Data terkait virus Langya belum solid

id Virus Langya,China,Zoonosis

Data terkait virus Langya belum solid

Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman. (ANTARA/HO-Dicky Budiman)

Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman meminta kepada semua pihak untuk tetap waspada karena data terkait virus Langya (LayV) yang berasal dari China belum solid. “Kehadiran atau timbulnya penyakit yang berasal dari hewan atau zoonosis ini, merupakan ancaman terhadap kesehatan global dan nasional,” kata Dicky dalam pesan suara di Jakarta, Sabtu.
 

Dicky bercerita bahwa virus Langya pertama kali ditemukan di China, tepatnya di Kota Langya, Provinsi Shandong. Total dari kasus yang ditemukan di seluruh wilayah negara itu mencapai 35 kasus. Virus Langya sendiri masih ke dalam keluarga virus henipavirus dan diduga penularannya berasal dari tikus sebagai hewan pengerat.

Walaupun demikian, hanya sembilan dari 35 kasus yang berhasil ditracing, sedangkan sisanya belum sempat di tracing ataupun menunjukkan potensi terjadinya penularan. “Hanya sembilan kasus yang berhasil ditracing dan itu ditemukan kurang lebih 15-an yang keluarganya positif, maksudnya ditracing terbukti ada penularan dari keluarga dekatnya. Tapi sisanya belum sempat ditracing atau dipastikan apakah ada potensi penularan atau tidak, jadi datanya belum solid,” ujar Dicky.
 

Dari belum solidnya data yang dikumpulkan itulah, dirinya meminta setiap pihak untuk tetap mewaspadai berbagai bentuk penularan karena virus dari hewan berpotensi menjadi wabah penyakit bagi manusia.

Baca juga: WHO dalami temuan virus cacar monyet pada cairan sperma
Baca juga: 287 ekor sapi di Mataram dinyatakan sembuh dari virus PMK

Dicky menyatakan meski belum ditemukan keparahan berupa orang yang masuk ICU atau kematian, namun dua per tiga atau 75 persen penyakit yang menginfeksi manusia disebabkan atau berasal dari hewan dan jelas merugikan manusia karena bisa menular dari hewan ke manusia menjadi manusia ke manusia.

"Indonesia sendiri memiliki yang mirip seperti China baik kondisi lingkungan ataupun dilihat dari perilaku masyarakat, kebijakan dan sistem kesehatannya karena masih berhubungan erat dengan sejumlah jenis hewan, sehingga negara berada pada posisi yang dapat dikatakan rawan," katanya.
 

Ia menambahkan bahwa negara yang termasuk dalam kawasan Indo-China, seperti Indonesia merupakan negara yang ada di zona rawan terjadinya berbagai penyakit yang berasal dari hewan. Oleh karenanya, diperlukan strategi hingga ke daerah untuk melakukan surveilans ataupun kajian lebih mendalam terkait zoonosis agar tidak terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), wabah ataupun pandemi lainnya.
 

Selain surveilans, Dicky turut menyarankan agar kajian terkait berbagai penyakit yang berasal dari hewan dapat lebih diperdalam serta memaksimalkan perubahan perilaku melalui penerapan hidup sehat di dalam masyarakat.

Sebab, meski sistem kesehatan di Indonesia mulai berkembang dengan baik, namun kebanyakan dari program yang dijalankan sangat berfokus pada manusia saja. Seharusnya, guna mewujudkan harmonisasi dalam kesehatan, pemerintah juga harus fokus pada kesehatan hewan dan lingkungan sekitar. “Artinya kita harus benar-benar memperbaiki dan mengkaji ulang sistem deteksi kita. Bukan hanya pada manusia, tapi juga pada hewan di alam liar,” kata Dicky.