Mataram, (Antara) - Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Nusa Tenggara Barat meminta pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan larangan menggelar pertemuan dan rapat di hotel karena dinilai merugikan pariwisata daerah.
"Kami turut prihatin dengan kebijakan itu. Seharusnya pemerintah pusat bisa mempertimbangkan terlebih dahulu, karena masih ada cara-cara lain untuk menghemat anggaran dari hanya melarang pertemuan dan rapat di hotel," tegas Ketua BPPD NTB Taufan Rahmadi di Mataram, Jumat.
Sebab, kata dia, dengan kebijakan larangan tersebut, berdampak terhadap dunia pariwisata di daerah ini khususnya pelaku wisata, seperti hotel, biro perjalanan, pelaku industri kreatif dan UMKM. Termasuk, para karyawan yang selama ini menggantungkan hidup dari pariwisata.
Untuk itu, pihaknya mengajak seluruh pelaku wisata maupun daerah lain di Indonesia, bersama-sama bersatu padu untuk melakukan pertemuan dengan pemerintah membahas permasalahan tersebut.
"Artinya, pertemuan ini nantinya bukan dalam bentuk melawan pemerintah tetapi duduk bersama melakukan diskusi dan kajian serta analisa, termasuk meyakinkan pemerintah dampak dari kebijakan tersebut terhadap pariwisata," ucapnya.
Karena, kata Taufan, akibat keputusan pemerintah tersebut, masyarakat dan pelaku wisata di daerah yang paling terkena dampaknya.
"Inilah mengapa kami mengajak seluruh pelaku wisata di daerah untuk bersama-sama meminta penjelasan dan jawaban pemerintah atas kebijakan yang merugikan daerah," katanya.
Pemerintah Provinsi NTB juga telah meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali kebijakan tersebut.
Sekretaris Daerah NTB H Muh Nur mengatakan permintaan itu sangat wajar, karena akibat pemberlakukan itu, berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pariwisata di daerah.
"Masih ada ruang untuk meminta agar kebijakan itu dievaluasi, karena kalau ini tidak ditindaklanjuti akan berdampak besar kepada pariwisata daerah," kata Muh Nur.
Larangan pemerintah untuk tidak menggelar pertemuan dan rapat di hotel kepada seluruh instansi pemerintah maupun BUMN sangat bertolak belakang dengan keinginan daerah yang ingin mendatangkan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara. Terlebih lagi, NTB telah ditetapkan pemerintah pusat menjadi daerah penyangga pariwisata nasional.
Sebab, ujar Nur, NTB tidak mungkin hanya berharap terhadap kunjungan wisatawan dari mancanegara, dan melupakan wisatawan nusantara.
"Kami melihat dampak dari pemberlakuan itu dapat menurunkan pertumbuhan industri pariwisata NTB, apa lagi daerah ini sangat mengandalkan wisata dari acara MICE (meeting, incentive, convention, exhibition)," ucapnya.
Bahkan, katanya, dari hasil pertemuan para pelaku wisata, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pelaku usaha kuliner, dan lain-lain di daerah itu, bahwa akibat pemberlakuan itu 40 persen telah menurunkan sektor riil di NTB. Karenanya, jika ini terus diberlakukan dikhawatirkan akan membuat para pelaku pariwisata menjadi terpuruk.
"Karena itu, kami melihat wajar jika Gubernur NTB tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah tersebut, apalagi selain dari kunjungan wisatawan mancanegara, NTB sangat tergantung dari kunjungan wisatawan nusantara yang juga datang karena ada acara MICE," ujarnya.
Untuk itu, katanya, guna menyelamatkan pariwisata dan masyarakat NTB yang selama ini mencari nafkah dari pariwisata, Pemprov NTB akan mengajukan permohonan kepada pemerintah agar mengevaluasi kembali kebijakan tersebut.