Tujuh tahun silam, kawasan hutan yang membentang di ujung timur Lombok itu tandus, dan hanya ditumbuhi padang ilalang. Kawasan hutan yang masuk wilayah hutan Rinjani itu merupakan bekas ladang berpindah.
Saat itu di kawasan hutan seluas 758 hektare tersebut tidak ada tanda kehidupan. Para peladang berpindah menelantarkan begitu saja bekas lahan garapan yang kemudian berubah menjadi semak belukar yang gersang.
Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat di sekitar kawasan hutan itu terpaksa bekerja sebagai buruh. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan. Jangankan untuk biaya pendidikan anak-anak, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat sulit.
Saat itu, masyarakat di sekitar kawasan hutan Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat hidup dalam lilitan kemiskinan, karena mereka tidak memiliki lahan pertanian yang bisa dijadikan sumber penghidupan.
Namun, cerita duka itu berangsur-angsur hilang setelah pemerintah mulai menginisiasi program Hutan Kemasyarakatan (HKM) atau Community Forestery" pada 1997. Masyarakat Santong yang kini masuk wilayah Kecamatan Kayangan diberikan hak mengelola kawasan hutan.
Kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara ditetapkan menjadi HKM dengan Surat Keputusan (SK) SK Menhut No: 447 /Menhut-II/2009.
Ketua Koperasi Tani-Hutan Maju Bersama Desa Santong H Artim Yahya (46) menuturkan pada awalnya masyarakat merasa ragu untuk memanfaatkan lahan kering dan tandus itu. Namun dorongan untuk bisa hidup lebih layak mengalahkan keraguan itu.
Pada awalnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan Santong yang berjarak sekitar 50 kilometer arah utara Mataram itu mencoba menanam berbagai jenis pohon dengan sistem tumpang sari.
"Pada tahun pertama dan kedua kami memperoleh bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB berupa bibit kayu-kayuan, antara lain sengon, kalimuru (udu), gamelila dan sonokeling dan pada tanaman kayu tersebut juga ditanam 'lekoq' (sirih) ," kata mantan Kepala Desa Santong.
Selain kayu-kayuan para petani hutan juga menanam bibit tanaman buah-buahan seperti nangka, melinjo, alpukat, durian, kemiri dan kakao atau cokelat. Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) inilah yang kemudian menjadi sumber kehidupan masyarakat tepi hutan itu.
Pada tahun ketiga yang merupakan masa pemeliharaan tahap kedua, masyarakat menyediakan bibit secara swadaya untuk penyulaman. Saat itu lahan tandus di kawasan hutan Santong tersebut mulai berubah menjadi hambaran pemohonan yang hijau.
"Jadi ibaratnya kalau sebelum ada HKM tahun 1997, hutan Santong itu hanya kawasan semak belukar tanpa sebatang pohon. Namun pada 2011 kami sudah sulit untuk menanam pohon, karena semua lahan sudah dipenuhi tumbuhan," kata pria yang kini dikenal dengan julukaan "bapak HKM" itu.
Perjuangan panjang dan melelahkan itu kini telah membuahkan hasil. Padang tandus yang sebelumnya hanya ditumbuhi ilalang itu kini telah berubah menjadi hutan yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Kawasan hutan Santong seluas 758 hektare itu kini telah mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi 1.258 orang petani hutan yang menjadi anggota Koperasi Tani Hutan Maju Bersama. Para petani itu tersebar di Kecamatan Kayangan dan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Keberhasilan para petani hutan itu berkat perjuangan yang tak kenal lelah dan dorongan pemerintah daerah maupun pusat serta pembinaan dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES) yang kemudian dilanjutkan oleh Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemberdayaan masyarakat pinggiran .
"Kami mendapat pembinaan dari PL3ES yang kemudian dilanjutkan oleh Konsepsi NTB dan LSM pemberdayaan masyarakat pinggiran mulai 1997 hingga tahun 2000. Hasilnya cukup menggembirakan para petani berhasil mengelola kawasan hutan yang sebelumnya tandus menjadi lahan produktif dan kami memiliki sumber penghasilan tetap," kata Artim dengan penuh semangat.
Dari lahan HKM masing-masing seluas 0,75 haktare yang ditanami berbagai jenis kayu-kayuan dan buah-buahan termasuk pisang itu para petani meraup penghasilan rata-rata Rp3 juta per bulan, bahkan bisa mencapai Rp5 juta lebih per bulan. Khusus dari tanaman "lekoq" atau sirih para petani meraup keuntungan mencapai rata-rata Rp500.000 per bulan.
"Daun sirih merupakan komoditas primadona bagi petani hutan di HKM Santong, karena bahan utama makan sirih ini cukup laris. Tradisi makan sirih ini masih terus dilakukan masyarakat terutama para orang tua di wilayah timur Kabupaten Lombok Utara," kata petani yang mengaku menunaikan ibadah haji dari hasil HKm.
Sejatinya keberadaan HKM telah mengubah wajah Desa Santong yang sebelumnya kental dengan nuansa keterbelakangan dan kemiskinan, menjadi desa yang maju dan sejahtera.
Artim mengisahkan tujuh tahun silam warga desa di pinggiran hutan Santong umumnya tinggal di gubuk yang tidak layak huni dan anak-sanak saat itu paling tinggi hanya lulus SMP. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masyarakat tidak memiliki biaya.
"Anak-anak di Desa Santong paling tinggi lulus SMP. Berkat keberhasilan HKm anak-anak kami paling rendah lulusan SMA. Bahkan sudah banyak yang bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hingga kini 15 orang kuliah dan lima diantaranya sudah meraih gelar sarjana," kata bapak dari dua anak yang kini sedang duduk di bangku kuliah itu.
"Haji HKM"
Ke depan, kata Artim, akan banyak "Sarjana HKM" atau menjadi sarjana dengan biaya dari hasil hutan kemasyarakatan. Hingga kini sudah belasan orang yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makah termasuk pada musim haji tahun 2012 ada satu orang petani hutan yang menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu.
"Hingga kini sudah banyak 'Haji HKM". Di masa mendatang akan lebih banyak lagi menjadi haji dari hasil usaha tani hutan tersebut. Ini berkah dari Allah yang patut kita syukuri," kata Artim yang juga bergelar Haji HKM ini.
Namun ia mengakui kesuksesan yang dicapai para petani hutan yang tergabung dalam Koperasi Hutan Tani Maju Bersama Santong juga tak terlepas dari berbagai kendala. Masalah utama yang dihadapi para petani hutan adalah ketika tiba musim hujan karena sebagian besar jenis tanaman akan menurun produksinya ketika musim hujan.
Keberhasilan para petani itu menjadi semakin sempurna ketika HKM Santong di Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara seluas 758 hektare meraih sertifikasi ekolabel pertama di Indonesia untuk jenis hutan kemasyarakatan.
"Kami mendapatkan apresiasi atas sertifikasi itu dari Menteri Kehutanan bersamaan pada puncak peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ," kata Artim dengan penuh kebangaan.
Puncak peringatan HMPI dan BMN 2011 itu dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bukit Merah Putih, Santi Dharma Indonesia Peace and Security Center atau Pasukan Misi Pemeliharaan Perdamaian, di Sentul, Kecamatan Citeureup, Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB Rahmad Sabani dan Gladi Hardiyanto dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), sebagai lembaga yang mendampingi petani-hutan Santong menjelaskan dengan sertifikasi itu masyarakat telah mendapat persetujuan izin usaha untuk pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) oleh Kementerian Kehutanan.
"Ini tentu membanggakan karena 1.258 petani di Santong dinilai pemerintah dan negara berhasil mengelola hutan, baik dari aspek pelestarian dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga," katanya.
Setelah dikembangkan program HKM dengan pendampingan Konsepsi dan berbagai mitra pendukung itu, saat ini hampir semua kawasan hutan Santong telah ditumbuhi aneka tanaman produktif. Bahkan kini nyaris tak ada sejengkal tanahpun yang kosong, karena sudah dipenuhi pepohonan.
Menurut Rahmat Sabani pelaku pengelolaan HKM adalah warga komunitas asli Desa Santong, Kecamatan Kayangan bersama tiga desa lainnya yakni Salut, Selengan, dan Mumbulsari (Kecamatan Bayan). Areal HKm terbagi dalam wilayah-wilayah garapan oleh masing-masing petani, yang kemudian berkelompok membentuk kelompok kerja dan bergabung dalam wadah koperasi.
Sementara Gladi Hardiyanto dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), hutan yang dikelola masyarakat di areal hutan negara dalam bentuk HKM di Santong, NTB menjadi areal HKM pertama di Indonesia yang lulus penilaian sertifikasi ekolabel sistem LEI.
Berbagai keberhasilan telah diraih dan kini HKM Santong menjadi pusat perhatian baik di tingkat nasional maupun internasional. Bahkan hutan kemasyarakatan peraih setifikasi ekolabel pertama di Indonesia ini menjadi objek studi banding internasional atas keberhasilan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Pada Oktober 2012 utusan dari 10 negara ASEAN melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Para pencinta lingkungan dari negara-negara Asia itu berkunjung ke HKM Santong untuk belajar mengenai pengelolaan hutan Santong dengan partisipasi masyarakat.
Pada 2011 utusan dari 14 negara di Asia berkunjung ke HKM Santong untuk mempelajari keberhasilan pengelolaan hutan di daerah ini. Sementara pada 2009 rombongan dari Jepang juga melakukan penelitian atas keberhasilan masyarakat sekitar hutan mengelola HKM Santong.
Kepala Dinas Kehutanan Provinai NTB Abdul Hakim mengaku bangga atas berbagai keberhasilan yang telah diraih HKM Santong. Ini diharapkan mampu memacu dan memicu semangat masyarakat lainnya dalam mengelola hutan untuk meningkatkan kesejahteraan warga di sekitar hutan.
"Dengan cara ini masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan akan semakin sejahtera tanpa harus menebang pohon di hutan. Jadi keinginan kita untuk menciptakan masyarakat yang sejahera dan hutan yang lestasi akan terwujud," katanya.
Karena itu, kata Hakim, pihaknya akan terus berupaya mengembangkan HKM di seluruh kabupaten di Provinsi NTB dalam upaya meningkakan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga dan memelihara kelestarian hutan. Prinsip hutan untuk kehidupan akan bisa dicapai.
Bahkan, keberhasilan masyarakat Desa Santong mengubah lahan tandus menjadi "oase" kehidupan melalui program HKM, agaknya perlu ditiru daerah lain di nusantara ini. (*)