Proses benang merah dalam kain tenun Indonesia dan Jepang

id Kain tenun,Tenun Gringsing,Kurume Gasuri,Indonesia,Jepang,budaya,diplomasi,Bali Oleh Juwita Trisna Rahayu

Proses benang merah dalam kain tenun Indonesia dan Jepang

Perwakilan dari Indonesia dan Jepang bertukar mengenakan kain tenun tradisional khas kedua negara di Indonesia Diversity Festival, Yokohama, Sabtu (30/7). (PPI Jepang)

Tokyo (ANTARA) - Helai demi helai kain terpajang di atas dua meja terpisah dalam gelaran Indonesia Diversity Festival di Yokohama, Jepang, Sabtu pagi lalu. Beberapa ada yang ditumpuk dan lainnya dibentangkan. Ada pula yang sudah dijahit menjadi jas, gaun dan jenis pakaian lainnya.

Batik dan kimono yang dipakai orang-orang di belakang kedua meja itu memberi petunjuk bahwa kain-kain itu berasal dari Indonesia dan Jepang. Namun siapa sangka, ada benang merah yang menghubungkan jenis kain dari kedua negara itu.

Selain berupa tenun, yaitu tenun Gringsing dari Bali dan Kurume Gasuri dari Fukuoka, kedua jenis kain itu juga sama-sama dibuat dengan teknik ikat ganda, yang hanya ditemukan di tiga negara: Indonesia, Jepang dan India.

Ketua Yayasan Karacitra Rere Wulandari yang menekuni kain tenun Gringsing mengatakan kain tersebut berasal dari Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, Bali.

“Kesamaan tenun Gringsing dengan Kurume Gasuri dari Fukuoka adalah pembuatannya double ikat (ikat ganda). Maksudnya, benang itu tidak hanya diwarnai secara horisontal saja, tetapi juga vertikal,” katanya.

Secara keseluruhan, pembuatan tenun Gringsing dan Kurume Gasuri pun mirip. Pertama-tama adalah membuat desain motif dengan mengikat benang-benang secara horisontal dan vertikal. Motif akan terbentuk dari pertemuan kedua arah benang tersebut.

Benang-benang itu lalu diwarnai. Kain Gringsing umumnya menggunakan pewarna alami, seperti akar mengkudu untuk menghasilkan warna kuning Benang-benang yang sudah diikat dan diwarnai itu kemudian dijemur dan setelah kering diikat sebelum ditenun.

Ketua Yayasan Karacitra Rere Wulandari menujukkan salah satu kain tenun Gringsing di Indonesia Diversity Festival, Yokohama, Sabtu (30/7). (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Diperlukan akurasi, ketelitian dan kesabaran dalam pembuatannya, karena salah satu keunikan tenun Gringsing adalah proses pembuatannya yang tidak bisa terburu-buru. Konon, semakin lama prosesnya, kualitasnya akan semakin bagus. Bahkan, ada proses yang memakan waktu hingga satu generasi.

Rere mengungkapkan perbedaan keduanya adalah pada proses. Tenun Gringsing masih menggunakan alat tenun tradisional, sementara Kurume Gasuri sudah menggunakan mesin n“Mengapa masih manual? Karena pemanfaatan tenun Gringsing ini beragam. Tenun ini masih digunakan sebagai ritual upacara keagamaan di desa pembuatnya sendiri yang sepanjang tahun penuh dengan upacara,” katanya.

 

Saat ini kain tersebut mulai berkembang di luar Desa Tenganan Pegringsingan, namun masih berada di Pulau Bali, salah satunya sudah dipakai oleh penari Barong. Sementara itu, motif-motif tenun Gringsing masih dipengaruhi oleh motif tenun ikan ganda India yang sudah ada sejak dua abad Sebelum Masehi. “Untuk ritual itu warnanya lebih gelap, seperti hitam, merah dan kuning, dan ada ciri khas tertentu di motifnya. Sementara untuk fesyen, warnanya lebih indigo,” katanya.

Dia menuturkan saat ini tenun Gringsing semakin diminati oleh para kolektor untuk koleksi pribadi atau untuk keperluan fesyen. Kini, perkembangan tenun Gringsing mulai dikelola oleh organisasi yang berperan untuk mengontrol kualitas kain, termasuk pembuatan sertifikat, kode dan garansi keaslian.

Rere berharap pertemuan antara kedua kain tenun khas Jepang dan Indonesia tersebut bisa mempererat jalinan persahabatan dan pertukaran informasi tentang bagaimana melestarikan warisan budaya tersebut. Perwakilan dari produsen Kurume Gasuri Coppolart Madoka Koga menjelaskan Kurume Gasuri lahir di Fukuoka, Kyushu, sejak 220 tahun yang lalu. “Ada dua metode untuk membuat kain ini, pertama secara manual, kedua menggunakan mesin. Yang manual masih ditenun dengan tangan dan menggunakan pewarna alami,” katanya.

Mesin tenun di Jepang sudah ada sejak 100 tahun lalu, yang difasilitasi Toyota Industries Corporation, katanya. “Pakaian yang saya kenakan ini (kainnya) buatan mesin yang dibuat 20 tahun yang lalu. Bahannya sejuk dan motifnya berganti setiap tahun,” katanya.

Motif-motif kain Kurume Gasuri sebagian besar terinspirasi dari alam, seperti pemandangan langit, warna laut dan aliran sungai, termasuk perubahan empat musim. “Sekarang saya menyaksikan dua kain ikat ganda dari Indonesia dan Kurume Gasuri Jepang, saya berharap adanya kolaborasi lebih lanjut,” ujarnya.

Sarana Diplomasi

Benang merah yang menghubungkan kain tradisional dari Indonesia dan Jepang itu diharapkan dapat mempererat hubungan kedua negara yang sudah merajut tali diplomasi selama 65 tahun.

Duta Besar RI untuk Jepang dan Federasi Mikronesia Heri Akhmadi menilai hubungan kedua negara bukan hanya terkait dengan masalah politik dan ekonomi, tetapi juga budaya, kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Menurut Heri, Jepang terkenal dengan 1.000 teknik pembuatan kain dan ada di antaranya yang sama dengan teknik pembuatan kain di Indonesia, yaitu kain tenun Grinsing dari Bali.

Keunikan tersebut, kata dia, dapat menjembatani persahabatan antarwarga negara untuk belajar dari pengalaman masing-masing karena hubungan suatu negara yang kokoh adalah hubungan di antara antara warganya.

“Karena itu, sebaik-baiknya hubungan keluarga besar adalah hubungan antara masyarakatnya secara langsung,” katanya.

Ia mengatakan bahwa seni dan budaya adalah sarana diplomasi yang sangat penting.

Senada dengan Heri, Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji berharap pertemuan tenun Grinsing khas Bali dan tenun Kasuri asal Fukuoka dapat mempererat hubungan kedua negara.

“Kali ini saya mendengar secara khusus ada workshop mengenai tenun Gringsing Bali dan Kurume Kasuri Fukuoka yang terkenal dengan teknik tenun ikat gandanya. Saya berharap peserta menikmati pertukaran budaya antara kedua negara,” kata Kanasugi.

Dia juga berharap warga Indonesia dan Jepang sama-sama dapat menemukan persamaan dan perbedaan budaya di kedua negara. Menurut Kanasugi, hal itu menjadi kesempatan untuk membawa kembali pesona budaya yang ditemukan dan menyampaikannya pada orang-orang terdekat agar dapat lebih memperdalam minat pada kedua negara daripada sebelumnya.

Ia mengaku dirinya sering terkejut dengan keragaman Indonesia selama satu setengah tahun sejak pertama kali tinggal dan bertugas di Indonesia. “Semakin saya mengetahuinya, semakin dalam dan semakin menarik pula hal tersebut bagi saya,” katanya.