Butuh kerja sama multi-sektor hapus KDRT

id Eni Widiyanti,kekerasan dalam rumah tangga,KDRT,patriarki, UU PKDRT,UU Penghapusan KDRT

Butuh kerja sama multi-sektor hapus KDRT

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti dalam webinar bertajuk "Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan KDRT", di Jakarta, Senin (4/9/2023) malam. (ANTARA/ Anita Permata Dewi)

Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti mengatakan upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan berbagai pihak.

"Melalui kolaborasi kita menemukan bahwa ternyata bersama menjadi jalan keluar dari penyelesaian berbagai permasalahan, termasuk penghapusan KDRT. Jadi kita kalau sendirian tidak kuat, tetapi kalau bersama-sama, kita akan lebih kuat," kata Eni Widiyanti dalam webinar bertajuk "Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan KDRT", di Jakarta, Senin malam.

Menurut dia, sosialisasi kepada masyarakat mengenai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) tetap penting dilakukan, meski UU tersebut hampir berusia dua dekade sejak disahkan tahun 2004.

"Bukan berarti kampanye Undang-undang ini tidak diperlukan lagi ya, apa lagi sekarang ini sudah ada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, ini kemudian Undang-undang PKDRT menjadi sedikit dilupakan," kata Eni Widiyanti.

Eni Widiyanti menambahkan, baik UU PKDRT maupun UU TPKS sama-sama penting untuk disosialisasikan dan irisan dari kedua UU ini sangat banyak. Sosialisasi UU PKDRT menurut dia, bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terhadap bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, terlebih di era digital saat ini dan semakin banyaknya keluarga baru yang terbentuk setiap tahunnya.

Selain itu, sosialisasi UU ini juga sebagai upaya untuk memangkas budaya patriarki di masyarakat. "Di saat yang sama, sistem pendidikan masih belum menyediakan materi ajar yang mampu menghalau budaya patriarki dan membangun perspektif atau persepsi kesetaraan dan keadilan gender di tengah masyarakat," katanya.

Baca juga: Semarang evaluasi kanal pelaporan kasus KDRT
Baca juga: Penegak hukum perlu sensitivitas tegakkan hukum kasus KDRT


Pasalnya, akar permasalahan KDRT adalah masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat. "Akar permasalahannya budaya patriarki yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah daripada laki-laki, sub-ordinat," kata Eni Widiyanti.