Penanganan stunting harus mulai lihat keterbatasan akses pangan

id stunting,asupan gizi seimbang,pangan lokal

Penanganan stunting harus mulai lihat keterbatasan akses pangan

Tangkapan layar Penanggung Jawab Pelayanan Asuhan Gizi RSPI Sulianti Saroso Jakarta Farida Agustin (bawah) dalam Siaran Sehat yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (11/1/2023). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Jakarta (ANTARA) - Penanggung Jawab Pelayanan Asuhan Gizi RSPI Sulianti Saroso Jakarta Farida Agustin menyatakan bahwa penanganan stunting di tahun 2023 harus mulai melihat masih adanya keterbatasan akses pangan di sejumlah daerah.
 

“Pencegahan stunting tentunya sudah berdampak, karena kalau anak sudah stunting otomatis mudah sekali terkena infeksi dan proses penyembuhannya di rumah sakit membutuhkan waktu yang lama,” kata Farida dalam Siaran Sehat yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Farida menuturkan sangat penting bagi pemerintah untuk menguatkan kerjasamanya, dalam membuka akses pangan seluas-luasnya. Ia menyarankan supaya Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Pertanian atau Kementerian Perdagangan.

Sebab, masih banyak masyarakat di daerah lain yang harus menempuh jarak jauh hanya untuk membeli lauk pauk berupa ayam atau ikan. Selama memperluas akses pangan itu, keterlibatan edukasi pangan lokal menjadi kunci yang penting.

Farida mengaku masih banyak masyarakat yang berpikir jika protein hewani terbaik diberikan melalui salmon. Padahal, zat gizi dalam salmon bisa diganti dengan pemberian satu butir telur, yang sudah diakui terbukti membantu tinggi badan ana tumbuh signifikan. Di samping itu, pemberian protein nabati seperti tempe atau tahu juga baik bagi anak.

Selebihnya, bisa menambahkan asupan vitamin dan mineral melalui tablet suplemen. Masyarakat juga bisa memberikan anak banyak buah, sebagai alternatif bagi anak yang tidak terlalu menyukai sayuran. Walaupun dalam anjurannya, semua harus diberikan secara seimbang.

Di sisi lain, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga harus lebih keras menyuarakan pentingnya kesehatan reproduksi pada remaja.

“Pada dasarnya perlu ada kerja sama untuk menangani stunting. Itu tidak bisa hanya ditangani oleh ibu seorang diri. Perlu ada kerja sama dari pemerintah untuk persiapan dia hamil, kemudian fasilitas kesehatannya,” katanya.

Meski demikian, ahli gizi itu menilai jika penanganan stunting yang sedang gencar dilakukan pemerintah dengan menyasar keluarga sejak remaja sudah berada di jalan yang tepat.

Penanganan stunting sudah sangat jelas menggambarkan upaya pemerintah, dalam memperbaiki asupan gizi masyarakat sejak di usia remaja.

Dalam memberikan tablet tambah darah (TTD) bagi siswi di sekolah misalnya. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap asupan zat gizi pada remaja putri, sehingga diharapkan dapat menekan angka anemia yang masih tinggi.

Kemudian adanya penekanan terkait pentingnya pemberian protein hewani pada masyarakat, juga dinilai sudah tepat karena mensosialisasikan makanan untuk mencegah stunting tidak memerlukan makanan mahal dan bisa memanfaatkan pangan lokal seperti telur ataupun ikan bawal.

Baca juga: Kemenag Lombok Tengah memaksimalkan edukasi penurunan Stunting
Baca juga: Menteri PAN-RB akselerasi penanganan stunting

Farida menambahkan target 14 persen di tahun 2024, hanya akan bisa dicapai jika semua pihak mau saling bekerja sama. Dirinya berharap supaya pemerintah terus meningkatkan kinerjanya, terutama dalam pembangunan akses tadi beserta dengan koreksi gizi secara menyeluruh.

“Targetnya ini bisa teratasi jika kita semua bekerja sama. Dengan demikian, target penurunan stunting dapat dicapai termasuk generasi Indonesia akan memiliki generasi yang cerdas dan berdaya saing dengan negara lain,” ujar dia.