Resensi film "Ambush": pertempuran bawah tanah demi merebut catatan intelijen

id ambush,film ambush,perang,vietkong,drummond,film perang vietnam

Resensi film "Ambush": pertempuran bawah tanah demi merebut catatan intelijen

film "Ambush" (2023). (ANTARA/HO-Saban Films)

Di tengah tantangan itu, Ackerman dihadapkan pada pertanyaan apakah dirinya beserta tentara muda lainnya hanya menjadi pion belaka. Sebab misi itu tampaknya punya tingkat keberhasilan yang lebih seandainya tentara berpengalaman yang diterjunkan. Sementara tentara yang lebih senior hanya “berjuang” di atas tanah yang tak banyak menghadapi serangan dari Vietkong.

Pada akhirnya, Ackerman pun berhasil menunaikan misinya, bukan semata-mata demi tentara AS ataupun Kapten Mora, tetapi demi kawan-kawannya yang telah tewas dan ditinggalkan di ruang bawah tanah. Misi itu berhasil walau Ackerman harus menerima kenyataan yang pahit di akhir perjalanan.

Film “Ambush” sebetulnya punya modal yang menarik dari segi ide cerita. Walaupun fiksi, film ini setidaknya berusaha memotret kelompok tentara dalam Perang Vietnam yang tidak tercatat dalam lembar sejarah besar. Sayangnya, “Ambush” kurang digarap apik sehingga banyak “lubang” di sana-sini yang akan disadari penonton.

Plot sederhana di dalam film bukanlah masalah. Justru hal ini bisa menjadi “amunisi” untuk dapat menyajikan pengalaman menonton terbaik. “Ambush” betul-betul fokus mengejar bagaimana upaya yang dikerahkan para tentara demi mendapatkan dokumen rahasia itu.

Sayangnya, akhir cerita yang dipilih tak cukup jelas motivasi pendorongnya. Tak hanya karakter Ackerman yang putus asa dan merasa sia-sia di akhir cerita, penonton pun mungkin akan merasa demikian, terlepas dari kata-kata penyemangat yang disampaikan Jenderal Drummond.
Jonathan Rhys Meyers sebagai Kapten Mora dalam film "Ambush" (2023). (ANTARA/HO-Saban Films)


Selain karakter-karakter kunci yang telah disebutkan, “Ambush” menampilkan banyak wajah karakter lainnya yang mungkin namanya tak begitu membekas di ingatan penonton. Ackerman sendiri kehilangan satu demi per satu rekan seperjuangannya. Para karakter tentara muda ini sayangnya tidak dikembangkan lebih matang. Bahkan relasi antara Kapten Mora dan Jenderal Drummond, di mana keduanya bolak-balik bersitegang lewat sambungan telepon, sebetulnya punya potensi besar untuk dieksplorasi lebih lanjut.

Demikian pula pergerakan kamera dan musik latar yang sedikit mengecewakan. Pada beberapa titik, perpindahan scene agak kasar atau terkesan terburu-buru, walaupun tidak seluruhnya. Pengulangan musik latar dalam adegan menegangkan juga kurang dapat membangun ambience atau suasana yang seharusnya bisa menjadi satu-kesatuan bagi film itu sendiri.

Meski begitu, sebagai sebuah hiburan, “Ambush” masih layak untuk dinikmati. Penyajian suasana perang di hutan era Perang Vietnam, ditambah suasana ketegangan di dalam lorong-lorong bawah tanah yang minim cahaya, menjadi suatu kelebihan yang ditawarkan “Ambush”.

Bagi anda penikmat film perang, “Ambush” bisa menjadi salah satu tontonan yang dapat dijadikan pilihan di tahun ini. Walau tampak “bolong” di sana-sini, film berdurasi 104 menit ini menampilkan adegan aksi dan percakapan-percakapan intens yang tak kalah menegangkan dan mengerikan di tengah kegentingan suasana perang.