Mataram, 26/1 (ANTARA) - Ketua Mahkah Konstitusi (MK) Prof DR H Moh Mahfud MD SH mengatakan, pemerintah perlu mengurangi lembaga negara yang dibentuk secara dadakan, karena hanya bermuara pada pemborosan keuangan negara.
"Saya termasuk orang yang menghendaki berbagai komisi dan lembaga negara diluar kementerian yang dibentuk belakangan ini, dihilangkan satu persatu, karena membingungkan dan pemborosan anggaran," kata Mahfud ketika berbicara pada kuliah umum dan diskusi publik, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu.
Kuliah umum dan diskusi publik tentang "Islam dan Masa Depan Kepemimpinan Bangsa" itu difasilitasi oleh Institut Ilmu Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, dan dihadiri lebih dari 500 orang peserta, baik dari kalangan mahasiswa, politisi, maupun akademisi.
Tokoh nasional itu mengatakan, pembentukan komisi atau lembaga negara dadakan itu tengah diteliti oleh mahasiswa pascasarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Mahfud merupakan salah satu pengujinya.
Saat ini, sudah terbentuk 87 lembaga negara yang dibentuk di era reformasi dan jumlah itu tergolong banyak sehingga dinilai tidak efektif membantu pemerintah memajukan bangsa dan negara.
"Menurut saya sudah banjir komisi dan itu hanya pemborosan. Misalnya, KPI mengapa tidak masuk dalam struktur Kementerian Kominfo, Komnas Ham mengapa tidak masuk Kementerian Hukum dan Ham, dan banyak lagi komisi ini dan itu yang bermuara pada perebutan anggaran negara," ujarnya.
Fenomena "banjir" komisi itu disebut Mahfud sebagai tindakan proliberasi yakni mengembangkan institusi-institusi tanpa disertai alasan kuat untuk pengembangannya.
Ia pun menilai negara menjadi tidak mampu membendung tindakan proliberasi itu, sehingga komisi dan lembaga negara yang terbentuk secara dadakan terus terjadi.
"Komisi macam-macam bermunculan, dan sepertinya negara tidak mampu membendung hal itu. Ini fakta dan sudah sering didiskusikan para akademisi dan intelektual lainnya," ujarnya.
Mahfud juga menyoroti kebijakan pemerintah menghentikan pemekaran wilayah karena merasa bahwa jumlah daerah otonom sudah sangat banyak.
Hanya saja, kebijakan moratorium pemekaran wilayah itu, tidak disertai komitmen yang kuat baik di kalangan pelaksana pembangunan maupun legislator.
"Saat ini sudah ada 460 daerah tingkat II (kabupaten/kota) dari 200-an diawal era reformasi. Sempat mencuat kebijakan moratorium, tetapi setiap masa sidang (DPR) ada saja pemekaran wilayah yang disetujui, dengan alasan tuntutan rakyat, sebab kalau tidak nanti didemo. Jadi, ini gambaran negara tidak mampu membendung dampak dari kebijakannya sendiri," ujar Mahfud. (*)