BPHN kaji sistem pemilu proporsional tertutup-terbuka maupun campuran

id Perludem, sistem pemilu, sistem proporsional terbuka

BPHN kaji sistem pemilu proporsional tertutup-terbuka maupun campuran

anggota Dewan Penasihat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini (kiri) memberikan pandangan terkait sistem pemilu di Jakarta, Jumat, (10/2/2023). (ANTARA/HO-Humas BPHN)

Jakarta (ANTARA) - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengkaji sistem pemilu proporsional tertutup, terbuka, dan campuran melalui diskusi yang melibatkan sejumlah pihak.

"Demokrasi mensyaratkan well inform voters. Pemilih yang terinformasi baik," kata anggota Dewan Penasihat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Diskusi yang diadakan BPHN Kemenkumham tersebut mengusung topik "Polemik Pemilu 2024 : Untung-Rugi Sistem Proporsional Pemilu Terbuka, Tertutup, atau Campuran?".

Dalam diskusi tersebut Titi mengakui sistem pemilu yang berlaku saat ini secara objektif perlu dievaluasi. Masyarakat harus tahu bagaimana mekanisme mencoblos, siapa calon legislatif hingga calon presiden, dan calon wakil presiden yang akan dipilih.

"Termasuk, harus tahu konsekuensi dari pilihan yang dibuat. Jadi tantangan kita adalah melahirkan pemilih yang tidak pragmatis. Selain tantangan terbesar kita yaitu melahirkan calon legislatif yang juga tidak pragmatis," kata Titi.

Hal senada dikemukakan mantan anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar bahwa Pemilu tahun 2024 harus dirancang sejak kini guna menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk melangsungkan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Termasuk pula, katanya, memikirkan jangan sampai kejadian Pemilu 2019, terutama banyaknya petugas yang meninggal dunia karena faktor kelelahan kembali terjadi pada  Pemilu 2024. "Pemilu ini pekerjaan berat bukan hanya satu hari pelaksanaan selesai, namun mulai dari persiapan hingga pelaksanaan cukup panjang dan dampaknya jangka panjang," jelas dia.

Narasumber lain, Rektor Untag Banyuwangi Andang Subahariyanto dalam diskusi tersebut memberikan contoh seorang warga di Banyuwangi, Jawa Timur, tidak mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah.

Baca juga: PWI harap pers Indonesia tetap menjaga independensi di tahun politik
Baca juga: Bawaslu NTB melindungi pengawas pemilu dari risiko kecelakaan kerja


Padahal yang bersangkutan tergolong sudah lama mengabdi di salah satu partai namun tidak dipertimbangkan untuk maju. Alasannya, ia dianggap tidak begitu populer untuk memperoleh suara. Sebelumnya, Kepala BPHN Kemenkumham Widodo Ekatjahjana mengatakan baik sistem proporsional tertutup atau terbuka keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan.

Itu sebabnya, ujar dia, diperlukan jalan tengah yang mengombinasikan kelebihan masing-masing sehingga partai politik sebagai aktor utama pemilu yang konstitusional demokratis memiliki kewenangan untuk menugaskan kader terbaiknya di lembaga perwakilan. "Sedangkan suara terbanyak tetap mendapat ruang untuk diakomodir," ujarnya.

Widodo menambahkan dengan sistem kombinasi tersebut akan dapat dijaga/dilindungi melalui kebijakan afirmasi partai politik antara lain soal keterwakilan calon perempuan, calon yang memiliki popularitas, dan telah bekerja mendulang suara untuk partai. Termasuk calon dan kader terbaik yang tidak memiliki popularitas tetapi memiliki prestasi dan kinerja terbaik untuk partai.