Mataram (ANTARA) - DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan APBD tahun 2025.
Anggota Banggar DPRD NTB Muhammad Aminurlah mengatakan sesuai Permen Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 77 tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, Ranperda APBD-P 2025 telah disepakati dan disetujui antara pemerintah daerah dengan DPRD NTB.
"Penyusunan ini berlangsung secara maraton, DPRD bersama TAPD mencapai beberapa kesepakatan," ujarnya di rapat paripurna di Kantor Gubernur NTB, Jumat.
Ia mengatakan Ranperda APBD-P 2025, pendapatan ditargetkan Rp6,489 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan Rp159 miliar (2,52 persen) dari pendapatan APBD murni 2025 sebesar Rp6,330 triliun. Untuk PAD Rp2,809 triliun atau naik Rp298 miliar (11,90 persen) dari PAD pada APBD murni 2025 sebesar Rp2,510 triliun.
"Kenaikan ini terjadi pada pos-pos pajak daerah 3,72 persen, retribusi daerah 24,44 persen, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yaitu 2,16 persen dan pada pos lain-lain PAD yang sah 130,97 persen," terangnya.
Baca juga: Belanja daerah membengkak, Empat fraksi DPRD NTB angkat suara
Ia melanjutkan untuk pendapatan transfer Rp3,498 triliun turun Rp111 miliar (3,08 persen) dari pendapatan transfer APBD murni 2025 sebesar Rp3,609 triliun. Sedangkan, untuk pendapatan daerah lain yang sah Rp182 miliar turun Rp28 miliar (13,35 persen) dari lain-lain pendapatan daerah yang sah di APBD murni 2025 sebesar Rp210 miliar.
"Untuk belanja ditargetkan Rp6,496 triliun bertambah Rp264 miliar dari anggaran pada APBD murni 2025 sejumlah Rp6,232 triliun atau naik 4,24 persen," katanya.
Sementara untuk belanja operasional Rp5,049 triliun, belanja modal Rp591 miliar, BTT sebesar Rp16 miliar dan belanja transfer Rp838 miliar, sehingga ada surplus Rp264 miliar. Sedangkan pembiayaan daerah Rp167 miliar naik Rp142 miliar (570,70 persen) dibandingkan penerimaan pembiayaan APBD murni 2025 sebesar Rp25 miliar.
Lebih lanjut, kata Maman sapaan karibnya, pengeluaran pembiayaan daerah Rp160 miliar naik 30,94 persen dari APBD murni 2025 sebesar Rp122 miliar. Pembiayaan netto di APBD-P Rp6,8 miliar berasal dari penerimaan pembiayaan Rp167 miliar.
"Angka ini berasal dari SILPA, dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan berupa pembayaran cicilan pokok utang jatuh tempo Rp152 miliar dan penyertaan modal Rp8 miliar," ujar Maman.
Baca juga: Wagub NTB: APBD Perubahan Jadi Jalan Percepatan Pembangunan Daerah
Meski menyetujui, Banggar memberikan sejumlah catatan. Pada kenaikan PAD mencapai dua digit ditekankan proyeksi pendapatan harus disusun realistis, berbasis potensi riil, dan bukan sekadar optimisme angka. Terlebih kenaikan PAD masih bersifat fluktuatif.
Banggar mencatat dominasi belanja operasi terlalu besar sehingga mempersempit ruang fiskal untuk belanja modal. Masalah belanja pegawai Rp2 triliun lebih dari total belanja APBD dengan ketentuan batas maksimal 30 persen sesuai pasal 146 UU Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Daerah (HKPD).
Pada aspek pembiayaan, Banggar meminta transparansi penuh terkait portofolio utang daerah, termasuk jadwal pembayaran pokok dan bunga. Selain itu juga menekankan perhatian serius terhadap rencana penyertaan modal daerah oleh PT Gerbang NTB Emas (GNE) Rp8 miliar.
"Kami juga memberikan catatan serius terkait penggunaan BTT dalam APBD-P 2025 mencapai Rp500 miliar lebih. Ini harus dipertanggungjawabkan, baik di DPRD maupun masyarakat," ucap Maman.
Baca juga: DPRD-Pemprov NTB sepakat APBD Perubahan 2025 naik Rp6,48 triliun
Pengalokasian APBD-P 2025 harus searah dengan kebijakan fiskal dan berpijak teguh pada tiga prioritas utama, pengentasan kemiskinan ekstrem, penguatan ketahanan pangan, dan efisiensi belanja.
"Banggar juga memberikan perhatian serius terhadap persoalan tenaga honorer dan PPPK, termasuk sekitar 800 pegawai PPPK paruh waktu yang belum terakomodasi dalam formasi pemerintah provinsi," terang Maman.
Selain itu, peningkatan alokasi anggaran RSUD Provinsi NTB harus memiliki korelasi langsung dengan peningkatan kualitas pelayanan. Untuk itu, anggaran tidak boleh berhenti pada aspek administratif, tapi harus menghadirkan pelayanan yang lebih cepat, manusiawi, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Baca juga: DPRD NTB soroti rendahnya realisasi belanja APBD 2025