REKTOR UNRAM: SISWA SEJAK SD MENGALAMI DISKRIMINASI

id

     Mataram, 6/3 (Antara) - Rektor Universitas Mataram (Unram) Prof Sunarpi mengatakan seorang siswa sejak sekolah dasar sudah mengalami  diskriminasi karena saat itu mereka dipaksa mendapatkan ranking yang menjadi beban psikologis anak didik.
      "Beban anak-anak belajar di SD, SMP dan SMA luar biasa berat. Mulai SD  sudah diberikan ranking, dan ini sebagai bentuk diskriminasi, karena  yang mendapat ranking tinggi menunjukkan anak pintar, sedangkan yang tidak dicap sebagai siswa bodoh," katanya di Mataram, Rabu.
       Pada acara lokakarya yang dilaksanakan Bank Dunia bekerja sama dengan Unram, dia mengatakan, dengan adanya ranking tersebut, sejak saat itu para siswa mendapatkan diskiminasi.
       "Di negara maju manapun tidak ada sekolah yang berani memberikan ranking di SD, SMP dan SMA, karena ini diskriminasi antarsiswa," ujarnya.
        Ia mengatakan, secara psikologis anak-anak itu belum terlalu siap untuk menerima perbedaan. Namun pada saat itu mereka harus menerima perbedaan anak pintar dan bodoh.
        "Survei pernah kami lakukan beberapa tahun lalu mengenai hubungan antara anak-anak yang prestasinya bagus di SD, SMP dan SMA. Namun ketika memasuki perguruan tinggi ternyata tidak berjalan linier. Artinya kemampuan dan kapasitas itu bisa muncul suatu saat," katanya.
         Menurut dia, para siswa diberikan ranking terlalu dini sebenarnya kurang baik, karena terbukti bahwa prestasi akademik mereka itu tidak bisa berkembang ketika masuk perguruan tinggi.
         Sunarpi mencontohkan pada sebuah sekolah menengah pertama di luar negeri, guru tidak hanya mentransfer ilmu kepada para siswa, tetapi bagaimana mendidik anak-anak agar bisa mengembangkan potensi yang mereka miliki, dan para guru benar-benar bisa mengubah perilaku siswa.
       "Ini penting, karena pendidikan itu tidak hanya berbicara kompetensi, tetapi juga bagaimana  mengubah perilaku. Namun bagi kita adalah bagaimana meningkatkan kompetensi, tetapi perilaku tidak berubah," katanya.
         Contoh, kata dia,  bagaimana mengawal ujian nasional yang kredibel di Indonesia itu sangat mahal, tetapi di negara maju tidak ada ujian nasional yang diawasi secara ketat, para siswanya tidak ada yang menyontek karena sudah ditanamkan pemahaman bahwa ujian nasional itu suatu proses bagi anak untuk mengukur sejauh mana kompetensi yang mereka miliki.
         Menurut Sunarpi, di Indonesia ujian nasional cukup mahal, harus dikawal oleh pengawas pendidikan agar berlangsung jujur. "Kalau begini, nilai pendidikan itu dimana," kata Sunarpi(*)