yang material di atasnya tetap berjatuhan setiap menitnya. “Inilah tantangan terberat kami, memelihara air agar tetap bisa mengalir ke rumah penduduk,” katanya.
Karena itu, kata dia, tatkala hujan turun setiap hari, para warga tidak berani pergi untuk menyambung pipa yang putus.
Nur Saat membagi tim teknisi yang berasal dari warga setempat dengan tiga kelompok, yang masing-masing kelompoknya terdiri dari empat orang.
Perhitungannya jika hanya terlepas pada sambungan pipa air itu, maka dirinya akan mengutus satu tim saja. Sebaliknya kalau kerusakan parah, maka akan dikerahkan masyarakat dengan jumlah yang banyak. “Seperti medannya berat dan tidak bisa mengandalkan empat warga saja atau satu tim,” katanya.
Warga Dusun Senaru, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, harus jatuh bangun tiga kali dalam seminggu memperbaiki pipa air dari mata air Lokok Prabu yang berjarak 3 kilometer dari dusun terakhir. Lokasi mata air itu berada di kaki Gunung Rinjani dan pengecekan pipa air dilakukan pasca gempa tektonik beberapa bulan lalu.
Swadaya warga
Menariknya tim yang bekerja itu, mendapatkan upah juga. Tapi jangan salah, upah itu berasal dari swadaya masyarakat sendiri dengan mengumpulkan uang untuk pemeliharaan saluran air.
Setiap kepala keluarga yang menggunakan air dari Lokok Prabu itu dipungut biaya Rp10 ribu/bulan. Namun jika keuangannya tidak mencukupi, mereka dibayar dengan beras yang juga sumbangan dari warga. “Itulah upaya saya, supaya pipa air itu tetap terpelihara,” katanya.
“Setiap orangnya mendapatkan uang Rp100 ribu jika bekerja memperbaiki saluran air selama satu hari penuh. Sebaliknya jika setengah hari bekerja, mereka dibayar Rp50 ribu,” katanya.
Kini, sebanyak empat dusun yang baru teraliri air yang berasal dari sumber mata air Lokok Prabu tersebut. Diantaranya Dusun Senaru,” katanya.
Kreatifitas warga Desa Senaru itu, patut diacungi jempol. Mereka tidak patah semangat pascagempa dalam mendapatkan air. Mereka tidak mau dikatakan sebagai orang pengeluh dan selalu berupaya mencari solusi.
Meski dapat dikatakan pascagempa beberapa waktu lalu itu, telah menciptakan banyak pengangguran di daerah itu mengingat mayoritas warga yang tinggal di daerah tersebut berprofesi sebagai porter dan guide pendakian ke Gunung Rinjani. Bahkan tidak sedikit pula yang membuka usaha jasa penginapan.
Pendakian Gunung Rinjani yang menggunakan jalur Senaru, sampai sekarang masih ditutup oleh pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani mengingat kondisi tanahnya yang labil serta rawan terjadinya longsor, terlebih lagi saat ini curah hujan cukup tinggi di Pulau Lombok.
Pipa air itu tidak hanya di jalur jalan setapak saja, namun di beberapa titik di tebing hingga mereka harus super ekstra hati-hati kalau tidak ingin terkena bebatuan dari tanah longsor di atas kepalanya itu. Terlebih lagi saat ini, curah hujan yang meningkat di daerah tersebut.
Kegiatan pengecekan saluran air itu, menjadi kegiatan yang terbilang rutin setiap harinya bagi masyarakat Dusun Senaru, Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat pascagempa tektonik beberapa bulan lalu.
Desa yang menjadi pintu gerbang pendakian ke Gunung Rinjani itu, saat ini benar-benar mengandalkan hidupnya dari sumber mata air Loko Prabu. Jarak Lokok Prabu ke Dusun Senaru sekitar 3 kilometer.
Semula pembuatan pipa air itu, merupakan inisiasi warga diantaranya bersama Yayasan Palawa Indonesia dan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat pascagempa bumi. Termasuk perusahaan Rucika dan Aires. Setelah terpasang pipa itu, tentunya diperlukan perawatan hingga muncul warga yang bertugas mengawasi pipa tatkala ada permasalahan terganggunya saluran air tersebut.
“Kegiatan kami ini bersama masyarakat dan teknisi lokal pengurus pipa air bersih, rutin setiap tiga kali dalam seminggu naik ke sumber mata air Loko Prabu,” kata aktivis warga Dusun Senaru, Nur Saad.
Disebutkan, penyebab pipa putus itu bisa berasal dari gerusan tanah akibat banjir dari atas tebing atau adanya longsoran tanah. Maklum, kondisi demikian akibat tanah di daerah itu masih labil pascagempa beberapa waktu lalu.
Terlebih lagi jalan setapak yang harus dilalui itu, di kanannya terdapat tebing yang material di atasnya tetap berjatuhan setiap menitnya. “Inilah tantangan terberat kami, memelihara air agar tetap bisa mengalir ke rumah penduduk,” katanya.
Karena itu, kata dia, tatkala hujan turun setiap hari, para warga tidak berani pergi untuk menyambung pipa yang putus.
Nur Saat membagi tim teknisi yang berasal dari warga setempat dengan tiga kelompok, yang masing-masing kelompoknya terdiri dari empat orang.
Perhitungannya jika hanya terlepas pada sambungan pipa air itu, maka dirinya akan mengutus satu tim saja. Sebaliknya kalau kerusakan parah, maka akan dikerahkan masyarakat dengan jumlah yang banyak. “Seperti medannya berat dan tidak bisa mengandalkan empat warga saja atau satu tim,” katanya.
Swadaya warga
Menariknya tim yang bekerja itu, mendapatkan upah juga. Tapi jangan salah, upah itu berasal dari swadaya masyarakat sendiri dengan mengumpulkan uang untuk pemeliharaan saluran air.
Setiap kepala keluarga yang menggunakan air dari Lokok Prabu itu dipungut biaya Rp10 ribu/bulan. Namun jika keuangannya tidak mencukupi, mereka dibayar dengan beras yang juga sumbangan dari warga. “Itulah upaya saya, supaya pipa air itu tetap terpelihara,” katanya.
“Setiap orangnya mendapatkan uang Rp100 ribu jika bekerja memperbaiki saluran air selama satu hari penuh. Sebaliknya jika setengah hari bekerja, mereka dibayar Rp50 ribu,” katanya.
Kini, sebanyak empat dusun yang baru teraliri air yang berasal dari sumber mata air Lokok Prabu tersebut. Diantaranya Dusun Senaru,” katanya.
Kreatifitas warga Desa Senaru itu, patut diacungi jempol. Mereka tidak patah semangat pascagempa dalam mendapatkan air. Mereka tidak mau dikatakan sebagai orang pengeluh dan selalu berupaya mencari solusi.
Meski dapat dikatakan pascagempa beberapa waktu lalu itu, telah menciptakan banyak pengangguran di daerah itu mengingat mayoritas warga yang tinggal di daerah tersebut berprofesi sebagai porter dan guide pendakian ke Gunung Rinjani. Bahkan tidak sedikit pula yang membuka usaha jasa penginapan.
Pendakian Gunung Rinjani yang menggunakan jalur Senaru, sampai sekarang masih ditutup oleh pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani mengingat kondisi tanahnya yang labil serta rawan terjadinya longsor, terlebih lagi saat ini curah hujan cukup tinggi di Pulau Lombok.