Psikologis di balik ketertarikan publik pada "influencer"

id Influencer,Tren Instagram

Psikologis di balik ketertarikan publik pada "influencer"

Ilustrasi seorang influencer (ANTARA/freepik.com)

Jakarta (ANTARA) - Di era digital, seperti sekarang ini, kata influencer sudah tak asing lagi di telinga masyarakat, khususnya para generasi muda. Influencer sendiri adalah figur dalam media sosial yang memiliki jumlah pengikut signifikan, dan hal yang mereka sampaikan dapat mempengaruhi perilaku pengikutnya.

Menurut Psikolog Klinis dari Universitas Indonesia A. Kasandra Putranto, alasan masyarakat, terutama anak muda, menyukai, hingga mengikuti seorang influencer, karena dianggap memiliki citra yang baik.

“Berdasarkan social learning theory dari salah satu tokoh psikologi, yaitu Bandura (1977), dijelaskan bahwa salah satu cara individu dalam membentuk sikap dan perilaku mereka adalah dari melakukan modeling terhadap orang-orang yang dianggap sebagai role model,” ucap Kasandra saat dihubungi ANTARA.

Modeling yang dimaksud ialah mengikuti perilaku yang diobservasi menjadi bagian dari dirinya. Dalam hal ini, influencers merupakan seseorang yang cenderung memiliki citra yang baik di mata pengikutnya. Hal ini yang membuat masyarakat, terutama anak muda, menganggap perilaku yang dimiliki oleh role model tersebut patut untuk ditiru.

Seiring dengan berkembangnya zaman, kini media sosial pun bukan lagi hanya bermanfaat sebagai media berkomunikasi, namun juga digunakan untuk beriklan atau berjualan.

Para influencer pun kini banyak yang mengunggah konten tentang review sebuah produk. Tak jarang, para pengikut pun mudah percaya dan turut membeli produk yang dipromosikan oleh influencer.

Lebih dalam, terdapat banyak faktor mengapa masyarakat cenderung mengikuti atau membeli hal-hal yang disarankan oleh influencer yang mereka ikuti. Ketika masyarakat mengagumi influencer yang mereka ikuti, maka akan mudah bagi para pengikut untuk percaya dengan produk yang dipasarkan.

“Secara psikologis, fenomena influencer dapat dijelaskan dengan teori halo effect. Halo effect dijelaskan sebagai tendensi untuk memberikan kesan positif pada individu lain yang dianggap baik atau menarik secara visual.

Influencer yang kita ikuti di media sosial cenderung menjadi orang yang kita kagumi, cita-citakan, dan mereka adalah orang-orang yang pada umumnya memiliki kesan positif bagi kita. Ketika Influencer tersebut mempromosikan suatu barang, mudah bagi para pengikut untuk mempercayai pendapat influencer tentang produk ini, terlepas dari tingkat pengalaman influencer, maupun kualitas dari produk tersebut.

Di sisi lain, Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi UI Dicky Chresthover Peluppesy, S.Psi,.M.D.S., Ph.D juga mengatakan bahwa faktor seseorang membeli atau memakai produk yang dipromosikan oleh influencer adalah karena mereka menganggap influencer tersebut memiliki posisi yang lebih tinggi.

Sebelum kita bicara soal yang ngetren sekarang, kita bicara apalagi sudah di posisi influencer, kita bicara status. Status yang dimiliki influencer itu bagi kebanyakan orang statusnya lebih tinggi. Jadi, bisa saja motifnya karena ada gap status antara influencer dan followers. Karena status influencer itu dianggap lebih tinggi, maka seseorang itu mengikuti.

Kedua, bisa saja kemudian followers itu melihat orang yang statusnya lebih tinggi itu dipandang punya standar yang juga lebih tinggi, sehingga orang mengikuti apa yang kemudian dianggap sebagai standar dari status yang lebih tinggi. Tak hanya itu, kemungkinan lain adalah masyarakat merasa takut tertinggal atau yang biasa disebut fear of missing out (FOMO). Oleh sebab itu, mereka cenderung mengikuti apa yang dipromosikan oleh influencer tanpa mempertimbangkan kebutuhan maupun kualitas.

Sebenarnya dalam bahasa psikologi, FOMO itu intinya kita menjadikan orang lain sebagai patokan untuk mengevaluasi dunia kita. Sebenarnya bisa saja orang itu punya standar penilaian dari diri sendiri, tapi yang dimaksud FOMO itu adalah orang menjadikan orang lain sebagai standar dan kriteria penilaian tentang dirinya atau apa yang terjadi di dalam dunia yang dilihat oleh orang.

Sehingga mereka berpikir bahwa "Orang sekarang lagi berbondong-bondong pakai produk skincare A, kemudian mereka mengikuti. Fenomena itu bukan semata-mata karena seseorang menyukai skincare-nya, tapi menjadikan orang lain sebagai standar dan kriteria penilaian bahwa skincare yang baik itu seperti yang digunakan banyak orang. Atau bisa juga kalau seseorang itu tidak memakai yang di-endors oleh influencers itu, apa yang dipakainya itu belum baik. Jadi tanpa memikirkan kebutuhan dia sendiri.

Baca juga: PONY asal Korsel bagikan kiat menjadi "beauty influencer"
Baca juga: Yosi Project Pop: Banyak follower, tanggung jawab semakin besar


Kendati demikian, seorang beauty enthusiast Rika Indriyanti juga mengaku bahwa bukan hanya dari sisi influencer yang bisa menarik masyarakat untuk membeli sebuah produk. Tinjauan jujur dari influencer juga penting untuk bisa menarik minat masyarakat terhadap sebuah produk. Oleh sebab itu, seseorang akan meninjau terlebih dulu sebuah produk sebelum memasarkannya kepada pengikutnya.

Seorang beauty enthusiast yang menerima endorse dengan cukup "pemilih" produk yang sudah diketahui dan kalaupun belum tahu aku akan mencari tahu untuk produknya itu bagus atau tidak, termasuk mengecek apakah sudah terdaftar di BPOM atau belum, dan lain-lain.

Baru kemudian akan di-share ke audiens sesungguhnya dari yang digunakan seorang beauty enthusiast dengan disclaimer kulit dan hasil setiap orang berbeda. Jadi akan tampilkan kalau memang bagus, tapi kalau kurang, maka akan dibuat rating sesuai dengan produknya.

Bukan hanya produk yang bagus, apabila sebuah produk memang tidak cocok, maka akan diberikan tinjauan yang jujur kepada masyarakat. Namun, dengan catatan tidak menyudutkan pihak dari produk yang melakukan endorse itu. Karena sebagai influencer, audiens akan menilai sendiri dari kejujuran rate dengan melihat lagi review-review di luar sana sesuai tidak dengan apa yang diungkapkan seorang nfluencer.