LAICA MARZUKI: HAKIM PUN SERING KELIRU

id

Makassar (ANTARA) - Hakim sebagai manusia biasa dalam menjatuhkan putusan sering mengalami kekeliruan. Oleh sebab itu, di Mahkamah Konstitusi sering terjadi dissenting opinion (pendapat berbeda) dari salah seorang hakim. "Namun dissenting opinion ini tidak mengikat, meski mencerminkan tuntutan keadilan masyarakat. Putusan tetap dilakukan secara mayoritas hakim," ujar mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Dr Laica Marzuki dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. (12/9). Dissenting opinion sendiri sering terjadi, misalnya di MK. (Dissenting Opinion, umumnya berada dalam hukum peradilan tingkat tinggi merupakan pendapat dari satu atau lebih, dari hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatan ketidaksetujuan terhadap putusan dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan penghakiman di dalam sebuah sidang pengadilan. Pendapat ini akan dicantumkan dalam amar keputusan, akan tetapi dissenting opinion tidak akan menjadikan sebuah preseden yang mengikat atau menjadi bagian dari keputusan penghakiman. Dissenting opinion yang memuat atas ketidaksetujuan pendapat kadang-kadang dapat disebut dapat terdiri atas beberapa bagian pendapat yang dimungkinkan karena adanya sejumlah alasan. Antara lain, interpretasi yang berbeda dari kasus hukum, penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda, atau interpretasi yang berbeda dari fakta-fakta. perbedaan pendapat ini akan ditulis pada saat yang sama seperti pada bagian pendapat dalam keputusan penghakiman, dan sering digunakan untuk perbedaan argumentasi yang digunakan oleh mayoritas hakim dalam melakukan penghakiman, dalam beberapa kasus, sebuah perbedaan pendapat dalam kasus keputusan penghakiman yang umumnya akan dapat digunakan sebagai dasar untuk memacu perubahan terhadap sebuah undang-undang oleh karena banyaknya perbedaan pendapat. Laica Marzuki mengatakan, penegakan hukum harus diemban oleh aparat penegak hukum yang jujur, bijak, dan berani. Moralitas penegakan hukum harus didasari oleh kejujuran, kebijakan, dan keberanian. Penegakan hukum yang diselenggarakan oleh aparat yang korup dan `nyolong` menjadikan upaya penegakan hukum mengalami disfunction. Hukum materil tidak lagi dapat ditegakkan, cenderung menjadi papieren muur (dinding tumpukan kertas). Negara cenderung menjadi normless state (pemerintah tanpa aturan). Negara dibangun atas norma-norma hukum materil yang tidak kunjung ditegakkan atau diterapkan secara tidak benar, kata Laica Marzuki Dalam kuliah umumnya berjudul "Moralitas Penegakan Hukum Berbasis Keadilan dan Bersendi Kearifan Lokal." Menurut Laica Marzuki, upaya pemberantasan korupsi sangat tergantung pada integritas aparat yang jujur, bijak, adil, dan berani. KPK, Polisi, Jaksa, dan Hakim tidak boleh menjadi `penggigit-penggigit tulang yang gurih`. Mereka tidak boleh jadi bagian dari korupsi. Gubernur Sulsel usai Laica Marzuki menyampaikan kuliah umum, Gubernur Sulsel Dr H. Syahrul Yasin Limpo, M.Si, M.H,, menyampaikan kuliah umum yang sama berjudul Pemerintah Daerah dan Otonomi, dipandu Prof Dr Aminuddin Ilmar, MH. Kuliah umum ini dihadiri Rektor Unhas dan Wakil Rektor III Ir Nasaruddin Salam, MT. Menurut Syahrul Yasin Limpo pemerintah sekarang berbeda pemerintah yang dulu. Dulu ada namanya era `big government` (pemerintah yang besar/gemuk), kini pemerintah lebih kecil. Era pemerintah yang mengatur segalanya sudah berlalu. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak banyak memerintah. Artinya, ada keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat. Syahrul juga mengungkapkan masalah revisi sejumlah undang-undang. "Saya alergi dengan revisi UU. Yang penting adalah bagaimana UU yang sudah ada itu dilaksanakan dengan baik dalam pelaksanaan di lapangan," kata Syahrul. Demokrasi yang kita laksanakan tidak berarti kebebasan yang mutlak, tetapi lebih dimaknakan sebagai sebuah tanggungjawab (responsibility). Kebebasan harus bermanfaat banyak, bukan tanpa keteraturan. "Jika pemerintah tidak bisa mengambil keputusan, maka itu bukan pemerintahan yang baik. Tidak mungkin ada manfaat yang baik bagi rakyat tanpa keputusan yang baik dari pemerintah," sebut Syahrul Yasin Limpo. Pemerintah yang baik harus mampu mencium aroma kebutuhan rakyat. Tidak hanya itu, pemerintah pun tidak dapat berjalan tanpa keterlibatan dan pendekatan akademik. Pengalaman bekerja sama dengan perguruan tinggi inilah yang mengantar Sulawesi Selatan mampu mengukir sejumlah prestasi. Dalam tiga tahun, sebut Syahrul, Sulsel menyabet 83 penghargaan nasional. Peringkat Sulsel dari urutan ke-23, kini berhasil naik secara signifikan ke peringkat ke-2. Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Develepoment Index (HDI) dari peringkat ke-23, dapat diperbaiki berada pada peringkatan ke-13. "Salah satu tantangan yang dihadapi Sulsel sulit memperbaiki IPM ini adalah tingginya buta aksara rata-rata di atas 45 tahun. Kita memerlukan waktu 15 tahun untuk memperbaiki peringkat tersebut," ujar Gubernur Sulsel. (*)